”Raksasa Laut” Indramayu Tersandera Solar
Lonjakan harga solar dipastikan mengurangi penghasilan para nelayan Indramayu. Mereka pun terancam kesulitan membayar utang meskipun sudah berbulan-bulan melaut.
Lonjakan harga solar hingga tarif pajak pascaproduksi memaksa banyak kapal besar di Karangsong, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, tidak melaut berbulan-bulan. Para ”raksasa laut” yang jadi tumpuan hidup nelayan dan penghasil uang miliaran rupiah itu pun hanya tertambat di muara.
Terpal menutupi mesin Kapal Motor Anugerah berukuran 97 gros ton (GT) yang terparkir di pesisir Karangsong, Kamis (9/6/2022). Tidak ada aktivitas anak buah kapal (ABK), apalagi perbekalan. Hanya ada oli bekas dalam dua jeriken. Tangki bahan bakar minyak nyaris kosong.
Tiga bulan sudah kapal itu tak melaut. Penyebabnya, lonjakan harga solar industri dari Rp 9.500 per liter akhir tahun lalu hingga sempat menyentuh Rp 16.500 per liter. ”Sampai sekarang belum berangkat. Takut enggak nutup,” ucap Caswinto (50), nakhoda KM Anugerah, Jumat (17/6/2022).
Dengan wilayah penangkapan hingga ke Papua, kapal itu menggunakan sekitar 100.000 liter solar selama masa operasi lima atau enam bulan. Jika harga solar Rp 16.500 per liter, dibutuhkan Rp 1,65 miliar, sedangkan dengan harga Rp 9.500 per liter, dibutuhkan ongkos Rp 950 juta.
Jumlah itu belum termasuk pengeluaran lainnya, seperti perbekalan sekitar Rp 400 juta hingga tarif kapal saat berlabuh. ”Sementara kami harus bagi hasil dengan pemilik kapal dan ABK. Belum lagi kalau kapal asing yang alatnya canggih masuk wilayah kita,” kata Elang, sapaan Caswito.
Ada sekitar 50 kapal arah Papua dan 60-an kapal arah Jawa yang belum melaut. (Robani)
Sebelum harga solar melambung, KM Anugerah bisa menangkap 160 ton hingga 200 ton. Harga jualnya berkisar Rp 3 miliar-Rp 4 miliar. Setelah dipotong modal melaut dan bagi hasil, sebanyak 16 ABK masing-masing bisa mendapat Rp 30 juta. Sepintas, jumlah uang itu besar.
”Tetapi, coba Rp 30 juta itu dibagi enam bulan. Setiap nelayan dapatnya Rp 5 juta. Apakah cukup? Kadang juga zonk (kosong) karena banyak yang bon,” ujar Elang. Sebelum berangkat, nelayan kerap meminjam uang hingga Rp 25 juta untuk kebutuhan keluarganya selama mereka melaut.
Lonjakan harga solar bisa dipastikan mengurangi penghasilan. Mereka pun terancam sukar membayar utang. Sebagai gambaran, dengan harga Rp 16.500 per liter, KM Anugerah harus menghabiskan Rp 1,65 miliar. Jumlah ini hampir setengah dari penghasilan sekitar Rp 4 miliar.
”Kalau jumlah ABK dikurangi, enggak mungkin. Sekarang saja sudah berat kerjanya. Nyari ABK juga susah,” ujar Elang. Nelayan yang kerap kesulitan mengakses pendidikan tinggi, katanya, juga tak punya keterampilan selain melaut. Itu sebabnya, pilihannya hanya bisa melaut.
Biasanya, mereka bersandar di darat sekitar sebulan, tetapi kini tiga bulan. Sebagai nakhoda, Elang bahkan mencari pinjaman agar kebutuhan harian anak buahnya terpenuhi selama tak bekerja. ”Daripada ABK saya bubar, lebih baik pakai uang saya,” kata bapak empat anak ini.
Di tengah kegalauannya karena tak melaut, Elang sontak kepikiran anak-anaknya yang belum merasakan pendidikan tinggi. ”Kalau boleh jujur, saya pengin punya anak pintar. Jangan seperti bapaknya, orang susah,” ucapnya sambil mengusap matanya yang basah.
Elang hanya merasakan bangku SMP. Ia ingin sekali bersekolah, tetapi kesulitan ekonomi. Sempat kecewa, ia pernah diam-diam masuk ke kapal untuk kabur selama lima bulan hingga ke perairan Kalimantan. Itu sebabnya, ia dipanggil Elang seperti burung elang karena berani ke tempat jauh.
Baca juga : Publik Cemaskan Kondisi Nelayan
Produksi turun
Kini, kakek enam cucu ini kembali khawatir akan pendidikan keluarganya karena menganggur. Kegelisahan serupa dirasakan ratusan nelayan di Karangsong. ”Ada sekitar 50 kapal arah Papua dan 60-an kapal arah Jawa yang belum melaut,” Robani, tokoh nelayan di Karangsong.
Banyaknya kapal yang mangkir di Karangsong berdampak pada tangkapan ikan. Data Koperasi Perikanan Laut Mina Sumitra menunjukkan, tangkapan ikan bulan Mei sebanyak 1.765.245 ton. Padahal, tangkapan periode serupa empat tahun sebelumnya selalu lebih dari 2 juta ton, bahkan sampai 3 juta ton.
Itu sebabnya, ratusan nelayan Indramayu yang tergabung dalam Front Nelayan Bersatu (FNB) berunjuk rasa di depan Kantor DPRD Indramayu, Kamis (9/6/2022). Meski tidak ditemui anggota dewan, massa tetap berorasi dan membentangkan spanduk berisi tuntutan, termasuk soal solar.
Misalnya, ”lakane solar ora bisa berlayar. Larange solar ora bisa nyacar. Emong tukar gara-gara solar”. Artinya, tidak ada solar, tak bisa melaut. Mahalnya solar, tak bisa makan. Tidak ingin bertengkar karena solar. ”Sekitar 70 persen ongkos operasional itu untuk solar,” kata Robani yang juga Sekretaris Jenderal FNB.
Pihaknya mendesak pemerintah menurunkan harga solar industri menjadi sekitar Rp 9.000 per liter untuk kapal di atas 30 GT. FNB juga mendorong pemerintah agar merevisi kontrak penangkapan ikan yang diuji coba tahun ini di wilayah pengelolaan perikanan (WPP).
”Setiap kapal hanya satu WPP, tetapi ini bermasalah. Sering kali nelayan ke laut tidak dapat ikan. Makanya, kami meminta pemerintah memberi izin kapal untuk dua WPP yang berdampingan,” ungkap Robani. Zonasi tersebut termasuk kebijakan penangkapan terukur.
Nelayan dengan kapal besar di Indramayu, misalnya, membutuhkan wilayah melaut di WPP 717 dan WPP 718. WPP 718 yang meliputi Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian timur merupakan wilayah produktif ikan, sedangkan WPP 717 di Laut Natuna dan Laut China Selatan.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Indramayu Dedi Aryanto juga mendesak pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Tarif PNBP pascaproduksi itu berkisar 5-10 persen.
”Kapal 60 GT ke atas kena 10 persen (PNBP) dari produksi, sementara yang kami sanggup itu paling besar setengahnya. Di bawah 60 GT itu kami minta (PNBP) 2 persen saja. Apalagi, penghasilan nelayan juga terbatas dan banyak persoalan, seperti harga solar,” ujar Dedi.
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah menyiapkan kebijakan penangkapan terukur berbasis kuota dan zonasi dan akan diterapkan tahun ini. Sekretaris Jenderal KKP Antam Novambar berpendapat, kebijakan itu dapat mengoptimalkan PNBP.
”KKP akan terus mengoptimalkan PNBP dari penangkapan ikan terukur, yang mana nilai produksi perikanan tangkap jika dikonversi ke PNBP bisa mencapai Rp 12 triliun,” ujarnya. Pihaknya juga memastikan, pajak tidak akan dibebankan ke nelayan kapal 5 GT (Kompas, 27/5/2022).
Baca juga : Mendengarkan Suara Nelayan di Masa Pandemi
Koordinator Umum FNB Kajidin menilai, kebijakan penangkapan terukur, kenaikan pajak, hingga lonjakan harga solar industri telah menyulitkan nelayan di Indramayu mencari nafkah. Apalagi, kawasan Karangsong tidak hanya menghidupi nelayan setempat, tetapi juga memenuhi kebutuhan perikanan Jabar.
Setiap tahun, nilai produksi perikanan di Karangsong turut menyumbang miliaran rupiah untuk pendapatan asli daerah Indramayu. Tahun lalu, KPL Mina Sumitra mencatat, nilai produksi di Karangsong mencapai Rp 361 miliar. Pada 2018, jumlahnya mencapai Rp 476 miliar.
”Kalau tidak ada respons dari pemerintah pusat, kami akan ke Jakarta bersama nelayan dari Jawa Tengah sampai Kalimantan. Bukan ribuan nelayan lagi, bahkan puluhan ribu nelayan akan datang,” kata Kajidin. Jangan biarkan ”Raksasa” Indramayu terlalu lama menganggur.
Baca juga : Nelayan Miskin di Zona Penangkapan Terukur Minta Perhatian