Lemang, Kuliner ”Tongkat Doa” yang Menembus ”Kayangan”
Lemang mewarnai momen spesial. Cita rasa panganan dari ketan diberi santan yang dibakar dalam bambu itu menembus batas etnik dan keyakinan. Pada kelompok tertentu, lemang bahkan bak ”tongkat doa” menembus ”kayangan”.
Lemang turut mewarnai momen spesial. Cita rasa panganan dari ketan diberi santan yang dibakar dalam bambu itu menembus batas etnik dan keyakinan. Pada kelompok tertentu, lemang bahkan bak ”tongkat doa” menembus ”kayangan”.
Deretan bambu berisi beras ketan dan santan tersusun berjejer di tempat pembakaran, Minggu (3/4/2022). Proses pembuatan lemang tersebut dilakukan di halaman rumah Eka (50), pemilik usaha lemang di Gang Selamat 1, Kecamatan Pontianak Barat, Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Asap dari bara pembakaran menyelinap dari celah-celah bambu. Hari itu, tempat usaha Eka memproduksi lemang pesanan konsumen. Sejak awal Ramadhan, sudah ada konsumen memesan 20-70 batang lemang.
”Kalau hari biasa pesanan hanya 7-8 batang. Menu tersebut pada hari-hari biasa tidak terlalu banyak dijumpai. Maka saat hari keagamaan banyak yang memesan. Selain Ramadhan dan Lebaran, pada hari raya keagamaan lainnya seperti saat Natal juga ada yang memesan,” ujar Eka.
Selain dibantu anak, menantu, dan ipar dalam pembuatan lemang, Eka juga merekrut tetangga. Rangkaian pembuatan lemang telah dilakukan sejak Sabtu (2/4/2022) sore, dimulai dengan melapisi dalam bambu dengan daun pisang, dilanjutkan dengan memasukkan beras ketan ke dalam bambu sehingga pada Minggu pagi tinggal menuangkan santan, lalu siap dibakar.
Lemang dikenal sedari diterimanya Islam sebagai agama masyarakat pesisir.
Harga jual lemang Rp 30.000 per batang. Eka membuat usaha lemang sudah 30 tahun yang menjadi penghasilan utama. Konsumen yang memesan lemang terkadang untuk dijual kembali di pasar-pasar juadah saat Ramadhan dan ada pula untuk konsumsi pribadi serta acara keluarga.
Lemang turut mewarnai cita rasa saat momen spesial seperti Ramadhan dan Lebaran. Di pasar-pasar juadah Pontianak, lemang kerap dijumpai, yang biasanya sudah dikeluarkan dari dalam bambu sehingga tinggal berbentuk gulungan ketan berbalut daun pisang.
”Kuliner tradisional seperti lemang diminati di samping menu lainnya. Setiap sore saya selalu menyediakan lemang,” ujar Agus Ramlan (42), salah satu pedagang kuliner berbuka puasa di salah satu pasar juadah Pontianak.
Membuat lemang juga menjadi momen berkumpul bersama bagi keluarga. Di daerah Kabupaten Kubu Raya, daerah yang bertetangga dengan Pontianak, misalnya saat menjelang malam takbiran, keluarga bergotong royong membuat lemang.
Setelah masak, lemang dibagikan ke keluarga lainnya. Ada juga yang dibawa ke masjid keesokan harinya di hari Lebaran untuk makan bersama warga lain seusai shalat Idul Fitri. Campuran ketan dan santan memberikan cita rasa gurih. Apalagi dimakan dengan rendang, sambal udang, dan ikan teri.
Budayawan Pontianak, Syafaruddin Usman, menjelaskan, lemang, seperti juga ketupat, memiliki makna tersendiri bagi masyarakat yang menjalankan ibadah puasa. Konon dimaknai sebagai penyatuan jiwa yang sadar akan tugas dan kewajibannya selaku insan manusia.
Lemang yang dibuat dengan memasak ketan atau beras melalui media bambu atau buluh berkonotasi sebagai pembakaran jiwa untuk menuju kesucian. Ketan atau pulut yang direndami santan kelapa di dalam buluh lalu dibakar hingga matang sebagai simbol menghanguskan hal-hal yang tidak patut dan tidak layak di dalam kehidupan.
”Lemang dikenal sedari diterimanya Islam sebagai agama masyarakat pesisir,” ujarnya.
Pengajar Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, Pontianak, Donatianus, menuturkan, masyarakat kita awalnya masyarakat agraris sebagai satu rumpun Austronesia. Sebagai masyarakat agraris, mereka menghasilkan padi. Beras ketan atau pulut dianggap sebagai salah satu hasil bertani paling baik, kemudian dibuatlah lemang.
Oleh sebab itu, dalam bercocok tanam, padi ketan selalu ada di dalam ladang. Biasanya ada di baris luar. Mereka juga tidak menanam dalam jumlah banyak. Hanya digunakan untuk persediaan ketika ada tradisi.
Hidangan itu banyak dijumpai dalam kegiatan yang dianggap penting dan khusus, misalnya Ramadhan atau Lebaran serta kegiatan lainnya dari berbagai kelompok masyarakat. Ketan ditanam sedikit dan dikhususkan, maka padi pulut memiliki nilai lebih tinggi dari padi biasa. Oleh karena itu, dijadikan suguhan pada kegiatan-kegiatan tertentu.
Baca juga : Tempat Sahur Ikonik Bersahaja di Enam Kota
Menembus “kayangan”
Sebagai masyarakat agraris yang menanam padi, ketan dianggap sebagai persembahan yang paling enak dan baik. Itulah yang digunakan membuat lemang oleh berbagai kelompok masyarakat. Meskipun dulu mereka memiliki banyak macam padi, padi ketan selalu ditanam bersama padi lainnya.
Membakar makanan di dalam bambu ada di berbagai masyarakat. Hal itu warisan budaya dari satu rumpun Austronesia. ”Salah satu ciri orang Austronesia yang berladang, di mana-mana ada lemang. Lemang ada di berbagai daerah, hanya penamaannya saja berbeda,” ujarnya.
Lemang pada umumnya dengan campuran santan juga dikenal di masyarakat Dayak. Lemang termasuk makanan istimewa, sebagai bentuk penghormatan kepada tamu karena spesial. Namun, ada pula lemang yang khusus dipergunakan dalam perayaan-perayaan penting dalam tradisi masyarakat Dayak di pedalaman Kalbar dengan sebutan yang berbeda.
Wakil Direktur Institut Dayakologi Richardus Giring menjelaskan, lemang tidak terlepas dari sejarah panjang interaksi orang Dayak dengan alam. Salah satu yang ada di alam adalah tanaman bambu.
Dalam kebudayaan juga ada proses belajar. Manusia dalam ekosistem tertentu belajar beradaptasi dengan fungsi alamnya sehingga pada masa tertentu dia menemukan bahwa ternyata bambu bisa dipergunakan untuk mengolah makanan, misalnya menjadi lemang.
Dari sisi spiritualitas, ada lemang khusus dengan diameter yang lebih kecil daripada lemang panganan pada umumnya. Lemang ada yang dipergunakan dalam berbagai ritual orang Dayak. Ada subsuku Dayak yang menyebut lemang jenis itu dengan nama ”tungkat”. Lemang yang digunakan untuk ritual tanpa campuran santan.
Lemang untuk ritual menandai hubungan dunia atas dengan dunia bawah sehingga menciptakan harmoni merawat kesuburan. Salah satu kekuatan dari atas adalah matahari dan juga Yang Maha Kuasa. Dalam ritual, lemang (tungkat) biasanya berpasangan dengan kue berbentuk piringan (tumpi’), melambangkan dunia bawah, bisa dikatakan juga bumi.
Baca juga : Berburu Wadai, Rindu Digapai
Seluruh ritual mendoakan keselamatan, kesejukan, dan rezeki. Hal itu bisa dimungkinkan jika ada hubungan alam atas dan bawah yang menciptakan harmoni. Tungkat ini ada pula untuk roh nenek moyang, tetapi jenis itu juga ada yang bisa dimakan seusai acara.
Igoh (57), masyarakat adat Dayak Iban di Rumah Panjang Sungai Utik Kapuas Hulu, mengatakan, lemang dengan diameter yang lebih kecil juga dipergunakan dalam berbagai ritual masyarakat Dayak Iban. Lemang untuk ritual disebut juga pulut pansoh dalam bahasa Iban. Lemang itu juga berpasangan dengan kue berbentuk piringan (tumpi’) terbuat dari beras ketan.
Lemang bersama tumpi’ dalam ritual memungkinkan orang Iban bisa berkomunikasi dengan ”orang Kayangan”. Menurut kepercayaan mereka, ”orang Kayangan” awalnya hidup bersama dengan mereka di bumi.
Namun, suatu ketika ”orang Kayangan” berpisah dengan mereka menuju dimensi lain, yaitu kayangan. ”Orang Kayangan” berpesan kepada orang Iban, jika ingin berkomunikasi dengan mereka, gunakanlah salah satunya lemang (pulut pansoh) berpasangan dengan tumpi’, maka ”orang Kayangan” akan hadir meski tidak terlihat kasatmata.
”Orang Kayangan” menyebut lemang (pulut pansoh) dengan sebutan ”bedil”, senjata api yang sangat besar letusannya. Sementara tumpi’ dinamai ”orang Kayangan” dengan sebutan ”gong”, alat musik.
Demikianlah lemang, tidak hanya sekadar makanan. Kehadirannya juga sebagai bagian dari sejarah panjang peradaban, menembus zaman dan sekat-sekat keyakinan. Lemang hadir sebagai ”perekat” di bumi hingga dipercayai sebagai bagian yang turut menciptakan harmoni.