Nelayan menghadapi polemik terkait kebijakan baru pengenaan tarif PNBP dan rencana memberikan kuota wilayah tangkap di laut. Publik berdiri bersama nelayan, berharap pemerintah lebih berpihak bagi nelayan kecil.
Oleh
Yohanes Mega Hendarto
·5 menit baca
Akhir-akhir ini, awan mendung menyelimuti nasib nelayan Indonesia, terutama nelayan kecil. Perubahan iklim tiap tahun memengaruhi musim melaut dan berdampak langsung pada pendapatan nelayan. Belum lagi program pemerintah daerah yang banyak membuka investasi di wilayah pesisir seperti penambangan timah, kemudian mencemari air laut dan pada akhirnya mengurangi hasil tangkapan.
Hasil produksi perikanan laut tangkap masih menjanjikan di perairan Indonesia. Potensi perikanan laut masih perlu dikelola dengan hati-hati oleh pemerintah. Program-program yang dijalankan dalam sektor industri perikanan tetap harus senantiasa berpaling kepada kelompok nelayan guna memberdayakan pelaku usaha di garis terdepan kelautan Indonesia.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan, volume produksi perikanan laut terus mengalami tren positif hingga 2020. Mencuplik data 2015, volume produksi perikanan laut berada di angka 6,21 ribu ton dan nilai produksinya mencapai Rp 110 triliun. Dalam rentang lima tahun, kedua angka ini naik secara signifikan.
Volume produksi perikanan laut naik 15 persen menjadi 7,13 ribu ton dengan nilai produksi mencapai Rp 208,6 triliun. Namun jika dilihat secara detail, dalam rentang 2015 hingga 2020, kedua indikator tersebut tidak selalu mengalami kenaikan angka per tahunnya. Artinya, masih ada kemungkinan di tahun-tahun selanjutnya hasilnya justru stagnan atau menurun jika kebijakan pemerintah kurang mendukung pemberdayaan industri perikanan.
Nasib nelayan kian diterpa sejak KKP menerapkan PP Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada September 2021 lalu. Nelayan merasa diberatkan dengan ketentuan naiknya besaran tarif PNBP kepada nelayan sekitar 5-10 persen.
Aturan sebelumnya (PP Nomor 62 tahun 2002) kategori kapal kurang dari 60 GT dikenakan tarif satu persen. Kemudian di PP Nomor 75 Tahun 2015 naik menjadi 5 persen dengan kategori kapal kecil 30-60 GT. Di aturan terbaru, PP Nomor 85 Tahun 2021, ketentuan ini diperluas menjadi kapal dengan ukuran 5-60GT dikenakan tarif 5 persen untuk PNBP.
Diterapkannya kenaikan tarif PNBP ini tidak diimbangi dengan pembenahan penerapan dan kontrol atas aturan mengenai harga patokan ikan (HPI). Kecenderungannya, HPI di tiap daerah masih berbeda-beda dan HPI yang ditentukan KKP jauh melampaui harga di tingkat pasar. Padahal, HPI yang tinggi dari KKP turut memengaruhi pungutan PNBP di sektor perikanan yang memberatkan nelayan dan pelaku usaha perikanan.
Khawatir
Beragam polemik yang sedang terjadi di sektor perikanan dan kelautan Indonesia rupanya ditangkap oleh masyarakat. Publik mengkhawatirkan kondisi perikanan makin memburuk, mulai dari menurunnya hasil tangkap perikanan laut hingga nasib nelayan yang kalah bersaing dengan korporasi dan pengusaha asing.
Kondisi ini terpotret dari dalam jajak pendapat Kompas pada 22-25 Maret 2022 di 34 provinsi di Indonesia. Mayoritas responden (82,7 persen) tidak setuju terhadap penerapan PP Nomor 85 Tahun 2021 yang dianggap makin membebani nelayan dan pelaku usaha perikanan. Bisa jadi, publik juga mengkhawatirkan naiknya tarif akan memengaruhi naiknya harga ikan di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok saat ini.
Publik juga menangkap isu lainnya yang terjadi antara nelayan dan pelaku usaha dengan pihak pemerintah yang memberlakukan sistem kontrak penangkapan ikan dengan mengundang investor dalam dan luar negeri sejak Maret 2022. Sistem kontrak penangkapan ikan berjangka 15 tahun untuk industri dalam negeri dan penanaman modal asing adalah bagian dari kebijakan penangkapan terukur di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI.
Adapun, zona industri perikanan yang menerapkan sistem kontrak penangkapan ikan meliputi empat zona yang terdiri dari tujuh WPP, yakni WPP 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan), WPP 716 (Laut Sulawesi) dan 717 (Teluk Cenderawasih dan Samudra Pasifik). Selain itu, WPP 715 (Laut Maluku dan Laut Halmahera), WPP 718 (Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian timur); WPP 572 (Samudra Hindia sebelah barat) dan 573 (Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara).
Publik cenderung memandang program ini sebagai ancaman terhadap nelayan kecil ketimbang prospek kemajuan hasil perikanan laut dan dampak positif langsung kepada nelayan. Hanya sebagian kecil responden saja yang memandang bahwa sistem kontrak ini akan membawa dampak baik bagi nelayan dan sektor perikanan.
Litbang Kompas mencoba memetakan persepsi publik dengan menimbang kemungkinan munculnya dua sentimen yang berbeda terkait pihak yang digandeng pemerintah, yakni pihak swasta lokal dan pihak pengusaha asing. Hasilnya, lebih dari setengah responden (53,3 persen) memandang program kontrak ini akan membuat nelayan kecil makin menderita karena kalah bersaing dengan pihak swasta lokal. Jawaban yang sama (47,1 persen) juga dipilih responden terkait kerja sama dengan pihak asing atau investor luar negeri.
Hal yang perlu diberi perhatian lebih ialah tingkat kekhawatiran publik lebih tinggi jika sistem kontrak ini dibuka kepada investor asing. Lebih dari sepertiga responden memandang keputusan tersebut akan membawa ancaman terhadap wilayah maritim Indonesia. Kekhawatiran publik berbanding cukup jauh jika sistem kontrak ini diberlakukan kepada pihak swasta lokal, hanya 18,6 persen.
Tugas KKP
Dua permasalahan di atas yang berimbas pada nasib nelayan berawal dari keinginan pemerintah menaikkan target penerimaan Negara. Di 2022, pemerintah menargetkan PNBP dari perikanan tangkap sebesar Rp 1,5 triliun serta naik jadi Rp 4 triliun tahun 2023.
Target pemerintah dan KKP tersebut dapat dikatakan sebagai muara dari polemik seputar kenaikan tarif PNBP dan dibukanya sistem kontrak di perairan Indonesia. Namun, tuntutan yang tinggi tersebut seharusnya didahului dengan pembenahan sistem dan infrastruktur di lapangan.
Setidaknya, ada dua hal yang publik harapkan dari pemerintah melalui KKP untuk memajukan hasil perikanan laut Indonesia. Pertama, publik mengharapkan nasib nelayan tradisional lebih diperhatikan dengan diberikan bantuan modal. Tambahan modal ini diharapkan dapat meringankan beban nelayan di tengah ancaman kelangkaan dan kenaikan harga solar akhir-akhir ini.
Kedua, pemerintah diharapkan kembali melakukan pengawasan ketat terhadap kapal asing di wilayah Indonesia. Selain soal penangkapan ikan ilegal, pengawasan ini juga demi menjaga wilayah kemaritiman Indonesia.
Begitu besar harapan nelayan dan publik agar pemerintah senantiasa memperhatikan sektor perikanan laut yang memiliki potensi besar dalam jangka panjang. Bagaimanapun juga, laut adalah bagian identitas dari Indonesia sebagai negara kepulauan. Jangan sampai, nelayan justru menjadi miskin di laut Indonesia yang kaya. (LITBANG KOMPAS)