Ranum Merdeka Buah-buahan Hutan
Hutan adat jadi ”barang” langka di wilayah yang disebut paru-paru dunia. Namun sekali didapat, masyarakat adat merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya. Seperti di Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Siang masih belum terik betul di Desa Pilang, tetapi Ikil (38), warga RT 01 Desa Pilang, sudah pulang dari hutan tempat ia biasa mengumpulkan rotan dan sayuran hutan. Ia menenteng satu kantong kresek hitam besar di tangan kirinya, sedangkan tangan kanan memegang parang.
Ikil tak mengenakan baju, hanya celana yang seharusnya warna putih tetapi tampak kusam. Kulitnya merah terbakar sinar matahari, tetapi sejak turun dari kelotok (perahu kayu bermesin) Ikil terus tersenyum. Langkahnya agak cepat menuju rumah, sepanjang jalan beberapa tetangga Ikil menyapanya, sebagian lagi bertanya isi dalam kantong plastik yang ia tenteng sejak tadi. Ikil menjawab seadanya.
Rumah Ikil berada di pinggir sungai Kahayan yang membelah desanya. Rumah panggung dengan tinggi kira-kira 2 meter itu baru ia renovasi dua minggu sebelumnya sehingga aroma kayu benuas atau bangkirai (Shorea leavis) habis dipotong masih segar dihirup ketika mendekat. Atapnya bersirap daun pohon sagu (Metroxylon) atau yang dikenal dengan sebutan hambiye dalam bahasa Dayak Ngaju.
Ikil langsung duduk bersila teras depan rumahnya yang terhubung dengan jalan setapak kecil di depan rumahnya. Ia keluarkan isi kantong plastik hitam yang ia jinjing sedari tadi. Buah-buah merah meluncur turun ke lantai masih dengan rantingnya, berserakan. Nama buah itu adalah bangkinang.
Bangkinang berbentuk persis seperti melinjo yang masih keluarga tumbuhan jenis Gnetaceae yang hidup di hutan tropis. Saat mentah, buah bangkinang berwarna hijau, sedangkan saat masak warnanya merah pekat. Bangkinang ini memiliki biji hitam, orang Dayak biasa memakan daging beserta kulitnya yang merah. Berbeda dengan melinjo yang bisa dikupas, kulit buah bangkinang menyatu dengan dagingnya.
Daging buah bangkinan ini bewarna kuning, saat dimakan seperti berpasir. Saat matang rasanya asam dan manis bercampur di lidah, sedangkan jika yang hijau atau mentah rasanya kelat meski warna dagingnya sama dengan bangkinang matang.
Ikil kemudian sibuk mengikat ranting demi ranting dengan tali dari dapur rumahnya. Satu ranting bisa berisi tiga sampai empat buah bangkinang. Dalam satu ikatan setidaknya terdapat empat sampai lima ranting yang ia jual Rp 2.000 per ikatnya.
”Ini di hutan masih banyak, tinggal ambil saja,” kata Ikil saat ditemui Kompas, Jumat (22/7/2022).
Baca juga: Sejumput Kenangan dalam Buah-buahan Langka
Dari warnanya, bangkinang mungkin saja menarik perhatian anak-anak. Namun, ternyata tidak. Ikil dikelilingi banyak pemuda dewasa dan orang tua. Anak-anak di desa itu lebih tertarik ”Paman Pentol” julukan untuk penjual bakso tusuk. Mereka rela mengeluarkan uang Rp 5.000 untuk lima kali tusuk bakso itu dibandingkan buah hutannya.
Salah satu anak menghampiri Ikil dan meminta buah itu. Ikil memberikannya gratis setangkai dengan isi tiga sampai empat buah. Anak yang baru pulang sekolah itu tampak menyukainya lalu pulang masih dengan bungkusan pentol di tangan sambil mengunyah bangkinang dan meludahkan bijinya ke jalan.
Baca juga: Wangi Jengkol dari Rimba Terakhir
Ikil ikut senang, siang itu dagangannya laris. Siang itu saja ia sudah mendapatkan Rp 20.000 untuk 10 ikat bangkinang. Ia kembali ke dalam rumah lalu menyiapkan pancingannya.
Kelotok dinyalakan lagi. Ia sudah menyusuri Sungai Kahayan dekat hutan adat Barasak, satu-satunya hutan adat yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah. Di dekat kawasan hutan adat ia menambat kelotoknya, menyesap rokok, lalu membuang umpan.
Ikil menghabiskan sore itu di sungai, mendapatkan beberapa ikan sungai dari memancing, mulai dari ikan tapah yang merupakan jenis ikan berkumis (Siluridae) dan baung (Mystus). Paling banyak ia mendapatkan ikan dari alat tangkap tradisional yang ia pasang selama hampir dua hari. Ikan-ikan itu sudah ada di dapur sejak subuh.
Ia berangkat pukul 04.00 Jumat. ia menggunakan alat tangkap yang disebut kalang, hasil tangkapannya ada ikan jelawat (Leptobarbus hoevenii) dan ikan lais (Kryptopterus bicirrhis).
Lengkap sudah isi dapur Ikil hari itu. Ikan untuk lauk sudah banyak, sebagian bahkan ia jual, buah-buahan sisa jualannya untuk makanan penutup juga ada. Sayangnya, sayuran masih harus dibeli dari pasar. ”Kalau sayur masih banyak sebenarnya, tapi sayur hutan. Kalau mentimun, labu, dan bumbu semuanya beli di pasar,” kata Ikil.
Kompas mengumpulkan data pangan lokal di Desa Pilang dan mencatat setidaknya terdapat 106 buah lokal, 17 jenis batang, 79 jenis sayuran lokal, 7 bunga, 21 jenis rempah-rempahan, 12 jenis jamur, 12 umbi-umbian, dan 12 jenis padi lokal. Sungai di sekitar desa juga memiliki 25 jenis ikan sungai. Hutan di sekitar desa termasuk hutan adat ditinggali setidaknya 38 jenis hewan buruan dan 15 jenis hewan dilindungi, termasuk orangutan dan kucing hutan.
Hutan adat
Desa Pilang bersyukur. Puluhan tahun mereka berjuang agar hutan ada mereka diakui dan dilindungi akhirnya terkabul setelah keluarnya kebijakan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI. Hutan Adat Barasak namanya. Letaknya satu jam perjalanan menyusuri sungai Kahayan dari Desa Pilang.
Hutan adat itu luasnya hanya 102 hektar. Namun, manfaatnya begitu besar bagi masyarakat yang hidup di sekelilingnya. Hutan ini adalah paru-paru Kabupaten Pulang Pisau yang paling dijaga karena sudah menjadi hutan adat.
Hutan adat itu identitas. Di sana bukan hanya tempat tinggal pohon dan hewan saja, melainkan juga roh leluhur.
Siti Maimunah, dosen dan peneliti dari Institut Pertanian Yogyakarta, pernah meneliti keanekaragaman hayati di hutan ada tersebut pada tahun 2020. Hasilnya, terdapat 11 jenis tanaman merambat atau liana, 12 jenis rumput semak, 3 jenis pakis, 32 jenis pandanus atau pandan, 43 jenis flora kategori semak kecil, 4 jenis tanaman herbal.
Di hutan adat itu, kata Siti, juga terdapat lima spesies paling melimpah, yakni kambalitan, medang, pahawas, kadamba, dan enyak beruk. ”Hutan ini juga kaya akan karbon karena tutupan hutannya masih baik,” ungkapnya.
Dari penelitian yang dibuat Siti, hutan adat Barasak dengan luas 102 hektar memiliki total cadangan karbon hutan (tC) sebesar 12.430,86 ton karbon dengan rincian jumlah karbon plot sebesar 1.828,07 ton karbon per hektar. Hitungan itu diambil dari perhitungan di 15 plot di sekitar hutan adat Barasak.
”Di tiap plot itu kami mengukur dan mengidentifikasi flora yang ada di dalamnya,” kata Siti.
Menurut Siti, hutan adat Barasak merupakan kawasan gambut yang masih terjaga. Beberapa bagian hutan ini memang sempat terbakar dan gambutnya hilang lalu berubah menjadi kerangas (berpasir), tetapi masih didominasi oleh tanah gambut yang menyimpan cadangan karbon.
Tokoh Adat Desa Pilang, Iber Jamal, menjelaskan, hutan adat tidak hanya memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, tetapi juga identitas masyarakat Dayak. Iber merupakan salah satu tokoh adat paling gigih memperjuangan hutan adat sejak tahun 1990 bahkan jauh sebelum itu.
”Hutan adat itu identitas. Di sana bukan hanya tempat tinggal pohon dan hewan saja, melainkan juga roh leluhur,” ungkap Iber.
Baca juga: Saatnya Melirik Hutan Kalteng yang Rapuh
Tak sebanding
Kalimantan Tengah memiliki luas 15,3 juta hektar. Dari data yang dikumpulkan Kompas wilayah Kalteng dipenuhi perizinan. Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng mencatat izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Hutan Tanaman, Restorasi Ekologi, Karbon (IUPHHK-HA/HT/RE/Kar) tahun 2017 hingga saat ini telah ada 91 unit usaha dengan luas mencapai 5,08 juta hektar.
Di sektor tambang, data dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kalteng menunjukkan terdapat 303 perusahaan tambang dengan total luas konsesi tambang mencapai 1,8 juta hektar.
Untuk sawit, data dari Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng mencatat terdapat 333 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan total luas 3,9 juta hektar. Namun, jumlah perusahaan yang beroperasi luasnya hanya 1,13 juta hektar. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah mencatat setidaknya 72 desa masuk dalam kawasan perkebunan kelapa sawit di Kalteng.
Jika ditotal, semua perizinan itu luasnya mencapai 11,2 juta hektar baik perusahaan yang sudah beroperasi maupun yang belum. Dari 15,3 juta hektar luas wilayah di Kalteng, 11,2 juta hektar sudah dan bakal dikonversi ke berbagai jenis usaha. Artinya, hanya 4,1 juta hektar atau 1,7 persen sisa lahan di Kalteng merupakan kawasan permukiman juga kebun-kebun masyarakat atau wilayah kelola lainnya, hutan adat Barasak tersempil di antaranya.
Di satu sisi, Dinas Kehutanan Kalteng menerima 12 peta wilayah adat dengan total luas 119.777,76 hektar dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Provinsi Kalteng. Hanya Barasak yang sudah sah dengan luas hanya 102 hektar, sisanya masih berharap dan menanti.
Senyum Ikil tetap merekah meski ia tahu betul perjuangan mendapatkan hutan adat bukan sebentar dan tidak mudah. Di wilayah lain di Kalteng, perjuangan mempertahankan hutan adat bahkan harus melewati jeruji besi, seperti yang dialami Komunitas Adat Penyang di Kabupaten Kotawaringin Timur dan Komunitas Adat Kinipan di Kabupaten Lamandau.
Baca juga: Pemerintah Mulai Akui Hutan Adat di Kalteng
Hutan adat yang menyimpan cadangan karbon tinggi merupakan jawaban dari isu perubahan iklim dunia. Tak hanya itu, hutan adat mereka juga merupakan sumber pangan lokal masyarakat adat. Namun, jumlahnya tak sebanding dengan investasi besar-besaran yang hasilnya belum tentu dirasakan langsung masyarakat. Ikil tetap tersenyum, dari buah hutan saja ia sudah merasa bebas, mungkin merdeka.