Plastik telah menyusup ke dalam darah dan paru-paru manusia tanpa disadari. Melalui udara, air, dan makanan, setidaknya satu orang bisa menelan 0,1-5 gram plastik per minggu.
Oleh
AHMAD ARIF
·6 menit baca
Bukti-bukti bahwa plastik sudah mencemari tubuh kita semakin banyak ditemukan. Bulan lalu, Heather A Leslie dari Department of Environment and Health, Faculty of Science, Vrije Universiteit Amsterdam dan tim menemukan mikroplastik dari 80 persen sampel darah manusia yang diteliti. Penelitian yang diterbitkan di jurnal Environment International ini menyebutkan, dalam setiap mililiter darah sampel ditemukan sebanyak 1,6-7 mikrogram partikel plastik (Kompas.id, 25 Maret 2022).
Berikutnya, minggu lalu, para ilmuwan dari Inggris menerbitkan temuannya tentang mikroplastik di paru orang yang masih hidup untuk pertama kalinya di jurnal Science of the Total Environment. Mikroplastik itu tertanam di bagian bawah paru-paru, di mana orang akan berpikir saluran udara terlalu sempit untuk partikel ini bisa memasukinya.
Dua temuan terbaru ini merupakan konsekuensi logis dari kehadiran nanoplastik, yang berukuran kurang dari 0,001 milimeter, dan mikroplastik, yang berukuran 0,0001 hingga 5 milimeter, di mana-mana dalam jaring makanan kita. Namun , skala masalah paparan plastik ke tubuh manusia ternyata jauh lebih besar dari yang dikhawatirkan banyak ahli sebelumnya.
Riset yang dipublikasikan Kala Senathirajah dari The University of Newcastle, Australia, dan tim di jurnal Hazardous Material (2021) menunjukkan, satu orang dapat menelan 0,1-5 gram mikroplastik per minggu. Jumlah ini kira-kira seberat satu kartu kredit. Ini berarti, dalam 10 tahun satu orang bisa menelan sekitar 2,7 kg partikel plastik.
Sumber paparan
Senathirajah menyebutkan, mikroplastik telah ditemukan dalam makanan yang kita makan, cairan yang kita minum, udara yang kita hirup, dan lingkungan yang kita huni. Dengan demikian, dapat diprediksi bahwa ada hubungan antara sumber mikroplastik dengan manusia dan lingkungan asalnya.
Beberapa penelitian juga telah memastikan bahwa ada hubungan positif antara jumlah mikroplastik yang ada pada organisme air dan lingkungan perairannya. Oleh karena itu, jumlah mikroplastik dalam makanan yang bersumber dari lingkungan perairan, seperti makanan laut dan garam, sangat mungkin berkorelasi langsung dengan massa mikroplastik yang ada di lingkungan perairan.
Lingkungan dan rantai makanan di Indonesia, khususnya yang bersumber dari perairan, juga tak luput dari paparan partikel plastik. Penelitian Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar, Akbar Tahir bersama para peneliti dari University of California Davis menemukan cemaran plastik mikro di saluran pencernaan ikan dan kerang yang dijual di tempat pelelangan ikan terbesar di Makassar. Hasil riset yang dipublikasikan di jurnal Nature (2015) itu menyebutkan, paparan plastik ditemukan di sepertiga sampel yang diteliti.
Sementara itu, penelitian Reza Cordova dari Pusat Riset Oseanografi-Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan, ada 10-20 partikel plastik mikro per kilogram garam yang diteliti di pantai utara Jawa (Kompas, 30 November 2018). Temuan plastik pada garam juga dilaporkan Tahir dalam penelitiannya di tambak rakyat Jeneponto, Sulawesi Selatan (Global Journal of Environmental Science and Management, 2018).
Garam laut memang menjadi sumber potensial paparan plastik ke tubuh manusia. Sementara untuk ikan, risiko paparan plastik relatif rendah karena keberadaan partikel plastik rata-rata di saluran pencernaan, yang relatif jarang dikonsumsi, walaupun terdapat bukti bahwa partikel plastik ukuran nano bisa terakumulasi di dalam otak ikan, sebagaimana dilaporkan Karin Mattsson dan timnya dari Lund University, Swedia di jurnal Nature (2017).
Selain dari makanan, serat plastik mikro juga telah menyebar melalui udara yang kita hirup. Ini dibuktikan dengan temuan serat plastik mikro di berbagai lokasi terpencil di Bumi, termasuk di Kutub Utara dan di Pegunungan Himalaya, dengan tingkat pengendapan yang sebanding dengan di kota-kota yang sangat maju. Ini menunjukkan kemunculan dan penyebarannya yang luas di seluruh atmosfer.
Mikroplastik atmosfer, yang berasal dari bahan alami atau sintetis, dihasilkan melalui pencucian dan abrasi tekstil, karpet, rumput sintetis, debu rumah tangga, hingga abrasi ban kendaraan.
Mikroplastik telah ditemukan dalam makanan yang kita makan, cairan yang kita minum, udara yang kita hirup, dan lingkungan yang kita huni. Dengan demikian, dapat diprediksi bahwa ada hubungan antara sumber mikroplastik dengan manusia dan lingkungan asalnya.
Namun, sumber utama paparan plastik ke tubuh manusia kemungkinan berasal dari air minum. Studi Senathirajah menunjukkan bahwa air minum, baik dari aliran pipa maupun kemasan menjadi penyumbang terbesar jumlah partikel yang tertelan oleh manusia secara global.
”
Jumlah mikroplastik yang lebih tinggi dilaporkan dalam air kemasan, yang kemungkinan berasal dari pengemasan dan pemrosesan,” tulis Senathirajah.
Minum air dalam jumlah yang disarankan, 1,5 hingga 2 liter setiap hari, melalui botol plastik saja akan memasukkan 90.000 partikel plastik per tahun ke dalam tubuh kita. Namun, minum air dari keran juga tidak menyelesaikan masalah karena mikroplastik yang ditemukan dalam sampel air mentah nyaris sama besarnya dengan yang diperoleh pada air kemasan.
Sumber air permukaan yang dekat dengan titik pembuangan air limbah dan atau tidak diolah sebelum diminum, cenderung memiliki konsentrasi polusi mikroplastik yang lebih tinggi terutama di lingkungan perkotaan di mana prevalensi plastik lebih tinggi.
Temuan partikel plastik di darah yang dilaporkan Leslie dan tim juga menguatkan asal plastik dari air minum. Setengah dari sampel darah itu mengandung PET, plastik yang biasa digunakan dalam botol minuman, sementara sepertiga mengandung polistirena, bahan yang digunakan untuk mengemas makanan dan produk lainnya. Seperempat sampel darah mengandung polietilen, yang biasanya dipakai untuk membuat kantong plastik.
Risiko paparan plastik dari botol atau galon air minum memang sangat tinggi. Apalagi, para peneliti di Universitas Kopenhagen juga telah menemukan ratusan zat kimia dalam air yang disimpan dalam botol plastik yang dapat digunakan kembali. Beberapa zat ini berpotensi berbahaya bagi kesehatan manusia. Temuan ini dipublikasikan di Journal of Hazardous Materials volume 429 edisi Meri 2022.
Paparan plastik dalam tubuh manusia sepertinya tak bisa dielakkan lagi, bahkan bagi mereka yang tinggal di tempat terpencil sekalipun. Saat ini para ahli kesehatan masih menyelidiki dampak buruk paparan mikro dan nanoplastik yang tertelan ke dalam tubuh manusia.
Salah satu riset terbaru, Elisabeth S. Gruber dari Medical University of Vienna, Austria di jurnal Exposure & Health (Maret 2022) menunjukkan, nanoplastik dan mikroplastik memiliki kemampuan untuk mengubah komposisi mikrobioma usus. ”Pada dasarnya, plastik kecil ini mendatangkan malapetaka pada usus,” tulis Gruber.
Terganggungnya mikrobioma saluran pencernaan oleh paparan plastik, menurut Gruber, terkait dengan penyakit metabolik seperti obesitas, diabetes, dan penyakit hati kronis. Paparan mikroplastik dan nanoplastik yang tinggi ini, juga bisa memicu inflamasi dan
mengganggu imun. Selain itu, partikel plastik juga bertindak sebagai pengangkut potensial atau vektor kontaminan dan sebagai chemosencitizer untuk zat beracun, seperti efek kuda troya.
Dalam beberapa waktu ke depan, bukti-bukti tentang dampak buruk paparan plastik terhadap kesehatan manusia bakal kian mengemuka. Namun demikian, melihat situasi saat ini, tampaknya mustahil untuk benar-benar menghindari menelan nano dan mikroplastik. Ini berarti efek kesehatan dari plastik tampaknya bakal menjadi risiko yang harus dihadapi, terutama oleh generasi mendatang.