Petani Sawit Lebih Khawatir Konflik karena Legalitas Lahan
Konflik lahan dan masalah legalitas lahan milik petani menjadi masalah yang lebih mengkhawatirkan dari persoalan jatuhnya harga sawit. Di satu sisi, petani tidak pernah menjadi penentu harga dan tidak punya posisi tawar.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Kebijakan menghentikan ekspor crude palm oil berdampak pada turunnya harga buah tandan sawit di kalangan petani. Walakin, petani di Kalimantan Tengah memiliki kekhawatiran yang jauh lebih besar dibandingkan dengan persoalan harga, yakni soal kepemilikan lahan yang berujung pada konflik di antara petani ataupun dengan perusahaan perkebunan.
Nababan, salah satu pengepul tandan sawit di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, menjelaskan, turunnya harga sawit terjadi pada Minggu 24 April 2022 malam dari Rp 3.780 per kilogram lalu menjadi Rp 2.760 per kilogram. Lalu pada Selasa (26/4/2022) pagi harganya turun lagi sebesar Rp 560 menjadi Rp 2.200 per kilogram tandan sawit.
Nababan mengungkapkan, dirinya menjual sawit dari petani lalu dibawa ke salah satu perkebunan sawit di Kabupaten Katingan yang sudah menjadi langganannya. Harga yang ia berikan kepada petani merupakan harga yang ditentukan dari perusahaan.
”Malam ini (biasanya) paling turun lagi. Kami ikut harga perusahaan saja, biasanya langsung di-SMS kalau turun atau naik harganya,” katanya.
Andi, salah satu petani sawit di Kota Palangkaraya, mengungkapkan, turunnya harga sawit saat ini belum seberapa dibandingkan dengan tahun 2016 yang harganya hanya Rp 900 per kilogram. Ia pun tetap menjual sawit yang dari kebunnya yang hanya berukuran 10 x 20 meter.
”Berapa saja harganya yang penting masih bisa dijual daripada busuk,” kata Andi yang siang itu membawa 60 kilogram buah tandan sawit miliknya kepada pengepul.
Di Kabupaten Pulang Pisau, banyak petani yang sebelumnya mengolah padi lalu beralih ke sawit pada 2017 karena harga buah tandan yang sedang naik saat itu. Sekretaris Desa Kantan Atas Sukarmin menjelaskan, kini petani gigit jari lantaran harga sawit kembali jatuh.
”Kami, ya, pasrah aja sambil berharap harganya lekas membaik,” katanya.
Sukarmin menjelaskan, sebagian besar petani di desanya tidak hanya bersandar pada kelapa sawit. Petani membagi lahannya dengan beberapa komoditas, mulai dari karet, sawit, sengon, dan komoditas lain. ”Jadi, gak hanya sawit, kalau sawit lagi jatuh karet biasanya harganya normal atau malah naik. Jadi bisa gantian,” ungkapnya.
Di Kabupaten Gunung Mas, khususnya di Kecamatan Manuhing, petani justru lebih khawatir konflik di depan mata. Kepala Desa Tumbang Jalemu, Yuel, menjelaskan, pihaknya saat ini berupaya untuk mengajukan skema perhutanan sosial ke lahan milik masyarakat setempat yang sebelumnya diklaim perusahaan bahkan sudah ditanami sawit. Warga pun ikut menanam sawit di sekitarnya, tetapi karena kawasan hutan jadi warga tidak berani memanen sawit yang mereka tanam sendiri.
Petani harus punya kapasitas agar bisa menentukan harga, misalnya melalui badan usaha milik desa. (Fitria Husnatarina)
”Sudah beberapa kali kami ajukan proposal untuk perhutanan sosial, tetapi belum bisa tembus karena banyak hal, soal status kawasan, lalu daftar kelompok taninya juga, harus identifikasi lagi," kata Yuel.
Yuel menjelaskan, di desa kini setidaknya satu orang petani yang merupakan bagian dari kelompok petani sawit di desanya ditangkap polisi lantara dituduh mencuri sawit. Saat ini proses hukum masih berjalan.
”Pangkal masalahnya adalah soal plasma, itu pun masih ada yang kabur ke hutan atau ke mana saya tidak tahu dan tak bisa pulang ke rumah,” kata Yuel.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Palangka Raya, Fitria Husnatarina, menjelaskan, akar masalah harga sawit karena kondisi persaingan pada level komoditas begitu tinggi sehingga fluktuasi harga terjadi. Petani tidak memiliki kemampuan untuk menentukan harga karena tingginya persaingan juga kepentingan di tingkat nasional hingga internasional.
“Petani harus punya kapasitas agar bisa menentukan harga, misalnya melalui badan usaha milik desa,” kata Fitria.
Penguatan kelembagaan di tingkat petani, lanjut Fitria, menjadi begitu penting. Petani mampu membuat produk turunan seperti minyak goreng sehingga memiliki posisi tawar yang tinggi.
Konflik lahan
Direktur Save Our Borneo (SOB) Habibi mengungkapkan, turun naiknya harga tandan sawit selalu terjadi di Pulau Kalimantan dan apa pun kebijakannya petani selalu jadi pihak yang paling dirugikan. Masalah yang paling dekat dihadapi petani adalah persoalan legalitas lahan yang berujung pada konflik.
”Jauh sebelum ada kebijakan melarang ekspor CPO, nasib petani tidak lebih baik pada hari ini. Petani selalu bergantung pada perusahaan, petani tidak pernah menjadi penentu harga,” kata Habibi.
Habibi menjelaskan, sebagian besar kebun atau lahan milik petani di Kalimantan Tengah masuk dalam kawasan hutan. Dampaknya, petani kesulitan mendapatkan surat tanda daftar usaha perkebunan untuk budidaya (STDB).
”Perusahaan begitu mudah mendapatkan pemutihan kawasan hutan untuk digunakan, sebaliknya petani kian sulit,” ujarnya.