Berburu Wadai, Rindu Digapai
Wadai atau kudapan khas Banjar selalu menjadi buruan pada bulan puasa. Kudapan berumur ratusan tahun itu tak sekadar menemani puasa, tetapi jawaban mereka yang selama ini dihantam pandemi Covid-19.
Siapa yang tak merindukan takjil di bulan Ramadhan. Di Kota Palangkaraya, takjil yang disebut wadai tak hanya diburu untuk menyambut buka puasa, tetapi juga menarik kembali rasa rindu kampung halaman masyarakat Banjar di Kota Cantik. Wadai merupakan tanda tradisi Banjar yang melekat ke mana pun suku perantau itu melangkah.
Muhammad Ridwan (15) terus mengusap keringat di keningnya, takut jatuh ke kue lapis hijau yang dipotongnya. Sore itu, Selasa (5/4/2022), Kota Palangkaraya baru saja selesai diguyur hujan. Jika biasanya sejuk, tetapi tidak di lapak Ridwan dan ibunya.
Lapak itu penuh sesak ibu-ibu, tua dan muda, yang berebut memesan kue-kue khas Banjar yang biasa disebut wadai. Di Kota Palangkaraya, kata takjil terkadang asing di telinga masyarakat. Wadai jauh lebih dikenal karena setiap tahun semasa puasa wadai sudah menemani berbuka puasa semua warga Muslim di Palangkaraya.
Terdapat tiga jenis wadai utama yang wajib ada di Kota Palangkaraya, kue lapis, bingka, dan hintalu karuang. Kue lapis dibagi menjadi berbagai jenis, seperti lapis hijau dan cokelat, begitu juga bingka, ada bingka pisang, ada juga bingka berandam.
Bingka berandam menjadi kue yang paling laris dijual. Kue manis ini berbentuk bunga, tepatnya ada enam kuntum bunga. Bingka menjadi kue khas Banjar yang kemudian menjadi ikon kota di Kalimantan Selatan itu.
Ridwan yang membantu ibunya membuat bingka mencoba menjelaskan bahan dasar yang ia gunakan untuk membuat kue legit tersebut. Bahan utama yang wajib ada adalah kentang, telur bebek, dan santan kelapa. Biasanya, Ridwan berkreasi dengan menambahkan pisang, nangka, hingga keju yang ditabur sebagai tambahan atau topping.
Baca juga: Lebih Banyak Prihatin di Bulan Ramadhan
Diameter bingka bisa mencapai 15 sentimeter sesuai selera. Tetapi, ada juga bingka berukuran kecil seperti jempol kaki, yang disebut bingka berandam. Bahan dasar yang sama, tetapi tambahannya adalah air gula merah yang disajikan terpisah dengan bingka.
”Jadi direndam sama air gula, makanya nama banjarnya bingka berandam. Manis. Enak ini, paling laris karena bisa dimakan sambil jalan-jalan,” ujar Ridwan sembari promosi.
Ridwan merupakan salah satu pemilik lapak dari ratusan pelapak wadai lainnya di Kota Palangkaraya. Pada Senin, (4/4/2022), Wali Kota Palangkaraya Fairid Naparin beserta istri meresmikan tujuh lapak wadai yang disediakan pemerintah pada bulan puasa.
Tujuh tempat itu terletak di sekitar Pasar Kahayan, Jalan Bali, Jalan Ais Nasution, Sekitar Masjid Salahudin, Jalan Rajawali, dan Jalan Bondol. Namun, dari pantauan Kompas penjual wadai juga menjamur hingga di gang-gang kompleks perumahan.
Fairid mengungkapkan, Pasar Wadai merupakan tradisi yang tidak terlepas dari Kota Palangkaraya. Selain berpengaruh langsung pada perekonomian masyarakat, Pasar Wadai juga menjadi budaya yang kemudian dipertahankan melalui program Pasar Wadai setiap tahun, kecuali tahun 2020.
”Tahun lalu, karena Covid-19 masih begitu marak, kami tetap menjalankan Pasar Wadai ini dengan cara daring,” kata Fairid.
Fairid berharap, selain merangsang kembali perekonomian yang perlahan tumbuh di tengah pandemi, Pasar Wadai bisa memberikan warna bagi kehidupan masyarakat Muslim yang menjalankan ibadah puasa.
Tak hanya untuk masyarakat Muslim, pembeli dan pedagang wadai di Palangkaraya juga datang dari mereka yang non-Muslim. Seperti Antonius yang menjual bubur hintalu karuang. Bubur yang dibuat dengan tepung beras itu jadi andalan jelang Ramadhan.
Baca juga: Serantang Lebaran dalam Ramadhan
Hanya menggunakan bagasi mobil, Antonius dan istrinya berjualan bubur khas Banjar. Meskipun orang asli Dayak, Antonius tetap berjualan masakan khas Banjar tersebut, tidak hanya soal keuntungan, tetapi juga karena Hintalu Karuang menjadi menu favorit Antonius dan keluarga jelang Ramadhan.
”Saya, kan, sudah setahun belakang gak kerja, jadi sekarang jualan apa saja. Bisnis aja-lah,” kata Antonius, yang sebelumnya kerja di sebuah hotel di Pangkalan Bun.
Antonius merupakan korban penghentian sementara sejak pandemi menyerang. Ia kemudian memilih pensiun dari pekerjaannya itu dan membuka berbagai macam usaha. Pasar Wadai menjadi sasarannya untuk berjualan di masa Ramadhan. ”Kalau hari Minggu, kan, car free day (CFD) sudah boleh, saya juga jualan baju dan sepatu,” ujarnya.
Kudapan tua
Dari sisi sejarah, wadai merupakan kudapan yang sudah ada sejak abad ke-16 di wilayah Kalimantan bagian selatan. Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial, dan Budaya (LKS2B) Kalimantan Mansyur menjelaskan, wadai sudah dikenal sebagai panganan kerajaan saat Majapahit masuk di kawasan Pulau Borneo.
”Saat kerajaan Islam masuk ke wilayah Kalimantan bagian selatan, banyak peninggalan budaya dan tradisi Hindu yang tidak hilang, bahkan hingga saat ini, salah satunya adalah panganan, masakan, dan wadai,” kata Mansyur.
Dosen Pendidikan Sejarah di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, mengungkapkan, sebelum Islam masuk, wadai digunakan dalam berbagai upacara adat suku Banjar juga ritual tertentu. Terdapat 41 jenis wadai dengan beragam bentuk dan warna.
Baca juga: Lumbung Pangan Lokal Pertahanan Dayak Kalteng Lawan Perubahan Iklim
Dari sejarah, wadai hanya berjumlah 41. Angka itu, kata Mansyur, menunjukkan kalender waktu orang Banjar yang memiliki 41 hari. Jumlah hari orang Banjar menjadi lebih banyak lantaran ditambah hari baik dan buruk, seperti kitab Primbon orang Jawa. Angka 41 juga merupakan angka keramat bagi suku Banjar.
Warna memiliki arti tertentu atau menjadi perlambangan, seperti kue lapis hijau yang berarti kemakmuran, atau bingka merah yang berarti keberanian. Warna tersebut disesuaikan dengan kehidupan suku Banjar yang merupakan salah satu suku yang gemar bermigrasi atau merantau selain Minangkabau dan Bugis.
Meski merantau, budaya dan tradisinya tidak hilang, apalagi soal makanan.
Bagi masyarakat Banjar yang tinggal di Palangkaraya, berburu wadai merupakan pembayar rasa rindu karena tak bisa pulang kampung. Hintalu Karuang dan khususnya kue bingka paling sering menarik kembali momen puasa di kampung mereka.
Salahuddin (40), salah satu pembeli di Pasar Wadai, mengungkapkan, dirinya sudah tiga tahun tidak pulang kampung di Barabai, Kalimantan Selatan, lantaran pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan di Kalteng. Sopir truk pasir itu selalu menyempatkan diri ke Pasar Wadai untuk membeli bingka.
”Anak saya, kan, masih kecil, belum pernah ke kampung, jadi saya kenalkan sama bingka ini, untung di Palangkaraya ini banyak yang menjualnya dan setiap tahun ada,” kata Salahuddin.
Salahuddin bercerita, di kampungnya bingka tidak pernah ia beli. Ibunya yang sudah tiada selalu berhasil membuat bingka paling sedap di kampungnya. ”Rasanya beda, tapi yang penting namanya sama-sama bingka,” ujarnya. Ia kemudian berpaling dan masuk ke dalam truknya lalu pergi.