Sedikit terlepas dari jaring pandemi Covid-19 tidak membuat nelayan di Indonesia segera menuai kesejahteraan. Sejumlah persoalan baru terus bergantian mengimpit nasib nelayan.
Oleh
ANDREAS YOGA PRASETYO
·6 menit baca
Pandemi Covid-19 turut berdampak pada kehidupan nelayan di Tanah Air. Di awal pandemi merebak, kesejahteraan nelayan turut mengalami penurunan. Nilai tukar nelayan mengalami penurunan pada periode Februari hingga Juni 2020. Bahkan, pada April-Juni 2020 nilai tukar nelayan berada di bawah angka 100. Ini berarti indeks harga yang diterima nelayan lebih tinggi dibandingkan dengan indeks harga yang dibayarkan atau belum sejahtera.
Senada dengan kondisi nilai tukar nelayan, terpuruknya nasib nelayan dan pelaku usaha perikanan di awal pandemi tertangkap dari survei yang dilakukan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pada 15 Mei-19 Juni 2020. Survei dilakukan terhadap 2.068 responden di lima wilayah, yakni Medan, Semarang, Gresik, Lombok, dan Aceh, pada 15 Mei-19 Juni 2020.
Secara umum, beratnya beban nelayan terlihat dari tiga aspek, yaitu penurunan pendapatan, minimnya akses bantuan, dan kesulitan memperoleh bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Hampir separuh responden (48 persen) mengungkapkan mengalami penurunan pendapatan. Pendapatan mereka turun karena akses penjualan tertutup dan harga ikan turun.
Dampak merebaknya wabah korona membuat nelayan kehilangan sebagian pendapatan dan terpaksa menggantungkan hidup dari tabungan yang dimiliki serta bantuan pemerintah. Sayangnya, belum semua nelayan mendapatkan bantuan. Separuh responden (51 persen) menyatakan tidak menerima bantuan sosial yang disalurkan pemerintah.
Salah satu kendalanya adalah distribusi bantuan. Untuk menyalurkan bantuan di masa pandemi, pemerintah menggunakan data kepemilikan kartu nelayan Kusuka. Namun, berdasarkan temuan survei tersebut, diperkirakan masih banyak nelayan, terutama nelayan kecil, yang tidak terdaftar di kartu nelayan.
Kesulitan memperoleh akses bantuan juga dialami nelayan dalam mendapatkan BBM subsidi. Di tengah pandemi, 7 dari 10 nelayan memberikan informasi tentang sulitnya mendapat surat rekomendasi BBM bersubsidi dan mengakses kuota BBM bersubsidi. Akibatnya, para nelayan kecil terpaksa membeli BBM eceran yang harganya lebih mahal.
Masih minimnya dukungan serta perlindungan pemerintah terhadap nelayan juga tergambar dari jajak pendapat Kompas terhadap masyarakat pada Oktober 2020. Separuh lebih responden (54 persen) menyatakan, dua masalah utama yang dihadapi nelayan saat pandemi adalah kurangnya modal dan minimnya perlindungan dari pemerintah. Hal ini yang membuat publik melihat kondisi sebagian besar nelayan (63 persen) belum sejahtera.
Intisari dari hasil survei nelayan, opini masyarakat, dan data berkurangnya kesejahteraan nelayan di masa-masa awal merebaknya pandemi ini adalah terpuruknya nasib nelayan. Sementara bantuan pemerintah, termasuk BBM subsidi dan akses permodalan, belum merata didapatkan. Suara nelayan dari situasi impitan pandemi ini menyerukan perlunya perbaikan layanan pemerintah untuk mempermudah dan mempercepat bantuan sosial dan BBM subsidi kepada kaum nelayan.
Persoalan baru
Seiring membaiknya penanganan pandemi dan pulihnya aktivitas publik, kesejahteraan nelayan perlahan-lahan mulai pulih. Rata-rata nilai tukar nelayan sejak Juli 2020 menunjukkan telah berada di angka 100 yang berarti surplus pendapatan. Namun, membaiknya indikator kesejahteraan nelayan tidak serta-merta mengangkat taraf hidup nelayan. Ini karena di luar pandemi, sejumlah persoalan terus saja membelit nelayan.
Tengoklah pada Desember 2020, nelayan-nelayan di Kabupaten Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau, berunjuk rasa meminta pemerintah pusat melarang kembali penggunaan alat tangkap cantrang. Penolakan tersebut berawal dari rencana pemerintah yang bakal menerbitkan revisi peraturan usaha penangkapan ikan. Akhirnya, pada Juni 2021 pemerintah melarang penggunaan alat tangkap cantrang melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021.
Persoalan baru yang dihadapi para nelayan saat ini adalah rencana pemerintah menerapkan sistem kontrak penangkapan ikan. Tujuan kebijakan penangkapan terukur ini adalah mendorong lebih banyak lagi kapal berukuran besar menangkap ikan di perairan Nusantara. Dalam rencana kebijakan ini, kuota penangkapan ikan tidak hanya ditawarkan kepada badan usaha, tetapi juga dapat dilakukan investor asing.
Rencana ini mendapat sorotan dari nelayan kecil. Kekhawatiran utama yang dikemukakan adalah tersingkirnya nelayan tradisional oleh kapal-kapal besar. Lelang area penangkapan laut ini membuat nelayan-nelayan kecil akan kalah bersaing dengan kapal-kapal besar yang memiliki peralatan modern. Sementara nelayan kecil masih menggunakan kapal dengan kapasitas 5 gross ton (GT) dengan alat tangkap sederhana seperti pancing.
Senada dengan kekhawatiran nelayan, publik juga mengungkapkan keresahan yang sama. Hasil jajak pendapat Kompas pada 22-23 Maret 2022 menemukan lebih dari setengah responden (53,3 persen) memandang kebijakan kontrak penangkapan ini akan membuat nelayan kecil makin menderita karena kalah bersaing dengan pemain besar dari dalam negeri dan luar negeri.
Sebelum muncul polemik kebijakan kontrak penangkapan ikan, nelayan di Indonesia juga diresahkan dengan kenaikan tarif pungutan hasil perikanan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak. Merespons hal ini, pada September 2021 ratusan nelayan dan pelaku usaha perikanan di Kota Tegal, Jateng, berkirim surat ke Presiden Joko Widodo untuk mengkaji ulang rencana kenaikan tarif yang mencapai empat kali lipat. Bagi nelayan, kenaikan berlipat itu sangat memberatkan.
Setelah menuai polemik, pada Oktober 2021 Kementerian Kelautan dan Perikanan mengoreksi komponen tarif dan skema pungutan hasil perikanan dengan memberikan kategori praproduksi dan pascaproduksi. Untuk tarif pascaproduksi ditetapkan untuk ukuran kapal sampai 60 GT, yaitu 5 persen, dan kapal di atas 60 GT 10 persen. Walaupun diubah dan dipilah kategorinya, keputusan ini tetap mengenakan tarif bagi kapal-kapal dengan kapasitas kecil 5 GT.
Pungutan tarif bagi nelayan kecil sudah pasti akan menambah biaya operasional yang mereka keluarkan. Porsi pengeluaran terbesar nelayan adalah ongkos BBM yang mencapai 60 persen dari biaya melaut. Ini artinya sebagian besar modal nelayan tersita untuk pembelian BBM dan nasib nelayan tergantung ada atau tidaknya pasokan BBM (solar).
Karena itu, kelangkaan solar yang mulai dirasakan sejak November 2021 menjadi pandemi lanjutan bagi nelayan di Indonesia. Hingga 27 Maret 2022 kelangkaan solar masih dirasakan nelayan di sebagian wilayah seperti Tegal dan Lampung. Untuk sekali melaut, para nelayan ini membutuhkan 100 liter solar.
Subsidi
Di luar masalah pasokan BBM, permasalahan laten yang juga masih menghambat terwujudnya kesejahteraan nelayan adalah praktik pencurian ikan oleh kapal ikan asing. Tak heran, menanggapi beragam permasalahan yang merugikan ini, publik jajak pendapat Kompas meminta pemerintah untuk fokus pada upaya memberikan bantuan modal bagi nelayan dan melakukan pengawasan ketat terhadap kapal asing di wilayah Indonesia.
Namun, kedua hal tersebut harus didasarkan pada ketersediaan basis data nelayan dan penangkapan ikan yang akurat. Temuan survei KNTI pada 1 April-21 Mei 2021 masih memperlihatkan adanya 82 persen nelayan dan pelaku usaha perikanan yang belum memiliki akses untuk memperoleh BBM bersubsidi.
Berulangnya problem pendataan dan mekanisme distribusi di lapangan, seperti yang dirasakan nelayan saat awal pandemi Covid-19, menjadi hal dasar yang harus dibenahi untuk memajukan kesejahteraan nelayan. Melalui pendataan yang akurat, dua langkah kebijakan yang disuarakan publik (bantuan dan perlindungan nelayan) dapat menjadi jalan mengakselerasi kesejahteraan nelayan kecil.
Bantuan modal, misalnya, dapat diberikan dalam bentuk penyediaan sarana dan prasarana yang berkualitas bagi nelayan kecil. Kelayakan sarana ini dapat menjadi bekal bagi nelayan menghadapi sistem penangkapan terukur dan juga mendukung daya saing nelayan untuk menggali lebih dalam potensi sumber daya laut Indonesia. Dengan kemampuan dan kesejahteraan yang meningkat, pungutan bagi nelayan menjadi relevan untuk dilakukan. (LITBANG KOMPAS)