Ragam Tradisi Sambut Malam Lailatul Qadar
Di Surakarta, Jawa Tengah, Keraton Kasunanan Surakarta menggelar Kirab Malam Selikuran dengan menyediakan seribu tumpeng. Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, warga kampung menyalakan "dila jojor" atau lampu "jojor".
Umat Islam meyakini, di antara sepuluh malam terakhir Ramadhan terdapat satu malam yang lebih mulia dari seribu bulan, yaitu malam Lailatul Qadar. Selain dengan kekhusyukan kepada Yang Maha Kuasa di tempat ibadah, warga di sejumlah wilayah Nusantara juga menjalankan tradisi khas daerah masing-masing untuk menyambut malam istimewa itu.
Di Kota Surakarta, Jawa Tengah, misalnya, Keraton Kasunanan Surakarta menggelar Kirab Malam Selikuran dengan menyediakan seributumpeng. Adapun di Lombok, Nusa Tenggara Barat, warga kampung menyalakan dila jojor atau lampu jojor pada tanggal-tanggal ganjil di sepuluh hari terakhir bulan puasa.
Sejumlah abdi dalem dan pengageng berbaris di depan bangunan utama Keraton Kasunanan Surakarta, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (22/4/2022) malam. Di barisan paling depan, sejumlah abdi dalem memanggul lampu ting atau lampu minyak bergambar lambang keraton. Ada juga lampu ting yang berbentuk menyerupai masjid dan bintang.
Tak hanya lampu ting, sejumlah abdi dalem juga memanggul tandu berwujud kotak kayu yang memuat tumpeng nasi gurih. Total ada seribu tumpeng yang dibawa malam itu. Tumpeng-tumpeng tersebut akan dibawa menuju Masjid Agung Surakarta yang berjarak sekitar 350 meter dari keraton.
Para abdi dalem itu lalu berjalan pelan-pelan. Setiap langkah mereka seolah dihayati betul. Tembang Jawa berlanggam pelog yang memuat doa keselamatan dan syukur mengiringi langkah mereka. Alunan itu sekaligus menambah khusyuk perjalanan kirab tersebut.
Sesampainya di Masjid Agung Surakarta, tumpeng nasi gurih dibawa masuk ke serambi masjid. Para pengageng keraton segera meminta takmir masjid untuk mendoakan persembahan itu. Setelah selesai didoakan, tumpeng langsung dibagikan kepada para abdi dalem dan sejumlah warga yang turut hadir.
Tumpeng yang dibagikan kepada masyarakat dan abdi dalem berukuran kecil. Satu tumpeng kecil berisikan kedelai hitam, cabai hijau, mentimun, dan rambak. Ada juga jajanan pasar, seperti apem, jadah, dan wajik. Sementara itu, tumpeng besar yang disertai satu ayam ingkung diberikan kepada pihak masjid.
Baca juga : Buka Bersama yang Merajut Ikatan Sosial hingga Memuluskan Bisnis
Kirab dan pembagian tumpeng itu merupakan bagian dari acara Kirab Malam Selikuran yang digelar untuk menyambut malam Lailatul Qadar. Dalam ajaran agama Islam, Lailatul Qadar merupakan malam yang penuh kemuliaan dan bahkan diyakini lebih baik daripada seribu bulan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa Lailatul Qadar terjadi pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, terutama pada malam-malam ganjil.
Wakil Pengageng Sasana Wilapa Keraton Kasunanan Surakarta Kanjeng Pangeran Dani Nur Adiningrat menjelaskan, penyelenggaraan kirab tersebut merupakan kewajiban Keraton Kasunanan Surakarta karena keraton itu merupakan salah satu penerus Kerajaan Mataram Islam.
Dia menambahkan, dalam kirab tersebut, Raja Keraton Kasunanan Surakarta Pakubuwono XIII memerintahkan abdi dalem untuk membawa tumpeng sebagai bentuk selamatan. ”Sampeyan Dalem (Sinuhun Pakubuwono XIII) memerintahkan utusan dalem untuk membawa tumpeng sewu sebagai bentuk wilujengan (selamatan),” tutur Dani.
Seribu tumpeng maknanya seperti seribu bulan dalam Lailatul Qadar. Sementara lampu ting melambangkan cahaya ampunan dari Allah.
Dani menjelaskan, wilujengan itu diharapkan ikut membawa kawilujengan atau keselamatan. Untuk itu, doa-doa yang dipanjatkan juga berisi permohonan agar selalu diberi keselamatan. Adapun doa ditujukan bagi Raja Keraton Kasunanan Surakarta Pakubowono XIII, permaisuri, serta segenap keluarganya. Keselamatan juga hendaknya menaungi negara dan masyarakat.
”Yang didoakan semuanya. Dalam konteks ini, Sampeyan Dalem (Sinuhun Pakubuwono XIII) punya kewajiban untuk memberikan doa keselamatan bagi keraton, masyarakat semua, dan bagi bangsa Indonesia,” kata Dani.
Ajaran berbagi
Ketua Takmir Masjid Agung Surakarta HM Muhtarom mengungkapkan, tumpeng dan lampu ting yang dibawa punya makna sendiri-sendiri. Tumpeng merupakan bentuk syukur keraton sekaligus melambangkan seribu bulan yang ada dalam malam Lailatul Qadar.
Sementara itu, lampu ting diartikan sebagai cahaya bulan. Lewat tradisi itu, Muhtarom mengharapkan agar kemuliaan malam Lailatul Qadar bisa dirasakan umat Islam selama Ramadhan.
”Seribu tumpeng maknanya seperti seribu bulan dalam Lailatul Qadar. Sementara lampu ting melambangkan cahaya ampunan dari Allah. Kita diharapkan bisa mendapat kebaikan atau kemuliaan dari malam Lailatul Qadar ini. Semoga kita menjadi lebih baik sebagai manusia, sebagai makhluk Allah, di masa mendatang,” katanya.
Ia menambahkan, Kirab Malam Selikuran merupakan produk akulturasi budaya antara Islam dan Jawa. Dalam akulturasi, ajaran-ajaran agama diinternalisasikan melalui budaya dan tradisi yang hidup di masyarakat. Misalnya, tradisi berbagi tumpeng sejalan dengan ajaran agama untuk bersedekah sebagai bentuk syukur atas berkah yang diberikan Allah.
Bagi sebagian warga, Kirab Malam Selikuran menjadi peringatan yang dirindukan setiap tahun. Salah seorang yang merindukannya adalah Budi (50), warga Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Budi mengaku senang bisa menghadiri kembali kegiatan tersebut tahun ini. Menurut dia, tradisi yang menularkan ajaran-ajaran baik, seperti berbagi dan bersyukur, perlu terus dilestarikan.
”Sudah beberapa kali saya hadir dalam acara ini. Bagi saya, ini tradisi yang harus diuri-uri (dilestarikan) biar tidak punah. Apalagi, nilai-nilai yang termuat di sini baik. Ini mencerminkan beribu permintaan kepada Sang Pencipta supaya diberi selamat. Ini berkah buat kita semua,” kata Budi yang hadir bersama anak dan istrinya.
Baca juga : Jadikan Peringatan Nuzulul Quran Momentum Perkuat Kebersamaan dalam Keragaman
”Dila jojor”
Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, sebagian Muslim memiliki tradisi menyalakan dila jojor atau lampu jojor setiap tanggal ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Tradisi yang disebut juga maleman dan diwariskan secara turun-temurun itu juga merupakan salah satu cara menyambut keberkahan malam Lailatul Qadar.
Dila jojor sebenarnya istilah yang mengacu pada tusukan bambu yang ditempeli pasta biji buah nyamplung sebagai bahan bakar. Warga biasanya tidak membuat dila jojor sendiri, melainkan membeli ke sejumlah pembuat di dalam atau di luar kampung.
Tradisi menyalakan dila jojor, antara lain, dilakukan warga di Dusun Kwang Jukut, Desa Pringgarata, Lombok Tengah. Menurut Ahmad Layum (67), salah satu tokoh masyarakat Kwang Jukut, tradisi itu mereka selenggarakan pada setiap malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Layum menyebut, tidak ada catatan pasti sejak kapan tradisi menyalakan dila jojor itu dimulai di kampungnya. ”Tetapi, tradisi ini sudah turun-temurun. Sudah dilakukan oleh para pendahulu kami. Sejak saya masih kecil juga sudah ada,” ujarnya.
Tradisi menyalakan dila jojor biasanya diawali dengan zikir dan doa bersama di masjid. Tiap malam ganjil pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, sudah ada kampung tertentu yang mendapat giliran menyalakan dila jojor. Warga kampung yang mendapat giliran itu juga bertugas menyiapkan menu buka puasa untuk orang-orang yang mengikuti zikir.
”Jadi, pembagiannya juga sudah turun-temurun. Ada beberapa kampung di dusun ini. Misalnya, malam ini giliran kampung ini, lalu berikutnya giliran kampung lain. Begitu seterusnya,” kata Layum.
Semoga keberkahan tradisi ini juga bisa menghilangkan pandemi ini.
Menyalakan dila jojor biasanya dilakukan setelah shalat Maghrib dan dimulai lebih dulu di masjid, lalu diikuti di rumah-rumah. Saat dila jojor dinyalakan, sebagian besar lampu listrik di kampung akan dipadamkan.
Menolak bala
Para orang tua dibantu anak-anak biasanya membawa beberapa dila jojor yang sudah dibakar, lalu berkeliling ke sejumlah tempat tertentu di rumah yang dipercaya tempat turunnya Lailatul Qadar. Mereka lalu menancapkan dila jojor di sejumlah tempat, misalnya gerbang rumah, sudut-sudut rumah, hingga di bawah pepohonan.
Di desa lain, ada juga yang meletakkan dila jojor di kandang, lumbung padi, dan kebun. Juga di dekat tempat menyimpan beras.
”Kata orang tua dulu, kalau ditaruh di sudut rumah itu untuk menolak bala. Agar rumah kita tetap damai. Kalau ditaruh di lumbung padi atau tempat menyimpan beras, agar berkah dan murah rezeki,” kata Pitoni (45), warga Kwang Jukut lainnya.
Setelah ditancapkan, dila jojor akan dibiarkan menyala hingga padam. Ada kepercayaan, dila jojor yang sudah ditancapkan di tanah tidak boleh dicabut. Bagi yang nekat, konon bisa sakit mata.
Pada Jumat (22/4/2022) malam, kemeriahan tradisi dila jojor sangat terasa di Dusun Kwang Jukut. Setelah selesai menancapkan dila jojor di rumah masing-masing, anak-anak keluar ke jalan kampung. Mereka membawa dila jojor masing-masing, lalu berkeliling mengunjungi rumah warga yang juga sedang menyalakan dila jojor.
Sementara para pemuda dan orang tua tidak lupa mengabadikan momen itu dengan ponsel pintar, lalu membagikannya kepada kerabat atau ke media sosial. ”Alhamdulillah, senang karena tradisi ini tetap bisa diselenggarakan. Meski dalam kondisi berbeda karena pandemi. Semoga keberkahan tradisi ini juga bisa menghilangkan pandemi ini,” kata Ernawati (39), salah seorang warga.
Seiring padamnya dila jojor, warga bersiap-siap ke masjid untuk melaksanakan ibadah shalat Isya dan shalat Tarawih. Doa dipanjatkan kembali, agar malam itu keberkahan malam Lailatul Qadar bisa mereka raih.
Baca juga : Liburan Lebaran, Momen Menonton Sinema Indonesia