Dua Penjabat di Sultra Tak Juga Dilantik, Tugas Bupati Dilaksanakan Sekda
Kementerian Dalam Negeri masih berupaya agar penjabat bupati Buton Selatan dan Muna Barat segera dilantik. Sebelum ada pelantikan penjabat bupati di dua wilayah tersebut, sekretaris daerah menjadi pelaksana harian.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga Rabu (25/5/2022), Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara belum mau melantik penjabat bupati Buton Selatan dan Muna Barat yang telah ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri. Agar tak terjadi kekosongan kepemimpinan di daerah setempat, Kementerian Dalam Negeri masih berupaya agar kedua penjabat bisa segera dilantik.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Benni Irwan, saat dihubungi di Jakarta, mengatakan, Kemendagri masih berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) untuk menentukan waktu pelantikan terhadap kedua penjabat.
”Selama belum ada pelantikan (penjabat bupati) itu, sekda (sekretaris daerah) yang melaksanakan tugas kepala daerah secara otomatis sebagai pelaksana harian,” kata Benni.
Lebih lanjut disampaikan Benni, posisi pelaksana harian yang dijabat oleh sekda ini tidak boleh terlalu lama. Karena itu, Kemendagri berharap kedua penjabat bupati tersebut segera dilantik.
Ia menegaskan, Kemendagri akan mengambil langkah sesuai peraturan perundang-undangan, yakni berkomunikasi dengan gubernur. Jika gubernur tak kunjung melantik, Kemendagri akan mengambil alih.
Selama belum ada pelantikan (penjabat bupati) itu, sekda (sekretaris daerah) yang melaksanakan tugas kepala daerah secara otomatis sebagai pelaksana harian. (Benni Irwan)
Sebelumnya, Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi belum mau melantik penjabat bupati Buton Selatan dan Muna Barat meski semula telah diagendakan pada Selasa (24/5/2022). Kepala Biro Pemerintahan Sultra Muliadi menjelaskan, penundaan pelantikan karena penolakan masyarakat atas penjabat bupati yang ditunjuk Mendagri (Kompas, 25/5/2022).
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Herman N Suparman mengatakan, belum dilantiknya penjabat bupati di Sulawesi Tenggara terjadi karena peraturan pelaksana seperti yang diperintahkan Mahkamah Konstitusi (MK) belum ada. Sampai saat ini pemerintah pusat belum mengeluarkan peraturan mendagri ataupun peraturan pemerintah terkait dengan pengangkatan penjabat kepala daerah.
Proses pemilihan penjabat kepala daerah masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang hanya mengatur persyaratan. Sementara itu, mekanisme pengangkatan penjabat kepala daerah belum diatur. Alhasil, ketika ada usulan dari gubernur yang berlainan dengan Kemendagri, gubernur tidak bisa disalahkan.
”Siapa yang menyaring belum diatur secara jelas sehingga tidak heran gubernur di Sultra tidak mau melantik,” kata Herman.
Agar hal serupa tidak terjadi lagi, Herman mendorong pemerintah pusat perlu segera mengeluarkan regulasi. Regulasi tersebut tidak hanya mengatur mekanisme pengangkatan, tetapi juga kewenangan penjabat kepala daerah.
Herman mengingatkan, pengisian pelaksana harian oleh sekda terbatas oleh waktu dan kewenangan. Pelaksana harian tidak memiliki kewenangan seperti kepala daerah. Hal itu bisa berpotensi menimbulkan masalah di pemerintahan daerah sehingga rakyat yang dirugikan. Mereka tidak bisa mengambil keputusan strategis seperti penganggaran.
Penolakan TNI aktif
Penolakan terhadap Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Daerah Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal (TNI) Andi Chandra As’aduddin sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat, Maluku, juga terus bergulir. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk membatalkan dan mencabut penunjukan Andi Chandra.
Koalisi tersebut terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Jakarta, LBH Pos Malang, Imparsial, Kontras, Setara Institute, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Nasional, Public Virtue, Amnesty International Indonesia, serta Centra Initiative.
Pemerintah pusat perlu segera mengeluarkan regulasi. Regulasi tersebut tidak hanya mengatur mekanisme pengangkatan, tetapi juga kewenangan penjabat kepala daerah. (Herman N Suparman)
Ketua PBHI Julius Ibrani mengatakan, penunjukan Andi Chandra yang merupakan prajurit TNI aktif menjadi penjabat kepala daerah merupakan bentuk dari dwifungsi TNI yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Salah satu aturan tersebut terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Ditegaskan bahwa peran TNI adalah sebagai alat pertahanan negara yang pada implikasinya bahwa anggota TNI aktif terpisah dari institusi sipil negara.
Koalisi mendesak pemerintah, dalam hal ini melalui Presiden Joko Widodo dan Mendagri, untuk membatalkan serta mencabut penunjukan anggota TNI aktif sebagai penjabat bupati. Sebab, hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta pelanggaran hak asasi manusia.
Sebelumnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, penempatan anggota TNI sebagai penjabat kepala daerah sudah dibenarkan oleh undang-undang, peraturan pemerintah, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022 (Kompas.id, 25/5/2022).