Produksi Sampah di Banda Aceh Meningkat, Kemampuan Mengolah Terbatas
Berdasarkan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) dalam tiga tahun terakhir produksi sampah di Banda Aceh meningkat. Pada tahun 2019, jumlah sampah 87.088 ton, meningkat menjadi 88.800 ton.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Dalam tiga tahun terakhir produksi sampah di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, terus meningkat. Sementara kemampuan untuk mengolah atau mengelola terbatas. Keterlibatan warga mengelola sampah di tingkat rumah tangga sangat dibutuhkan.
Kepala Bidang Persampahan Dinas Lingkungan Hidup dan Keindahan Kota (DLHK3) Banda Aceh, Asnawi, dihubungi Jumat (20/5/2022) mengatakan produksi sampah bertambah seiring bertambahnya penduduk dan pola hidup warga yang konsumtif.
”Pola hidup yang konsumtif sehingga banyak sisa makanan yang terbuang,” kata Asnawi.
Berdasarkan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) dalam tiga tahun terakhir produksi sampah di Banda Aceh meningkat. Pada 2019 jumlah sampah 87.088 ton, meningkat menjadi 88.800 ton pada 2020. Pada 2021 produksi sampah kembali naik menjadi 90.765 ton.
Masih data dari SIPSN sumber sampah paling banyak dari rumah tangga yakni mencapai 76 persen dan dari kegiatan perniagaan mencapai 18 persen. Sebanyak 30 persen sampah di Banda Aceh atau 30.400 ton merupakan sisa makanan. Artinya kebiasaan membuang makanan masif dilakukan oleh warga kota itu.
Selain sampah sisa makanan, sampah plastik juga mendominasi jenis sampah di Banda Aceh. Dalam setahun produksi sampah plastik mencapai 16.600 ton atau 16,16 persen.
Asnawi menuturkan pada masa pandemi warga banyak melakukan aktivitas di rumah sehingga memicu peningkatan produksi sampah.
Di sisi lain, kebiasaan warga mengelola sampah dari rumah masih kurang. Akibatnya sampah-sampah itu berakhir ke tempat penampungan akhir (TPA).
Asnawi menambahkan jika sampah rumah tangga dapat ditekan maka produksi sampah di Banda Aceh akan berkurang. Akan tetapi, itu mudah, sebab sangat minim warga yang memilah dan mengolah sampah dari rumah.
Pengelolaan sampah di Banda Aceh hanya mengandalkan pemerintah. Padahal, kemampuan pemerintah mengangkut dan mengelola sampah terbatas. Akibatnya, sampah rumah tangga yang tidak terangkut mengotori kota hingga pantai.
Tumpukan sampah
Seperti terlihat pada Kamis, di tepi jalan Syiah Kuala, Banda Aceh, tumpukan terdapat di trotoar. Padahal, lokasi itu bukan tempat pembuangan sampah.
Sampah plastik juga memenuhi perairan Pelabuhan Lampuloe. Sampah plastik berupa botol minim kemasan, bungkus makanan, hingga kantong plastik mencemari laut.
”Kami melakukan sosialisasi dan mengajak warga beraksi. Penggunaan kantong belanja yang bisa digunakan berulang, pemanfaatan sampah untuk kerajinan, hingga melakukan pengomposan,” ujarnya.
Asnawi mengatakan pola hidup konsumtif harus diubah, misalnya dengan memasak dan membeli makanan sesuai kebutuhan atau mengolah makanan yang masih layak dikonsumsi. Perubahan perilaku konsumtif perlu dilakukan agar produksi turun sejak dari rumah tangga.
Asnawi menuturkan untuk menekan produksi sampah, Pemkot Banda Aceh mengeluarkan Peraturan Wali Kota Nomor 111 tahun 2020 tentang Penggunaan Kantong Plastik. Dalam perwal itu diatur mengenai plastik berbayar dan sanksi pidana bagi warga yang membuang sampah di ruang publik.
Banyak warga lebih memilih membayar plastik daripada membawa kantong belanja sendiri. (Asnawi)
Namun, Perwali itu tidak berjalan efektif. Sosialisasi minim dan nyaris tidak ada penindakan bagi pelanggar. ”Banyak warga lebih memilih membayar plastik daripada membawa kantong belanja sendiri,” kata Asnawi.
Ketua Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah Muhammad Nizar menuturkan, saat ini pengelolaan sampah di Banda Aceh hanya mengandalkan program pemerintah. Padahal, diperlukan keterlibatan warga, terutama pada pengurangan sampah dan memilah sampah sejak dari rumah tangga.
Nizar mengatakan, pemilahan dan pengelolaan sampah dua hal yang harus dilakukan oleh warga agar sampah yang dibuang berkurang. Namun, hasil survei yang dilakukan Nizar, hanya 20 persen responden yang memilah sampah.
”Sementara yang mengelola untuk kompos atau kerajinan lebih sedikit lagi,” kata Nizar.
Nizar menambahkan usaha pemerintah mengurangi sampah akan berat jika perilaku warganya tidak berubah.
”Saat ini warga kita masih belajar buang sampah pada tempatnya, belum pada tahapan mengolah sampah,” kata Nizar.
Nizar mengatakan, pemerintah sebagai pihak yang punya kewenangan dan anggaran harus meningkatkan kampanye ke tingkat tapak. Aturan yang telah dibuat juga perlu diterapkan.