”Klitih” dan Jejak ”Koboi” Remaja Jalanan Yogyakarta
Kekerasan jalanan, seperti klitih, geng remaja, dan premanisme, mengakar panjang di Yogyakarta. Faktor sosial, ekonomi, bahkan politik berperan. Di tengah sesaknya kota, butuh ruang ekspresi yang humanis bagi remaja.
Kekerasan jalanan atau kerap disebut klitih seperti borok yang menggerogoti peradaban di Daerah Istimewa Yogyakarta. Luka itu tak sembuh tuntas karena akar masalahnya tak ditangani tuntas. Faktor sosial, ekonomi, hingga politik memengaruhi jejak panjang kekerasan oleh ”koboi-koboi” remaja di Yogyakarta.
Belakangan, istilah klitih dan Jogja kembali ramai diperbincangkan di media sosial. Beberapa hari terakhir muncul meme menggelitik merespons kondisi Yogyakarta yang dinilai kian tak aman. Ada warganet yang mengilustrasikan kisah Cinderella yang buru-buru pulang saat sedang berdansa dengan Sang Pangeran. Si Cinderella menjawab, takut menjadi korban klitih yang umumnya terjadi lewat tengah malam.
Baca juga : ”Klitih” Terus Terjadi di DIY, Tagar #YogyaTidakAman Menggema di Twitter
Akun lain secara ironi memasang gambar kostum-kostum superhero lengkap dengan baju zirah besi hingga jubah baja canggih. Tak lupa dicantumkan keterangan itu alternatif pakaian yang disarankan dipakai di Yogyakarta saat malam agar terlindung dari klitih.
Adapun pada Selasa (5/4/2022), kata klitih dan Jogja kembali masuk dalam topik tren di Twitter. Terpantau lebih dari 18.000 cuitan memuat kata Jogja. Sementara kata klitih dicuitkan lebih dari 9.000 kali. Adapun tagar YogyaTidakAman dan JogjaDaruratKlitih masih sering ditautkan dalam cuitan warganet. Tagar YogyaTidakAman sempat masuk topik tren pada 28 Desember 2021 dan dicuitkan hingga 15.000 kali.
Ironisnya, kejahatan jalanan remaja atau pemuda itu tak putus di daerah berpredikat kota pelajar itu. Catatan Polda DIY, sepanjang 2021 terjadi 58 kasus kejahatan jalanan dengan jumlah pelaku 102 orang. Dari mereka, 80 di antaranya berstatus pelajar.
Insiden terakhir terjadi pada Minggu (3/4/2022) dini hari di Jalan Gedongkuning, Kotagede. Korban berinisial D (17) meninggal diserang dengan senjata tajam berupa gir sepeda motor. Pelajar SMA itu dibawa ke RSPAU Dr Hardjolukito, Bantul, tetapi tak terselamatkan.
Keresahan nyata
Keresahan soal keamanan Yogyakarta tak hanya di dunia maya, tetapi juga cermin realitas sosial. ”Lama-lama takut juga. Dulu, pulang ke rumah ya tinggal pulang saja. Sekarang saya mesti mikir milih lewat jalan mana,” tutur Sintia Dewi (45), warga Perum Minomartani, Sleman, yang bekerja di wilayah Semaki, Kota Yogyakarta.
Keresahan sama disampaikan wisatawan. Friartanti (40), warga Tangerang yang sebelum pandemi Covid-19 setidaknya tiga bulan sekali pelesiran ke Yogyakarta, belakangan mulai khawatir. ”Apalagi, liburan di Yogyakarta itu enaknya jalan-jalan malam. Ada yang bilang sasarannya bukan wisatawan, tapi siapa yang menjamin kalau di sana-sini aksi kriminal sadis terus terjadi?” keluhnya.
Sejauh ini, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X meminta para pelaku klitih ditindak tegas meski masih di bawah umur. Hal itu penting untuk memberikan efek jera agar mereka tidak mengulangi perbuatannya. Pemda DIY juga membuka pusat rehabilitasi bagi anak-anak nakal di kawasan Balai Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas (BRTPD) di Pundong, Bantul.
Baca juga : Sultan HB X: Pelaku Kejahatan Jalanan Harus Diproses Hukum meski di Bawah Umur
Geng BMX hingga ”petrus”
Dalam penyerangan D, Polda DIY, Senin (11/4/2022), menangkap lima tersangka pelaku. Dari pemeriksaan, para pelaku tergabung dalam satu geng sekolah. Dua berstatus pelajar, tiga lainnya alumni.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi mengatakan, peristiwa di Kotagede motifnya ketersinggungan dan saling ejek dua kelompok. ”Korban bukan acak, bukan masyarakat biasa yang terpaksa beraktivitas pada dini hari,” ungkap dia.
Walakin, dalam banyak kasus lain, geng memilih korban secara acak. Salah satunya pada insiden di Jalan Kaliurang Kilometer 9, Senin (27/12/2021). Saat itu, DPH (16) dan tiga temannya diserang sekelompok pemuda. Polisi menyatakan para pelaku berasal dari satu geng sekolah.
Baca juga : ”Klithih”, Kekerasan Panjang di Yogyakarta
Istilah klitih sendiri, kemungkinan penggalan dari klithah-klithih, yang menurut Kamus Bahasa Jawa karangan SA Mangunsuwito, berarti ’berjalan bolak-balik agak kebingungan’. Meski istilah ini semakin viral belakangan, jejak geng pemuda di Yogyakarta sudah ada sejak 1970 hingga 1980-an. Dalam buku Geng Remaja: Anak Haram Sejarah ataukah Korban Globalisasi? (2010), Sidik Jatmika mendeskripsikan perjalanan sosiohistoris geng-geng pelajar tak terlepas dari dua legenda geng besar yang sempat menguasai jalanan Yogyakarta, QZRUH dan JOXZIN.
Hasil riset Sidik, geng QZRUH lebih banyak beroperasi di wilayah utara, sedangkan JOXZIN di kawasan tengah dan selatan DI Yogyakarta. Yang mungkin kurang banyak diketahui, geng-geng ini berawal dari kelompok remaja yang berkumpul dengan sepeda minicross atau BMX yang saat itu sangat tren. Tak jarang kelompok-kelompok sepeda melakukan konvoi di jalanan, hingga bersaing corat coret tembok jalan.
Jika remaja QZRUH identik dengan warna putih, identitas warna JOXZIN adalah hijau pupus. Warna itulah yang saat itu banyak tercoret di tembok-tembok maupun aspal jalanan. Adapun geng-geng di setiap sekolah baru mulai muncul menjelang runtuhnya Orde Baru.
Selain geng, sejarah kriminalitas jalanan di Yogyakarta juga terendus dari insiden penembakan misterius alias ”petrus” pada 1980-an. Dalam buku Benny Moerdani Yang Belum Terungkap (2015), mantan Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Petrus, Yosep Adi Prasetyo, menyampaikan, operasi pemberantasan penjahat jalanan terbesar di Indonesia itu berawal dari Yogyakarta. Saat itu, tak terhitung preman, bromocorah, atau gali (akronim gabungan anak liar), jadi sasaran aparat keamanan.
Baca juga : Kasus “Klitih” sebagai Alarm Kriminalitas dan Tipisnya Rasa Aman Warga Yogyakarta
Meski berbeda usia, kelompok preman dan geng remaja bukan tak berkelindan. Dalam bukunya, Sidik Jatmika memaparkan, eksistensi geng remaja sangat dipengaruhi perubahan sosial dan globalisasi. Lebih luas lagi, keberadaan geng sekolah adalah representasi masyarakat dan terkait erat situasi politik di masanya karena memiliki jaringan dengan kelompok pemuda di luar sekolah.
Pernyataan tersebut diperkuat riset Muh Zuhdan dkk yang dituangkan dalam buku Agen-agen Kekerasan: Studi atas Kelompok Sipil di Yogyakarta, terbitan PUSHAM UII (2009), yang mendapati kelompok-kelompok keamanan dan kekerasan di Yogyakarta diduga berafiliasi dengan elite politik lokal beranggotakan para pemuda, termasuk pelajar.
Baca juga : Pelaku Kejahatan Jalanan di Yogyakarta Anggota Geng Sekolah
Kelompok-kelompok itu sering memberi bantuan saat tawuran pelajar. Dalam banyak kasus klitih, para alumni geng yang sudah terafiliasi dengan kelompok preman yang lebih luas memang kerap membantu yuniornya, termasuk menyediakan senjata.
Sebelum beraksi di jalanan, geng sekolah Yogyakarta memang lebih banyak tawuran. Hingga sekitar 2007, Pemkot Yogyakarta melayangkan instruksi sekolah-sekolah untuk langsung mengeluarkan pelajar yang terlibat tawuran. Alih-alih meredam aksi, instruksi itu justru mendorong geng pelajar mencari musuh di jalanan.
Kekerasan kultural
Menimbang jejak panjang tersebut, sejumlah pihak menilai kekerasan jalanan di Yogyakarta lebih dari sekadar alpanya peran keluarga, tetapi lebih luas lagi, yakni persoalan kultural dan struktural. Salah satunya diungkapkan seniman Yahya Dwi Kurniawan, yang pada Maret 2021 menggelar pameran seni bertajuk ”Museum Lost Space” di Galeri Lorong, Kasihan, Bantul.
Pameran itu menunjukkan jejak-jejak klitih sejak 1990-an. Dari observasi Yahya, pelaku kekerasan jalanan ini kehilangan ruang berekspresi dan dilanda kecemburuan sosial.
Menurut dia, sebagian pelaku dari Yogyakarta gundah melihat perkembangan kota, tanpa bisa menikmatinya. Misalnya, saat hendak nongkrong di kafe, mereka tidak mampu mengingat UMR Yogyakarta sangat kecil, yang tahun 2022 hanya Rp 1,8 juta. Saat hendak bermain di kampungnya, sudah dipenuhi bangunan indekos. Bahkan, ruang publik utama, seperti Alun-alun Utara, pun kini dipagari. Anak-anak lalu mencari eksistensinya sendiri di jalanan, yang kadang secara acak.
Ariefa Efianingrum, dosen sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta, dalam risetnya pernah memaparkan, praktik kekerasan pelajar umumnya dilakukan untuk meraih modal sosial berupa ikatan dalam pertemanan, modal kultural berupa nilai keberanian dan agresivitas, serta modal simbolis sebagai penanda identitas. Tujuan itu meneguhkan eksistensi sehingga menjadi legitimasi bahwa mereka pelajar yang disegani.
Menurut sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sujito, legitimasi itu dibutuhkan karena anak-anak itu tidak mendapatkan rekognisi atau pengakuan dari lingkungannya. Selain itu, para remaja itu juga mengalami disorientasi. ”Anak-anak ini merasa akan ‘dianggap’ jika mendem (mabuk), atau nekat membacok orang. Itu mereka bangga-banggakan,” ungkap Arie.
Fenomena ini juga akibat hilangnya ruang-ruang berdialog dan kebersamaan. Tak hanya penegakan hukum, menurut Arie, pemda juga punya tanggung jawab melindungi warganya sehingga harus mencari strategi. Apalagi, Yogyakarta punya predikat istimewa sehingga mesti diterjemahkan pada suasana kondusif.
Baca juga : ”Skateboard” Mengubah Hidup Derian
Keengganan polisi memakai istilah klitih, menurut Arie, juga tak relevan. Lebih dari soal istilah, esensi yang mesti dipecahkan adalah mendiagnosis masalah lalu mengintervensi dengan kebijakan yang humanis.
Penanganan klitih butuh gerakan besar lintas sektor diinisiasi pemimpin daerah. Ruang-ruang dialog, ekspresi, dan kreativitas berlandaskan humanisme maupun toleransi mesti diciptakan secara nyata dan inovatif, tak bisa sebatas wacana atau imbauan.
Jangan sampai borok bernama klitih itu justru kian menyebar hingga suasana Yogyakarta tak lagi dirindukan. Tidak ada yang tak mungkin dengan kerja sama dan ketulusan yang konsisten.