”Klithih”, Kekerasan Panjang di Yogyakarta

Spanduk imbauan menghentikan aksi klithih dipasang di pagar Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, Rabu (15/1/2020). Klithih yang sebagian besar dilakukan pelajar kembali merebak di Yogyakarta dan membuat warga resah.
Kekerasan jalanan atau ”klithih” menjadi teror yang meresahkan masyarakat Yogyakarta secara bergenerasi. Penegakan hukum sudah dilakukan, tetapi kekerasan masih saja berulang hingga jatuh korban. ”Klithih” pun menjadi fenomena sosial remaja yang mengiringi sejarah panjang kekerasan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kesedihan belum sepenuhnya sirna dari hati Widiastuti (39). Tatapannya kosong, matanya sembab. Ia menangisi Fatur Rakadio (17), anaknya yang meninggal beberapa hari sebelumnya.
Selasa (14/1/2020) siang itu, Widiastuti berada di Markas Kepolisian Resor Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menghadiri konferensi pers kasus meninggalnya Rakadio, korban klithih.
Saat polisi menghadirkan APS (18), pelaku penyerangan terhadap Rakadio, Widiastuti histeris. Tubuhnya terlihat lemas. Widiastuti pun dibawa ke ruangan lain.
”Pelaku harus dihukum seberat-beratnya. Itu saja yang saya minta. Nyawa anak saya melayang karena pelaku,” katanya.
Penyerangan terhadap Rakadio terjadi pada Sabtu, 14 Desember 2019, siang. Saat itu, korban bersama sejumlah teman dalam perjalanan pulang wisata di Pantai Watulawang, Gunung Kidul, DIY.
Saat melewati Jalan Panggang-Siluk yang menghubungkan wilayah Gunung Kidul dan Bantul, rombongan itu bertemu rombongan APS. Mereka sama-sama mengendarai sepeda motor.
Saat itulah, APS tiba-tiba melemparkan cat tembok dibungkus plastik ke rombongan Rakadio. Lalu, mereka mengejar rombongan korban. APS menendang setang sepeda motor Rakadio yang membuat Rakadio terjatuh saat melaju kencang.
Akibatnya, korban mengalami patah tulang leher, retak tulang punggung, dan pergeseran tulang ekor. Rakadio sempat lumpuh dan dirawat di rumah sakit satu bulan sebelum meninggal Kamis (9/1/2020).
APS ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan 11 temannya dalam pemeriksaan. Penyidikan polisi, tidak ada motif jelas dalam aksi klithih itu. Bahkan, APS mengaku hanya iseng.
Secara statistik, Rakadio merupakan korban meninggal kedua akibat klithih sepanjang 2019 di DIY. Sebelumnya, 29 September 2019, Egy Hermawan (17), siswa SMK, dibacok hingga kehabisan darah oleh sekelompok pelajar yang tidak dikenalnya seusai menonton kejuaraan futsal antar-SMA dan SMK. Empat pelaku ditangkap, yang semuanya masih berstatus pelajar berumur 16-18 tahun.
Hingga sekarang, teror klithih di jalanan DIY masih berlanjut. Bahkan, belum genap satu bulan tahun 2020, polisi telah menangkap sedikitnya 30 orang yang diduga terkait klithih di DIY. Lagi-lagi, mereka berumur 16-21 tahun.
Berbagai jenis senjata tajam disita, misalnya pedang, arit, gergaji, dan penggaris besi yang ditajamkan. Ada juga senjata tumpul, seperti stik dan balok kayu, serta senjata modifikasi, misalnya gir sepeda diikat tali dan balok kayu yang dipasangi gunting bekas.
Fenomena ini menunjukkan klithih masalah serius yang perlu ditanggulangi. Klithih tidak bisa lagi dianggap sekadar kenakalan remaja, tetapi harus dipandang sebagai tindak pidana serius sekaligus masalah sosial yang perlu dicari akarnya.
Proses panjang
Kata klithih berasal dari bahasa Jawa yang bisa jadi merupakan penggalan kata klithah-klithih. Dalam Kamus Bahasa Jawa karangan SA Mangunsuwito, klithah-klithih berarti berjalan bolak-balik agak kebingungan atau bergerak tanpa tujuan jelas.
Awalnya, klithih tidak bermakna negatif dan kerap diartikan keluyuran biasa. Belakangan, klithih jadi negatif di masyarakat DIY.
Klithih merujuk pada kekerasan di jalanan. Pelaku biasanya anak-anak muda bersepeda motor. Motif mereka bermacam-macam, target mereka juga beragam.
Menurut sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM), Julianto Ibrahim, fenomena klithih tidak bisa lepas dari sejarah panjang kekerasan di Yogyakarta. Dalam lintasan sejarah memang sempat muncul kelompok-kelompok tertentu pelaku kekerasan dan tindak kriminal.
”Jadi, klithih ini tidak tiba-tiba muncul atau berdiri sendiri, tetapi bagian dari proses sangat panjang,” kata Julianto, Kamis (16/1/2020).
Kemunculan kelompok kriminal atau pelaku kekerasan itu ditandai kehadiran kaum bandit pada 1945-1955. Nama bandit bisa berbeda-beda di setiap daerah, misalnya Jagoan Grayak yang terkenal di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Namun, Jagoan Grayak mulai kehilangan pengaruh pada 1955. Itu terjadi seiring pembasmian gerombolan Merapi Merbabu Complex yang dianggap memberontak negara.
Setelah era kaum bandit usai, muncul fenomena gali pada 1970-an. Kata gali lalu menjadi akronim dari gabungan anak liar.
”Gali ini orang-orang yang sebenarnya tidak dapat tempat di rumah. Kebanyakan dari keluarga kaya, tetapi kurang diperhatikan. Akhirnya, jalanan jadi tempat tinggal,” katanya.
Julianto menambahkan, selain dari keluarga kaya, sebagian gali anak pejabat. Mereka ingin mencari jati diri dengan membuat geng motor, tetapi lambat laun mulai berbuat kriminal.
Pada 1980-an, kriminalitas gali kian intens dan meresahkan di Yogyakarta. Puncaknya, meninggalnya anak Komandan Kodim 0734 Yogyakarta saat itu, M Hasbi, akibat ulah gali.
Pada 1983-1984, Hasbi memberantas gali di Yogyakarta. Pemberantasan ini menjalar ke sejumlah daerah lain dan dikenal dengan istilah operasi pemberantasan kejahatan (OPK) atau penembakan misterius (petrus).
”Ini yang kemudian membuat gali-gali itu tiarap. Dunia hitam di Yogyakarta berhenti sementara. Kekosongan ini diisi kelompok-kelompok lain karena gali pendahulunya sudah pergi dan lain sebagainya,” kata Julianto.
Kekosongan era itu menghadirkan nama-nama baru yang disebut geng. Dua geng sangat populer di Yogyakarta saat itu adalah Joxzin dan Qzruh. Anggotanya remaja usia sekolah. Tradisi konvoi, bentrok menggunakan senjata tajam, hingga vandalisme dimulai di era itu.
Setelah tawuran besar-besaran Joxzin vs Qzruh pada 1987, pemerintah daerah membekukan geng. ”Pembekuan ini membuat pelajar justru membentuk geng-geng pelajar yang basisnya identitas sekolah. Hasrat dan keinginan berkelahi diakomodasi geng sekolah,” ujarnya.

Senjata tajam disita dari pelajar yang diduga terlibat dalam geng pelajar di Polres Kota Yogyakarta, Minggu (12/1/2020).
Geng sekolah
Julianto mengatakan, sesudah era Joxzin dan Qzruh, geng sekolah terbentuk di banyak SMA dan SMK. Tawuran antargeng sekolah pun marak dari 2000-an hingga 2010-an.
Kebanyakan pelajar bergabung ke geng sekolah karena ingin menunjukkan eksistensi diri dan mendapat pengakuan. Keinginan mendapatkan pengakuan itu dibenarkan beberapa mantan anggota geng sekolah.
FR (25), misalnya, jadi anggota geng karena ingin dapat pengakuan teman-teman. ”Dulu waktu SD sampai SMP itu saya sangat cupu. Waktu dikenalkan tawuran, saya berapi-api. Ada adrenalin tiap ikut tawuran,” kata FR.
Ia pernah luka bacok di punggung sepanjang 16 sentimeter. Ia dirawat 12 hari. Teman-teman geng melihat itu ”keren” dan FR kian diakui sebagai pemberani. ”Saya sendiri merasa aneh. Saya ini korban, tapi malah dilihat seperti itu,” katanya.
Hal sama diungkapkan FZ (25), bekas anggota geng. ”Dulu kami masih cari pengakuan teman-teman. Bisa berkelahi itu dianggap hebat. Namun, setelah lulus malu juga. Saya justru berteman dengan mantan-mantan ’musuh’ saya semasa SMA,” tutur dia.
Klithih saat ini, kata Julianto, semakin berbahaya. Jika dulu sasaran kekerasan adalah geng sekolah lain, kini acak.
Julianto menduga, perubahan itu akibat eksistensi geng-geng sekolah di DIY perlahan meredup. Konvoi kendaraan bermotor bergerak tanpa tujuan, yang akhirnya mengumbar kekerasan. Tak peduli kenal atau tidak.
Kepala Polresta Yogyakarta Komisaris Besar Armaini menyatakan, selain penegakan hukum, perlu pembinaan para pelajar agar dampak klithih terputus. ”Ini fenomena yang perlu diperhatikan. Tidak bisa dimungkiri, sebagian generasi muda kita seperti ini. Kita perlu membina mereka,” ujarnya.
Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X juga angkat bicara. Masalah klithih tidak bisa diselesaikan hanya lewat penegakan hukum. Perlu dialog untuk mengurai akar masalah.
Pemerintah Daerah DIY berencana mengajak keluarga pelaku klithih berdialog. ”Jadi, akan ada dialog untuk mengetahui sebenarnya keluarga itu punya masalah apa,” kata Sultan.
Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Anak DIY Sari Murti sependapat. Agar pelaku klithih tidak kembali berulah, masalah di dalam keluarga harus diselesaikan.
Ide lain, kata Sari, anak-anak muda pelaku klithih diwajibkan memberikan pelayanan kepada panti jompo atau panti sosial. Itu untuk menumbuhkan rasa empati dan mereka bisa menghormati orang lain.
Apa pun usulannya, klithih harus dihentikan sebelum jatuh korban lebih banyak.