Wajah Aceh dalam Gelimang Dana Otonomi Khusus
Provinsi Aceh selama tahun 2008-2021 telah menikmati kucuran dana otonomi khusus dari pemerintah pusat sebesar Rp 88,43 triliun. Namun, sayang, korupsi membuat belanja anggaran belum mampu menanggulangi kemiskinan.
Provinsi Aceh yang dikenal sebagai salah satu daerah istimewa di Indonesia kini dihadapkan pada persoalan kemiskinan dan korupsi. Butuh gerakan besar untuk menyelamatkan Aceh.
Setelah tsunami 2004 dan perdamaian 2005, Aceh mendapat perhatian dunia, kewenangan, dan anggaran yang berlimpah. Alih-alih menjadi modal pembangunan, justru Aceh masih berada dalam ruang kemiskinan.
Sesuai data Badan Pusat Statistik Aceh per September 2021, jumlah penduduk miskin di Aceh sebanyak 850.000 orang atau 15,53 persen dari populasi 5.325.010 jiwa. Aceh masih menjadi provinsi dengan penduduk miskin terbanyak di Pulau Sumatera dan berada di peringkat keenam secara nasional.
Periode 2017-2022, penduduk miskin turun hanya 0,4 persen. Periode ini menjadi paling buruk penurunan kemiskinan dibandingkan dua periode pemerintahan sebelumnya. Periode 2017-2022, Aceh dipimpin oleh Gubernur Irwandi Yusuf. Namun, Irwandi hanya menjabat setahun karena melakukan tindak pidana korupsi. Wakilnya, Nova Iriansyah, kemudian dilantik menjadi gubernur hingga 2022.
Baca juga : Prioritaskan Usaha Produktif untuk Tekan Kemiskinan di Aceh
Kemiskinan Aceh terbilang ironi karena sejak 2008 hingga 2021, provinsi yang dikenal dengan ”Serambi Mekkah” itu mendapatkan dana otonomi khusus Rp 88,43 triliun. Pada masa pemulihan tsunami, Aceh juga diguyur Rp 106 triliun.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh Achris Sarwani menilai ada yang keliru dalam rencana pembangunan Aceh. Menurut Achris, banyak anggaran daerah dihabiskan untuk belanja aparatur daripada kegiatan produktif.
”Sepertinya ada perencanaan yang keliru dalam pembangunan Aceh,” kata Achris.
Dia menyebutkan, program pengembangan usaha kecil menengah masih minim, padahal banyak sektor unggulan yang bisa dikembangkan dan itu langsung memiliki pasar.
Sebagai contoh kebutuhan telur ayam ras di Aceh masih dipasok dari Sumatera Utara. Hanya sebagian kecil telur ayam ras diproduksi di Aceh. Menurut Achris, semestinya program peternak ayam petelur di Aceh dapat diperbanyak sebab pasar jelas tersedia.
Sebenarnya, Pemerintah Provinsi Aceh pernah melakukan program ayam petelur, yakni tahun 2013. Program itu dibiayai dengan dana otonomi khusus. Namun, apa daya, program itu tidak berjalan.
Di Aceh Tenggara, program pengadaan bebek tahun 2019 juga berakhir dengan korupsi. Dari pagu anggaran Rp 8,8 miliar, diduga dikorupsi separuhnya, Rp 4,2 miliar.
Baca juga : Aceh dalam Pasung Korupsi
Program ayam petelur itu menjadi bagian dari program pengembangan ekonomi senilai Rp 350 miliar. Namun, belakangan penggunaan dana itu disinyalir disalahgunakan. Anggaran pun menguap sia-sia.
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh Alfian menyebutkan, korupsi seakan sulit ditumpas dalam budaya kerja aparatur pemerintahan. Menurut Alfian, integritas aparatur lemah sehingga sangat rawan melakukan korupsi.
”Korupsi telah direncanakan sejak program dibuat,” kata Alfian.
Dia mencontohkan, korupsi beasiswa pendidikan dari dana aspirasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tahun 2017. Dari anggaran sedikitnya Rp 21 miliar, nilai kerugian negara mencapai Rp 10 miliar. Sebanyak tujuh orang telah ditetapkan sebagai tersangka, dua di antaranya adalah pegawai negeri.
Program beasiswa menunjukkan betapa uang rakyat sangat mudah dikorupsi. Calon penerima beasiswa diusulkan oleh tim anggota DPRA, sebagai pemilik dana aspirasi yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Seleksi tidak dilakukan sebagaimana mestinya.
Saat dana beasiswa tersebut cair, tim seleksi atau disebut perpanjangan tangan anggota DPRA pun memotongnya sehingga penerima beasiswa tidak menerima dana secara utuh.
Alfian mengatakan, korupsi berdampak pada kemiskinan sebab banyak program uang seharusnya dirasakan manfaatnya oleh rakyat justru dikorupsi oleh elite. Contoh lain korupsi di Aceh adalah pengadaan sapi di Lhokseumawe, pengadaan alat pengusir hama untuk petani kopi di Bener Meriah, dan program penggemukan sapi di Aceh Besar.
Baca juga : Anak Perempuan di Aceh Kembali Menjadi Korban Pemerkosaan
”Kasus dugaan korupsi pengadaan wastafel untuk penanganan Covid-19 saja dikorupsi. Ini sungguh di luar rasa kemanusiaan,” ujar Alfian.
Catatan Kompas pada sejumlah kasus korupsi yang ditangani tahun 2019-2021, nilai kerugian negara mencapai Rp 43,489 miliar. Angka ini setara dengan 434 unit rumah layak huni tipe 36 untuk kaum duafa.
Jaminan kesehatan
Salah satu program yang sangat berarti bagi masyarakat miskin adalah Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). Pada Maret lalu, warga miskin Aceh terenyak ketika mendengar kabar Pemerintah Provinsi Aceh dan DPRA menghentikan program tersebut dengan alasan keterbatasan anggaran.
Penghentian program itu dengan alasan keuangan Pemprov Aceh mulai menyusut lantaran ada pengurangan dana otonomi khusus. Selain itu, data peserta JKA dianggap tidak valid sehingga rawan tidak tepat sasaran dan berpotensi terjadi penyalahgunaan anggaran.
Program JKA diluncurkan pada Juni 2010. Melalui JKA, semua biaya pengobatan warga dengan kartu tanda penduduk (KTP) Aceh ditanggung Pemprov Aceh. JKA menggunakan dana otonomi khusus. Namun, sejak 1 Januari 2014, program JKA diintegrasi ke dalam program. Sejak pelaksanaan JKN, Pemprov Aceh hanya membayar premi kesehatan warganya yang tidak ditanggung oleh JKN.
Kalangan masyarakat sipil pun bersuara mendesak agar JKA tetap dipertahankan. Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Aceh Faisal Ali juga mendesak pemerintah mencari solusi bijak agar program JKA tetap bisa dilanjutkan.
Menurut Faisal, penghentian program JKA bentuk ketidakberpihakan pemerintah kepada warga. ”Jika alasannya karena anggaran terbatas, mungkin ada program lain yang bisa dirasionalisasi sehingga JKA tetap bisa dilanjutkan,” kata Faisal.
Desakan ini berhasil. Juru Bicara Pemerintah Aceh Muhammad MTA, Senin (28/3/2022), menyebutkan, keputusan melanjutkan program JKA itu hasil kesepakatan antara Pemprov Aceh, DPRA, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
”JKA tetap dilanjutkan, tetapi premi untuk April hingga Desember 2022 dibayar pada akhir tahun,” kata Muhammad.
Muhammad mengatakan, premi JKN sebanyak 2,2 juta warga Aceh ditanggung Pemprov Aceh melalui JKA. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh 2022, Pemprov Aceh mengalokasikan Rp 1,2 triliun untuk program JKA.