Harga Anjlok, Petani Sawit di Kalteng Tak Mampu Rawat Kebun Lagi
Petani sawit mulai kebingungan membayar utang dan memenuhi kebutuhan hidup karena anjloknya harga sawit. Mereka mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Sebulan lebih kelapa petani sawit di Kalimantan Tengah terimpit anjloknya harga sawit. Sebagian besar petani tak mampu merawat kebunnya lagi, ada juga yang tak mampu membayar kredit dan memenuhi kebutuhan lainnya. Beberapa petani sawit pun memilih beralih mencari pekerjaan lain.
Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di kalangan petani mandiri di Kalteng anjlok hingga Rp 350 per kilogram di Kabupaten Pulang Pisau. Sementara di Kabupaten Kotawaringin Timur harganya hanya Rp 800 per kilogram. Hal itu terjadi sejak lima minggu lalu.
Suryano (48), warga Parenggean, Kotawaringin Timur, mengungkapkan, dirinya tetap menjual TBS meski harganya anjlok karena memiliki beban kredit, salah satunya kredit mobil pikap yang ia beli hampir dua tahun lalu. Mobil itu ia beli untuk keperluan mengangkut buah sawit dari kebunnya ke perusahaan.
Saat ini, selain untuk mengangkut sawit, ia menerima jasa angkutan barang atau sewa mobil. Hal itu untuk mencari tambahan penghasilan. ”Utang dan bayar kebutuhan sekolah itu yang jadi pikiran saya sebulan terakhir. Saya juga tidak bisa lagi beli pupuk untuk merawat kebun ini nanti,” kata Suryano saat dihubungi, Selasa (12/7/2022).
Di Kabupaten Pulang Pisau, Sudali (50) gigit jari. Petani ini telah mengalihfungsikan lahan seluas 2 hektar yang tiga tahun lalu ia tanami pohon sengon menjadi tanaman sawit. Ratusan pohon sengon miliknya ia tebang untuk diganti tanaman sawit karena saat itu ia berpikir harga sawit tidak akan seanjlok saat ini.
”Saya sudah dua kali ubah tanaman di kebun saya. Dulu itu sawah, lalu karena pemerintah bawa program sengon, saya ikutan. Sekarang sengon tidak laku, saya ganti sawit. Tapi, baru mau panen, harganya sudah kayak begini,” tutur Sudali.
Sudali memiliki lahan sawit yang hampir berusia empat tahun dan mulai berbuah. Ia memperkirakan sawitnya panen besar dua bulan lagi. Ia berharap, saat itu, harga sawit kembali normal. ”Saya nyesel juga, tahu gitu mending nyawah aja,” ujarnya.
Hal serupa dirasakan Stevanus Parwudi, petani sawit asal Desa Kantan Atas, Pulang Pisau. Meski tetap menjual buah sawit, ia tak mampu merawat kebunnya. Ia perlu membeli herbisida seharga Rp 150.000 per liter sebanyak 5-6 liter untuk kebutuhan lahan seluas 2-3 hektar. Namun, untuk panen seberat 1 ton, saat ini dirinya hanya mendapatkan Rp 350.000 yang hanya cukup untuk membeli 2 liter herbisida.
”Mau merawat juga tak bisa. Sudah pasti kalau tak dirawat, panen berikutnya produksi pohonnya turun. Bagus kalau panen berikutnya harga sudah bagus, kalau enggak, tak bisa dibayangin,” tuturnya.
Pada Rabu 15 Juni 2022, puluhan petani di Kalteng melakukan aksi membakar TBS mereka sebagai bentuk protes. Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kalteng Gusto Adrianus mengatakan, aksi bakar sawit itu sebagai bentuk keprihatinan petani atas anjloknya harga sawit.
Pasar dunia tidak serta-merta bisa memulihkan permintaan CPO meski larangan ekspor dibuka.
Pada Selasa sore, Gusto yang ditemui Kompas di Palangkaraya mengungkapkan, awalnya petani senang dengan dibukanya keran ekspor oleh pemerintah pusat dengan harapan harga kian normal, bahkan lebih. Namun, sejak saat itu, harga TBS sawit justru anjlok. ”Kami sengaja bakar TBS sawit saat itu karena tidak bisa dijual. Kalau dijual, kami mengalami kerugian karena harga TBS saat ini sedang tidak bagus, anjlok. Kami mau beli pupuk aja susah,” tuturnya.
Gusto menambahkan, setelah keran ekspor dibuka, pemerintah mengeluarkan berbagai aturan tambahan yang dibebankan ke harga TBS sehingga, menurut dia, petani hanya mendapatkan getahnya.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kalteng Dwi Darmawan mengungkapkan, meski keran ekspor telah kembali dibuka, harga yang anjlok tidak serta-merta pulih. Banyak faktor lain yang memengaruhi anjloknya harga sawit.
Saat larangan ekspor kemarin pun tangki-tangki perusahaan masih penuh terisi minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan belum habis diekspor sampai saat ini. ”Pasar dunia tidak serta-merta bisa memulihkan permintaan CPO meski larangan ekspor dibuka,” kata Dwi.
Dwi menambahkan, perusahaan sawit yang masih memiliki tangki penuh CPO tentunya bakal mengurangi pembelian dari petani sawit swadaya. Pengurangan pembelian bisa dengan beberapa cara, salah satunya menurunkan harga TBS.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng Rizky Badjuri mengungkapkan, pemerintah sudah menetapkan harga TBS bersama semua pihak, termasuk petani dan perusahaan. Ia berharap petani sawit mandiri di Kalteng bisa bergabung dan menjadi mitra perusahaan agar tidak terjebak tengkulak.
Semua petani yang bermitra masih mendapatkan harga yang jauh lebih baik karena pemerintah mengintervensi harga dari perusahaan. Rincian harga yang ditentukan untuk TBS umur tiga tahun sebesar Rp 1.694,74 per kg, turun dari sebelumnya sebesar Rp 2.688,70.
Adapun untuk TBS berumur empat tahun, harganya Rp 1.852,18 per kg atau turun dari Rp 2.934,55 per kg. Semua kategori umur TBS mengalami penurunan. ”Memang, petani sawit yang tidak bermitra itu yang paling merasakan dampak dari harga yang anjlok ini,” kata Rizky.