Konsumen buah-buahan yang kini tergolong langka biasanya menyantap buah-buahan itu untuk bernostalgia, kembali ke masa kecil dulu.
Oleh
DWI BAYU RADIUS/JUMARTO YULIANUS/RENY SRI AYU/ISMAIL ZAKARIA
·5 menit baca
Buah-buahan yang sudah jarang ditemukan membangkitkan nostalgia. Gowok, jamblang, buni, dan kasturi kerap mengejutkan pembeli saat menemukannya di lapak pedagang. Meski diminati konsumen, bermacam buah itu tak dibudidayakan secara intensif.
Di pengujung April 2021, Aswin Zen (61) bercengkerama dengan beberapa tetangganya. Warga Kelurahan Kenari, Kecamatan Senen, Jakarta, tersebut berbincang soal penuturan para orang tua tentang rimbunnya pepohonan pada waktu lampau di kawasan Kenari.
”Banyak pohon kenari. Cuma, waktu saya kecil pun pohon-pohonnya sudah tidak ada. Jangankan pepohonan, mencicipi buahnya saja saya belum sempat,” katanya sambil tertawa. Tak hanya rimbunnya pepohonan, burung-burung kenari pun beterbangan. Jadilah jalan itu dinamakan Kenari.
Dalam buku Jakarta Tempo Doeloe yang disusun Abdul Hakim dan diterbitkan PT Metro Pos Jakarta pada tahun 1988, terpampang foto jalan yang diapit pohon-pohon kenari. Di Gang Kenari, demikian penjelasan yang dicantumkan, memang tumbuh banyak pohon tersebut.
Pohon dengan tinggi puluhan meter itu bercabang-cabang dengan dedaunan yang lebat. Ranting-ranting di pucuk pohon tersebut saling bersentuhan hingga seakan berjalin. Jalan itu pun terlihat asri. Kini, di kelurahan tersebut bisa didapati Jalan Kenari 1, 2, dan 3.
Namun, wajah kawasan itu telah berubah. Di Jalan Kenari 1 yang sempit, pohon-pohon kenari tak ada lagi. Yang tumbuh di sana adalah toko swalayan mini, rumah, dan rumah kos. Beberapa bangunan bergaya Betawi masih dipertahankan untuk menyimpan kenangan lama. Sementara itu, tepi Jalan Kenari 2 dipenuhi pedagang susu jahe, cendol, dan masakan padang.
Masa lalu
Memori Aswin masih menyimpan gambaran tentang buah-buahan tertentu yang kini semakin sulit ditemukan, seperti gowok, jamblang, buni, dan menteng. Buah-buahan itu dulu lazim disantap sebagai hidangan penyela atau pencuci mulut. Ketika semakin langka, buah-buahan itu berubah jadi santapan yang mengingatkan kita pada masa lalu.
Ludi Pribadi (38) biasanya menjual buah-buahan itu jika musimnya. Gowok, jamblang, dan buni biasanya berbuah pada akhir hingga awal tahun. ”Menteng beda lagi. Tersedia setiap Juni,” kata pedagang yang sudah berjualan selama 15 tahun di Ragunan, Jakarta, itu.
Banyak konsumen membeli gowok, jamblang, buni, dan menteng karena tak mudah dicari. Pembeli ingin bernostalgia dengan masa kecilnya. ”Buni, contohnya, dulu sering dibikin rujak dan dijual pakai gerobak. Konsumen juga beli untuk perempuan mengidam,” katanya.
Meski demikian, kebanyakan pembeli tak datang untuk mencari buah-buahan itu. Saat gowok, jamblang, buni, dan menteng tersedia, mereka membelinya. ”Bukan sengaja mau beli. Lihat buah-buahan langka, pembeli ingat zaman dulu lalu membeli. Kalau tak tersedia, mereka biasa saja. Tidak mencarinya,” ucap Ludi.
Harga menteng sekitar Rp 35.000 per kilogram (kg), buni Rp 50.000 per kg, dan jamblang Rp 75.000 per kg. ”Kalau gowok, lebih dari Rp 50.000 per kg. Semakin susah didapat, harganya semakin tinggi. Makanya, jamblang paling mahal,” ujarnya.
Pedagang di Pasar Parung, Bogor, Nia (38), juga mengungkapkan tingginya minat konsumen membeli gowok, jamblang, buni, rukam, dan menteng. ”Pembeli cari ke Pasar Parung karena memang pusatnya. Kalau berlimpah, sisanya disalurkan ke Jakarta,” ujarnya.
Buah-buahan itu berasal dari Gunung Nyungcung, Bogor, dengan vegetasi yang tergolong baik. Gowok, jamblang, buni, rukam, dan menteng tumbuh liar. ”Masih terdapat hutan. Kalau dititipi penampung, saya juga menjual buah-buahan itu,” kata Nia.
Apabila secara intensif dibudidayakan dan sering tersedia, konsumen kemungkinan besar enggan membelinya. Rasa buah-buahan itu masam. ”Jadi, enggak begitu cocok buat hidangan penutup. Beda, misalnya, dengan mangga, melon, atau pepaya yang manis sehingga pas dimakan setelah menghabiskan nasi dan lauk-pauk,” katanya.
Kasturi
Kasturi (Mangifera casturi), buah sejenis mangga, juga sudah sulit ditemukan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 48 Tahun 1989 tentang Identitas Flora Masing-masing Provinsi, Mangifera casturi ditetapkan sebagai identitas flora Kalimantan Selatan. Karena penyebarannya sempit dan hanya ditemui secara liar di hutan Kalimantan, Mangifera casturi termasuk 200 jenis tumbuhan langka di Indonesia yang harus dilestarikan.
Marhusin (85), warga Desa Lok Baintan Dalam, Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, Kalsel, pernah memiliki tiga pohon kasturi berusia lebih dari 100 tahun. ”Mati. Mungkin terlalu tua,” ujarnya.
Kasturi termasuk tanaman yang sulit dibudidayakan. Marhusin tak tertarik membudidayakan kasturi karena kurang menguntungkan. ”Kalau tanam, biasanya baru berbuah saat 20-an tahun. Harganya juga murah,” tuturnya.
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat, Arief Rakhmad Budi Darmawan, dalam artikelnya berjudul ”Usaha Peningkatan Kualitas Mangga Kasturi (Mangifera casturi) dengan Modifikasi Budidaya Tanaman” (2015) menyebut, kasturi terancam punah. Kasturi semakin berkurang dari segi jumlah individu, populasi, atau keanekaragaman genetiknya.
Mangga kasturi diklasifikasikan dalam kategori daftar merah Badan Konservasi Dunia (IUCN) pada 30 November 1994. Pada tahun 1998, diputuskan bahwa kasturi sudah berada dalam kategori punah di dalam habitat aslinya (in situ).
Markisa malino
Di masa jayanya, markisa menjadi ikon Malino. Kini, nyaris tak ada kebun markisa di dataran tinggi yang berada di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan itu. ”Sekarang, jarang yang tanam markisa. Apalagi, markisa malino,” kata Nurhayati (50), yang berjualan oleh-oleh di sekitar Pasar Malino.
Bupati Gowa Adnan Purichta Ichsan mengakui hampir tak ada lagi kebun markisa di Gowa. Sebelum tahun 2000-an, luas perkebunan markisa di Gowa 300-an hektar. Tahun 2000-an markisa makin tersingkir.
”Tahun 2013, salah satu pabrik markisa terbesar tutup. Petani meninggalkan markisa. Sayuran lebih menjanjikan,” kata Adnan. Bisa saja markisa ditanam lagi dengan melibatkan masyarakat dan dinas-dinas.
”Fokus ke lingkungan. Jika warga menanam di areal hutan, bisa sekaligus menjaganya,” katanya. Gowa memiliki hutan yang cukup luas. Alasan lain, wisatawan masih mencari markisa malino dan sirupnya. Jika program itu berjalan, markisa malino yang pernah berjaya tentu bisa diselamatkan dari kepunahan sembari merawat hutan.