Tim Ekspedisi Sungai Nusantara menemukan, dari 100 liter air di Krueng (Sungai) Aceh, terdapat 150 mikroplastik yang berasal dari sampah yang dibuang ke sungai. Mikroplastik dapat mengganggu kesehatan manusia.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Hasil penelitian cepat yang dilakukan tim Ekspedisi Sungai Nusantara menemukan Krueng (sungai) Aceh di Kota Banda Aceh tercemar mikroplastik. Mikroplastik itu berasal dari sampah plastik yang dibuang ke sungai. Mikroplastik dapat memicu gangguan kesehatan bagi manusia.
Krueng Aceh adalah sebuah sungai utama yang berhulu di Aceh Besar dan hilirnya di Kota Banda Aceh. Krueng Aceh juga menjadi sumber air baku bagi perusahaan air minum daerah Banda Aceh. Peneliti Ekspedisi Sungai Nusantara, Prigi Arisandi, Minggu (5/6/2022), menuturkan, mikroplastik tersebut bersumber dari sampah plastik, fiber, popok bayi, dan bahan pakaian. ”Semakin ke arah hilir, jumlah mikroplastik makin bertambah,” katanya.
Penelitian dilakukan dengan cara mengambil air sungai sebanyak 100 liter kemudian disaring dengan jaring khusus yang disebut LST 1.0. Alat tersebut mampu menyaring partikel kecil hingga 0,01 milimeter. Partikel kecil tersebut kemudian diamati menggunakan mikroskop portabel dengan pembesaran 40-400 kali. Temuannya, partikel-partikel kecil itu sebagian adalah mikroplastik. ”Meski air Krueng Aceh tampak tidak terlalu keruh, kami menemukan hingga 150 partikel mikroplastik dalam 100 liter air sungai,” ujarnya.
Prigi mengatakan, mikroplastik di Krueng Aceh bersumber dari sampah plastik yang dibuang ke sungai. Selain memeriksa kualitas air, Prigi dan temannya, Amiruddin, mencatat ragam sampah yang ditemui di badan sungai dan tepian sungai.
Mereka mencatat jenis sampah plastik yang terdapat di sungai berupa tas kresek, styrofoam, popok bayi, bungkusan makanan, dan botol minum kemasan. Dalam waktu yang lama, sampah tersebut akan hancur menjadi serpihan plastik kecil berukuran di bawah 5 mm yang disebut mikroplastik.
Mikroplastik tersebut dapat berpindah ke tubuh manusia melalui air yang diminum atau mengonsumsi ikan yang telah terkontaminasi. Dalam waktu yang lama, mikroplastik dalam tubuh dapat memicu penurunan kualitas sperma, gangguan prostat, menahan distribusi darah ke organ tubuh, memicu obesitas, hingga menurunkan kecerdasan dan imun pada anak.
Pengambilan air Krueng Aceh dilakukan di tiga titik, yakni hulu, tengah, dan hilir. Pada bagian hulu di Desa Lambeugak, Aceh Besar, dari 100 liter air ditemukan 36 mikroplastik. Sementara di bagian tengah, di Lambaro, Aceh Besar, dari 100 liter air ditemukan 90 mikroplastik, dan di bagian hilir di Beurawe, Banda Aceh, ditemukan 150 mikroplastik.
Ekspedisi Sungai Nusantara adalah sebuah program meneliti kualitas sungai di Indonesia dari mikroplastik. Selama di Aceh, Prigi dan Amiruddin menguji air sungai di Aceh Selatan, Aceh Tamiang, dan Jambo Aye, Aceh Utara. Penelitian itu akan memakan waktu setahun.
Selama di Aceh Besar, Prigi dan Amiruddin blusukan ke permukiman warga untuk mengumpulkan informasi terkait pengelolaan sampah. Dia menemukan warga masih membuang sampah sembarangan. ”Saya menemukan sampah medis juga dibuang di dekat permukiman. Ini sangat berbahaya,” katanya.
Prigi menuturkan, kesadaran warga mengelola sampah masih rendah, keterlibatan pemerintah masih minim, dan tanggung jawab perusahaan penghasil sampah masih lemah. Dia berharap temuan mikroplastik dalam air Krueng Aceh menggerakkan pemerintah setempat untuk memperbaiki pengelolaan sampah.
Menanggapi temuan tim Ekspedisi Sungai Nusantara tersebut, Kepala Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup dan Kesehatan Aceh Cut Nismaita mengatakan, sejauh ini kualitas air Krueng Aceh masih memenuhi standar baku mutu air sebagai bahan baku perusahaan air minum daerah.
Meski begitu, Cut mengatakan, pemerintah telah berusaha memperbaiki pengelolaan sampah dengan melakukan kampanye hingga mengangkut sampah ke lokasi penimbunan akhir. Namun, tanpa kesadaran dari warga, pengendalian sampah sukar dilakukan. ”Mengubah perilaku warga untuk mengelola sampah butuh waktu yang panjang,” katanya.
Cut menambahkan, pola hidup ramah lingkungan dengan cara mengurangi penggunaan plastik dan mengelola sampah harus dimulai dari rumah tangga. Sementara, jika berharap pada pemerintah, anggaran pengelolaan sampah masih minim.
Sebelumnya, Ketua Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah Muhammad Nizar menuturkan, saat ini pengelolaan sampah di Banda Aceh hanya mengandalkan program pemerintah. Padahal, diperlukan keterlibatan warga, terutama pada pengurangan sampah dan memilah sampah sejak dari rumah tangga.
Nizar mengatakan, pemilahan dan pengelolaan sampah adalah dua hal yang harus dilakukan warga agar sampah yang dibuang berkurang. Namun, hasil survei yang dilakukan Nizar, hanya 20 persen responden yang memilah sampah. Sementara yang mengelola untuk kompos atau kerajinan lebih sedikit lagi.
Nizar menambahkan, usaha pemerintah mengurangi sampah akan berat jika perilaku warganya tidak berubah. Pemerintah sebagai pihak yang punya kewenangan dan anggaran harus meningkatkan kampanye ke tingkat akar rumput. Aturan yang telah dibuat juga perlu diterapkan. ”Saat ini warga kita masih belajar buang sampah pada tempatnya, belum pada tahapan mengolah sampah,” katanya.