Nelayan Miskin di Zona Penangkapan Terukur Minta Perhatian
Banyak nelayan miskin di zona penangkapan terukur. KKP janji akan beri bantuan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
DOBO, KOMPAS — Rencana pemerintah menerapkan kebijakan penangkapan terukur disambut kekecewaan sebagian nelayan lokal di kawasan timur Indonesia. Mereka berharap pemerintah lebih dulu memperhatikan nasib nelayan miskin, ketimbang memprioritaskan kebijakan untuk pemodal besar.
Poli Pikaem (50), nelayan Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, Kamis (17/3/2021) pagi, mengatakan, rencana kebijakan penangkapan terukur membuatnya terkejut. Salah satu zona penangkapan terukur adalah Laut Aru dan Laut Arafura yang terhubung langsung dengan Kepulauan Aru.
”Kenapa pemerintah lebih cepat urus perikanan untuk mereka yang pemodal besar, sedangkan kami nelayan miskin tidak diperhatikan?” ujarnya.
Poli sudah menjadi nelayan sejak berusia 15 tahun. Namun, hingga kini ia masih saja mengandalkan perahu dayung kayu sederhana untuk memancing kakap dan kerapu. Setiap malam, ia bertaruh nyawa mendayung perahu ke tengah laut dengan waktu tempuh hingga 2 jam 30 menit.
Penghasilannya paling banyak Rp 250.000 per malam. Namun, dengan peralatan seadanya dan cuaca kerap tidak bersahabat, ia tidak bisa melaut setiap hari. ”Modal hidup saya hanya sampan kecil, sedangkan laut dan ikan itu Tuhan yang kasih,” ujar ayah tujuh anak itu.
Ia menuturkan sudah berulangkali mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk meminta bantuan perahu motor, tapi tidak dijawab. Kondisi serupa dialami nelayan lainnya. Akibatnya, Poli hanya bisa memelihara mimpi memiliki perahu motor yang harganya Rp 25 juta per unit.
Ia berharap, sebelum pemerintah memikirkan kebijakan penangkapan terukur yang melibatkan para pemodal besar, nasib nelayan lokal harus diperhatikan terlebih dahulu. Tujuannya, agar nelayan lokal bisa maju dan sejahtera.
Dalam catatan Kompas, wacana penangkapan terukur itu gencar diperkenalkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mulai 2021. Namun, hingga kini belum ada kepastian kapan kebijakan penangkapan terukur akan dilaksanakan. Landasan yuridis berupa peraturan pemerintah dan peraturan menteri masih diselaraskan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Kebijakan penangkapan terukur melibatkan perusahan besar. Berdasarkan kontrak dengan pemerintah, mereka beroperasi di zona tertentu dengan batas kuota penangkapan yang telah diatur. Dalam satu zona, bisa lebih dari satu perusahaan. Masa kontrak berlangsung hingga 15 tahun dan bisa diperpanjang satu kali lagi.
Setiap perusahaan pemegang kontrak diwajibkan mendaratkan ikan di dekat zona penangkapan. Mereka membangun industri pengolahan di sana sehingga menyerap tenaga kerja lokal. Di Maluku, misalnya, terdapat sejumlah pelabuhan pendaratan, seperti Ambon, Tual, dan Dobo.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi lewat sambungan telepon, Rabu (16/3/2022) ,menegaskan, pemerintah sudah memberi bantuan kepada nelayan meski jumlahnya masih terbatas. Salah satu kendalanya, anggaran yang tidak cukup.
Menurutnya, kebijakan penangkapan terukur justru akan membuka ruang semakin besar untuk pemberdayaan nelayan. Anggaran pemberdayaan nelayan otomatis bertambah seiring meningkatnya pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang didapat dari penangkapan terukur. Targetnya, dalam satu tahun PNBP bisa mencapai Rp 12 triliun.
”Selama ini, kan, hanya sekitar Rp 200 miliar,” ujarnya.
Ruslan Tawari, pengajar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon menyarankan, pemerintah pusat sampai daerah harus menunjukkan komitmen untuk membantu nelayan miskin. Jika nelayan lokal sejahtera, tidak akan ada resistensi dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Janji pemerintah untuk membantu mereka dari hasil pengelolaan penangkapan terukur tidak bisa mereka terima begitu saja. Selama ini, nelayan lokal sudah kenyang dengan janji. ”Kepulauan Aru itu kaya dengan hasil laut, tapi masyarakatnya miskin. Ini soal keberpihakan,” kata Ruslan.