Selain Rumah Tangga, Industri Olahan dan Horeka Juga Berebut Cabai Rawit
Menipisnya ketersediaan pasokan cabai di pasaran diperparah oleh meningkatnya permintaan pasar karena cabai diperebutkan oleh konsumen rumah tangga, industri olahan, dan restoran.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA (BAH)
Petani menunjukkan cabai yang busuk saat memanen di Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Kamis (5/3/2020). Hujan membuat banyak cabai menjadi busuk. Hasil panenan tersebut dijual Rp 17.000 per kilogram untuk cabai merah dan Rp 10.000 per kilogram untuk cabai hijau.
SURABAYA, KOMPAS — Menipisnya ketersediaan pasokan cabai di pasaran disebabkan penurunan produksi yang signifikan. Kondisi semakin diperparah oleh meningkatnya permintaan pasar karena cabai tidak hanya diperebutkan oleh konsumen rumah tangga, tetapi juga industri olahan, hotel, restoran, dan kafe.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur luas tanam cabai rawit Januari-Maret tahun 2022 mencapai 14.562 hektare dengan hasil panen mencapai 164.806 ton dan konsumsi sebesar 218.273 ton per kapita per tahun. Dengan demikian, produksi cabai rawit masih surplus 146.533 ton.
Pada April produksi cabai rawit hanya 63 persen dari sebelumnya. Adapun prognosa Mei menunjukkan luas tanam sebesar 1.285 ha dengan produksi 11.892 ton. Terjadi surplus 503 ton. Meski terjadi surplus, produksi cabai tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan pasar karena Jatim merupakan produsen terbesar nasional.
”Jatim termasuk salah satu daerah sentra produksi komoditas cabai besar dan cabai rawit di Indonesia dengan konsumen utama industri olahan, hotel, restoran, dan kafe. Industri menyerap 80 persen dari produksi petani,” ujar Kepala Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur Hadi Sulistyo, Jumat (10/6/2022).
Dia menjelaskan, produksi cabai rawit pada tahun 2019 mencapai 535.098 ton dengan kontribusi 39 persen dari produksi nasional. Produksi tersebut meningkat pada tahun 2020 menjadi 684.943 ton dengan kontribusi 45,4 persen dari produksi nasional.
Selanjutnya, pada 2021 produksi cabai rawit mencapai 578.883 ton dengan kontribusi 41,8 persen. Selama tiga tahun tersebut, Jatim menempati urutan pertama nasional.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA (BAH)
Petani menunjukkan cabai yang busuk saat memanen di Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Kamis (5/3/2020). Hujan membuat banyak cabai menjadi busuk. Hasil panenan tersebut dijual Rp 17.000 per kilogram untuk cabai merah dan Rp 10.000 per kilogram untuk cabai hijau.
Menipisnya ketersediaan pasokan cabai, terutama rawit atau cabai kecil di pasaran saat ini, diakibatkan produksi yang menurun signifikan. Beberapa daerah sentra produksi cabai melaporkan penurunan produksi hingga 50 persen. Adapun penyebabnya adalah curah hujan tinggi dan merebaknya serangan organisme pengganggu tanaman.
Akibat menipisnya ketersediaan pasokan cabai rawit ini, harga di pasaran melonjak tajam. Di Pasar Tradisional Larangan Sidoarjo misalnya, harga cabai rawit menembus Rp 105.000 per kg pada Jumat. Sementara itu, harga cabai besar berada di kisaran Rp 80.000 per kg.
Namun, produksi cabai rawit Juli 2022 diprediksi mencapai 17.901 ton sehingga ketersediaan diperkiraan surplus 11.810 ton pada saat Idul Adha.
Harga cabai rawit diprediksi turun di kisaran Rp 60.000 per kg. Adapun produksi cabai besar pada bulan Juli diprediksi mencapai 6.596 ton sehingga terjadi surplus 903 ton. Harga cabai besar diprediksi Rp 45.000 per kg.
Di pasaran di Kota Surabaya, harga cabai rawit yang mulai merangkak naik sejak dua pekan terakhir kini tembus Rp 104.000 per kg, sedangkan cabai besar Rp 90.000 per kg.
”Pasokan cabai rawit maupun cabai besar cenderung sedikit, maka harga tiap hari berubah,” kata Zulaeka, pedagang cabai di Pasar Keputran Surabaya berkisar Rp 85.000-Rp 90.000 per kg.
Menurut Ketua Kelompok Tani Sendang Biru Kelurahan Made Kecamatan Sambikerep Surabaya, Karnoto, hasil panen cabai pada musim ini mengalami penurunan drastis. Biasanya pada puncak musim panen, tanaman cabai miliknya bisa menghasilkan 200 kg dari lahan seluas 1 hektar. Sekarang dari luas areal serupa, produksi hanya 20 kg, karena tanaman rusak diterjang hujan yang berlangsung secara berlebihan.
KOMPAS/AGNES SWETTA PANDIA
Panen cabai di lahan pertanian perkotaan di Sumur Welut, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya, Jawa Timur, Rabu, (20/2/2019).
Hadi mengatakan, untuk mengatasi faktor cuaca dan serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT), pihaknya telah mengerahkan petugas lapangan untuk melakukan pengamatan dan pemantauan faktor cuaca, seperti kejadian banjir dan kekeringan. Selain itu, inventarisasi dan identifikasi faktor-faktor yang mendukung terjadinya perkembangan OPT.
”Hasilnya, kami sudah mendapatkan peta penyebaran OPT, baik endemis, sporadis, maupun potensial mulai dari tingkat kecamatan sampai dengan tingkat kabupaten setiap musim tanam,” ujarnya.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Sujak membersihkan cabai rawit di Pasar Wonokromo, Surabaya, Sabtu (7/1). Setelah sehari sebelumnya mencapai harga Rp 100.000 per kilogram, harga cabai rawit kini turun menjadi Rp 90.000 per kilogram di pasar tersebut.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengatakan, menipisnya pasokan cabai telah memicu disparitas harga yang signifikan antara petani dan konsumen. Untuk mengatasi persoalan tersebut, antara lain memperpendek rantai pasar dengan menyelenggarakan pasar tani dan Toko Tani Indonesia yang menjual produk dari petani.
Di samping itu, juga mendorong serta memfasilitasi kemitraan dengan perusahaan olahan dan supplier besar.
Sementara itu, guna meningkatkan produksi dan stabilisasi harga cabai di Jatim telah dikembangkan sejumlah kawasan cabai dengan menerapkan prosedur standar sesuai dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Balai Pengkajian Pertanian.
Upaya lain mendorong gerakan pertanaman cabai di pekarangan rumah. Penerapan PHT (pengendalian hama terpadu), GAP (
good agriculture practices
) dan GHP (
good handling practices
) melalui Sekolah Lapang untuk meningkatkan kualitas produk. Selain itu, fasilitasi peralatan sarana pascapanen dan pengolahan hasil cabai.
Wakil Ketua KTNA Jatim Suharno mengatakan, pemerintah di tingkat pusat dan daerah harus segera mengatasi terbatasnya pasokan cabai yang disebabkan oleh penurunan produksi. Salah satunya, mendorong petani menanam cabai dan memberikan bantuan berupa sarana prasarana produksi.
”Dengan adanya gangguan cuaca dan serangan organisme pengganggu tanaman, biaya produksi pertanian menjadi tinggi. Kenaikan biaya produksi ini mencapai dua kali lipat,” ucap Suharno.
Dia menambahkan, tingginya harga cabai rawit dan cabai besar sebenarnya membantu petani menghadapi naiknya biaya produksi. Namun, dia mengakui, terjadi disparitas harga yang tinggi antara petani dan konsumen. Sebagai gambaran, harga cabai rawit di tingkat petani Rp 60.000 hingga Rp 70.000 per kg, padahal harga di konsumen di atas Rp 100.000 per kg.