Tempat Sahur Ikonik Bersahaja di Enam Kota
Sajian kuliner di malam hari mengundang banyak orang datang saat bulan Ramadhan. Dari Cirebon, Bali, hingga Makassar menawarkan menu khas bagi penikmat kuliner di bulan suci ini.
Banyak daerah di Indonesia punya sajian kuliner malam yang khas. Sebagian sengaja disajikan selama 24 jam, tapi ada juga yang baru menyapa pelanggan saat hari mulai gelap.
Saat Ramadhan, keberadaan kuliner ini semakin ramai didatangi penikmatnya sebagai menu pilihan saat sahur. Berada di pinggir jalan, di dalam gang, bahkan rumah tinggal, ternyata tidak mengurangi gairah penikmatnya untuk terus datang kembali.
Tertambat di Battembat
Di Desa Battembat, Kecamatan Tengah Tani, Cirebon, Jawa Barat, makan di dalam gang tidak mengapa. Antreannya begitu panjang, bahkan butuh pemesanan lebih dulu agar bisa nyaman makan di sana. Saat sahur di bulan Ramadhan, kawasan itu semakin banyak didatangi warga.
Salah satu rumah makan yang populer adalah Mamih Tongseng di Jalan Pejagalan Nomor 6, Babadan Barat, Battembat. Lokasinya tidak jauh dari jalur pantai utara Plered, arah Kota Cirebon.
Spanduk besar bertuliskan ”Mamih Tongseng” menjadi tanda. Kendaraan diparkir di bahu jalan. Ketika dua mobil berpapasan, salah satu harus berhenti. Meski berada di gang, warung ini nyaris tak pernah sepi.
Buka mulai pukul 21.00 hingga 03.00, Mamih Tongseng kian ramai di atas pukul 23.00. Apalagi jelang sahur, seperti Minggu (10/4/2022) pukul 02.00. Empat mobil dan tiga sepeda motor diparkir di sekitar warung. Sembilan meja makan penuh. Setiap meja bisa memuat empat orang.
Di sini, tongseng tidak dijual per porsi, tetapi dihitung setiap kilogram. Minimal pemesanan daging seharga Rp 60.000 per seperempat kg. Konsumen boleh memilih bagian tertentu, seperti daging, gajih, atau hati. Potongan daging sapi kemerahan itu digantung di bagian depan warung.
Daging itu langsung berasal dari tempat penjagalan, beberapa meter dari warung. Segar, tanpa masuk kulkas. Berbeda dengan tongseng di Jawa Tengah yang memakai daging kambing dan gulai, kuliner khas Cirebon ini menggunakan daging sapi tanpa kuah dan sayuran. Mirip bistik.
Ada baiknya konsumen memesan terlebih dahulu di nomor 085321001109 jika tidak ingin menunggu lama. Sembari menanti makanan, pengunjung biasanya bercerita dan meneguk teh hangat atau es jeruk. Riuh obrolan atau rasa kantuk seketika sirna saat tongseng hadir di meja.
”Hmmm, rasanya manis, gurih, dan lembut. Rempah-rempahnya juga terasa. Jadinya, enggak ngantuk lagi,” ucap Dwi Ayu Putri (30), salah satu pengunjung. Pertama kali datang ke Mamih Tongseng, warga Kota Cirebon ini langsung menghabiskan seperempat kg daging.
”Bulan Ramadhan ini full (penuh) sebulan. Kalau sebelum itu, hari-hari tertentu saja, seperti malam minggu,” ucap Betty, pengelola Mamih Tongseng. Bulan puasa ini, rumah makannya bisa memasak 30 kg hingga setengah kuintal daging. Sebelumnya, rata-rata hanya 30 kg daging.
Betty tak menyangka, usaha yang dimulai sejak 1998 oleh ibunya, bahkan diklaim yang pertama di wilayah Battembat, itu digemari banyak orang. Tidak hanya dari Cirebon, pengunjung pun datang dari Jakarta, Bandung, dan daerah lain.
Warung yang awalnya semipermanen kini menjelma bangunan permanen. Bahkan, Betty dan keluarganya pindah ke rumah sebelah. ”Pertamanya, tongseng ini untuk ngasih makan orang-orang di penjagalan. Lama-lama, penjagalannya tutup, tongsengnya enggak. Alhamdulillah sekarang bisa kayak gini,” ucapnya.
Baca juga : Kisah dari Jabar Sarat Pesan yang Terus Menghidupi
Sego Banting dan Penjara, Sama Nikmatnya
Sego banting jelas tidak boleh dilewatkan apabila berada di Malang, Jawa Timur. Kuliner ini terbilang sederhana, nasi bungkus berisi bihun, tahu, dan telur yang digoreng tepung. Harganya juga hanya Rp 3.000, Rp 5.000, hingga Rp 10.000 per bungkus bergantung takarannya. Namun, konsumen harus antre untuk menikmatinya.
Warung sego banting paling terkenal adalah Warung Cak San yang buka di rumah tinggal pemiliknya di Jalan Jombang Gang I. Perintisnya adalah almarhum Muhammad Ikhsan Bukhori, yang sudah merintis usaha sejak tahun 1980-an.
Biasanya, Warung Cak San melayani pembeli pada pukul 20.00-01.30. Namun, saat Ramadhan, durasinya diperpanjang untuk menu sahur. Dalam sehari warung ini bisa menghabiskan 25 kilogram beras.
”Tidak tahu kenapa disebut sego banting. Yang memberi nama para pelanggan. Mungkin karena dulu Cak San membungkus makanan sambil duduk di kursi. Lalu nasi bungkus itu dilempar ke lantai,” kata Bu Ikhsan, istri Cak San, Jumat (8/4/2022).
Keunikan itu terbukti ampuh. Meski dijual di dalam gang, banyak pelanggan rindu datang lagi. Emanuel, misalnya, menjadi pelanggan sego banting Cak San sejak 24 tahun lalu.
Ketika itu, dia mengatakan, harganya masih Rp 500 per bungkus. Saat kini harganya enam kali lipat lebih tinggi, Emanuel tetap menikmati sensasi makan di malam hari itu.
Sego banting tidak sendirian. Di Malang, ada sego penjara Mami Cukam yang menawarkan sensasi kuliner tidak biasa.
”Sebutan nasi penjara itu diberikan pelanggan. Mungkin karena tanpa lauk, itu sebabnya disebut nasi penjara (yang seadanya),” kata Sumarmi (60), nama asli Mami Cukam, Jumat. Cukam adalah sebutan untuk kawasan di Kota Malang.
Dijual Rp 3.000 per porsi, sego penjara berisi nasi, mi, kuah bumbu, sepotong tahu, serta sambal. Menu itu tidak berubah sejak awalnya dijual pada pedagang pasar yang buka lapak malam hari.
Memulai usaha tahun 1985 di sekitar Pasar Kebalen, Kota Malang, Mami Cukam pindah ke rumah tak jauh dari Makam Polehan tahun 2017 dan buka pukul 17.00 hingga 05.00. Saat Ramadhan, tempat ini juga dicari warga yang hendak sahur.
Cherry (45), pengemudi ojek pelanggan Warung Sego Penjara Mami Cukam, hampir setiap hari makan di sana. ”Harganya murah, rasanya enak,” katanya.
Baca juga : Sambal Bakar, Kuliner Khas Ngadirejo, Malang
Lihat juga :
Jenggo, Sekepal Duta Bali
Harganya mungkin hanya Rp 5.000 per bungkus. Namun, nasi jinggo berhasil menjadi duta kuliner dari Bali. Biasa dijual sore hingga dini hari, sajian ini kian dicari saat Ramadhan tiba sebagai menu sahur.
Dibungkus daun pisang, kuliner ini memadukan sekepal nasi dengan ragam sajian. Menu suwiran ayam jadi yang paling tenar, tapi ada pindang tongkol hingga daging sapi yang layak dicoba.
Di Denpasar, beberapa tempat yang terkenal ada di Pasar Kumbasari dan Pasar Badung di Jalan Gajah Mada. Ada juga di dekat Pasar/Pertokoan Lokitasari, Jalan Thamrin.
Berada dekat pasar memunculkan satu dari ragam pendapat tentang asal-usul nasi jinggo. Penamaannya diduga berasal dari seceng gopek atau cenggo alias Rp 1.500 di tahun 1990-an.
Saat itu, sekepal nasi dan sedikit lauk menjadi andalan pedagang, terutama saat krisis ekonomi muncul. Namun, ada versi lain yang menyebut nasi jinggo sudah dijual sejak tahun 1970-an untuk memberi makan perut yang keroncongan pada malam hari.
Pedagang nasi jinggo, Mariati (51), menuturkan, penjualan nasi jinggo umumnya dimulai sore hari sampai menjelang subuh. Hal itu berkaitan dengan dimulainya aktivitas perdagangan di Kota Denpasar, yang biasanya ramai pada malam hari.
”Karena ukurannya yang tidak mencapai seporsi, nasi jinggo juga menjadi pilihan bagi warga di bulan Ramadhan,” kata Mariati, pemilik merek nasi jinggo Marimar, di Jalan Kartini, Kota Denpasar, Sabtu (9/4/2022).
Baca juga : Tetesan Berkah di Toko Oleh-oleh Pulau Dewata
”Mreteli” Ceker Surakarta
Kota Surakarta, Jawa Tengah, lama terkenal dengan kuliner malamnya. Banyak penjaja makanan baru beroperasi lepas tengah malam. Alih-alih sepi, warung makan tersebut malah diburu orang. Saat Ramadhan, keberadaan mereka menjadi opsi andalan untuk santap sahur.
Gudeg Ceker Margoyudan Bu Kasno menjadi salah satu yang ternama. Lokasinya di Jalan Monginsidi 41-43, Kelurahan Stabelan, Kecamatan Banjarsari.
Tampilannya bisa jadi sederhana, hanya spanduk merah penanda bertuliskan nama warung. Namun, antrean pelanggan memberi tanda bahwa warung yang bertahan selama tiga generasi itu sangat dicari. Setiap hari, warung ini buka pukul 01.30 dan usai melayani pelanggan pukul 07.00. Dari awalnya melayani sopir-sopir bus malam di sepanjang Jalan Monginsidi, kini wisatawan dalam dan luar negeri jadi pelanggannya.
Sekarang, ”nakhoda” warung adalah Windiartati (55), putri Bu Kasno. ”Nenek kami yang pertama kali memulainya sekitar tahun 1960-an. Kalau Ibu (Bu Kasno) sejak tahun 1970-an,” ujar Windi.
Windi mengatakan, warung gudegnya punya banyak keunikan dibandingkan tempat lain. Selain menyajikan gudeg basah dengan cita rasa gurih seharga Rp 15.000-Rp 28.000 per porsi, ada ceker yang jadi andalannya. Khusus ceker dijual dengan harga Rp 4.000 per buah. Satu porsi ceker biasanya terdiri atas 10 ceker atau bergantung selera konsumen.
Ada kisah unik di balik munculnya menu ceker. Awalnya, tutur Windi, lauk yang disajikan hanya ayam, tahu, dan telur. Olahan tersebut baru mulai dijajakan tahun 1980-an saat Bu Kasno mengelola warung.
”Dulu ada tetangga jual daging ayam. Cekernya tidak laku. Lalu, kami beli dan coba-coba bikin. Ternyata, malah jadi yang dicari-cari pelanggan. Waktu itu hanya kami yang jual gudeg ceker,” kata Windi.
Lihat juga :
Saat ini, Windi bisa memasak 20-30 kg ceker dalam sehari di hari-hari biasa. Di akhir pekan, jumlah cekernya menjadi 30-40 kg per hari.
Jumlah tersebut relatif menurun dibandingkan sebelum pandemi Covid-19. Waktu itu, ia membutuhkan ceker sekitar 100 kg per hari. Bahkan, sempat beberapa kali guna memenuhi kebutuhan, ceker dibeli dari Yogyakarta.
Eko Yudia (41), pelanggan, selalu kepincut dengan ceker Gudeg Bu Kasno. Cekernya empuk dan lembut di mulut. Daging dan tulangnya seperti bisa terpisah sendiri. ”Istilahnya, mreteli,” kata Eko pada Sabtu (9/4/2022) dini hari.
Saat Ramadhan, Eko mengatakan, Gudeng Bu Kasno jelas tidak boleh terlewat. Momen istimewa harus dilalui di tempat terbaik. ”Hitung-hitung menambah kebersamaan keluarga. Kan, semuanya sudah sibuk. Anak juga sudah besar-besar. Biar ada waktu bersama,” kata Eko.
Baca juga : Renyah Basah Gule Goreng Solo
Teman Begadang di Makassar
Berada di Makassar, Sulawesi Selatan, lalu perut minta diisi saat larut malam, songkolo bagadang adalah jawabannya. Seperti namanya, kuliner ini disajikan 24 jam. Saat Ramadhan, keberadaannya kian dicari.
Songkolo adalah nasi ketan. Biasanya, makanan yang disebut sokko oleh orang Bugis ini menjadi menu wajib dalam ritual atau tradisi mulai masuk rumah, akikah, hingga selamatan.
Pengolahan songkolo beragam, bergantung acaranya. Untuk selamatan dan ritual, ketan dikukus dan diberi bumbu seperti ketumbar, bawang dan lainnya serta santan agar tak lengket dan rasanya gurih. Untuk dimakan di hari biasa, ketan cukup dikukus dan diberi sedikit air santan agar tak lengket.
Nasi ketan lantas dihidangkan dengan bagian atas ditaburi kelapa parut yang disangrai dan berbumbu. Lauknya ikan teri kering yang digoreng garing dan diberi bumbu. Banyak juga yang menggunakan lauk ayam.
Perpaduan ketan hitam yang pulen, kelapa sangrai, serta ikan teri garing yang manis dan gurih memberi sensasi di lidah. Apalagi jika ditambahkan sambal terasi atau telur asin. Hmmm….
Itu juga yang membuat songkolo bagadang jadi favorit sahur. Selama Ramadhan, pembeli ramai pada pukul 01.00-04.00 Wita.
Di Makassar, Kelurahan Antang bisa dibilang rumah kuliner ini. Warung Songkolo Bagadang Timbang Alhamdullilah milik Hj Haniah (60) adalah jagoannya. Tempat ini bisa dibilang tempat pertama yang membuat kuliner ini kondang.
Kata ”Timbang” bukan tanpa arti. Di warung ini, setiap porsi harus ditimbang untuk menentukan harga. Harganya Rp 6.000 per 100 gram nasi ketan. Harga ini sudah termasuk taburan kelapa, ikan asin, dan sambal.
Haniah lupa tahun berapa persisnya warung ini mulai buka. Namun, dia yakin warungnya sudah ada setidaknya tujuh kali putaran Piala Dunia. Jika menghitung ajang Piala Dunia digelar empat tahun sekali, warung ini setidaknya sudah berdiri setidaknya 28 tahun terakhir.
”Saat Piala Dunia, warung ini ramai karena banyak orang begadang. Ramadhan pun begitu, terutama tengah malam hingga menjelang sahur. Sampai saat ini pembeli tak pernah sepi saat Ramadhan,” kata Haniah.
Baca juga : Makassar, Surga Kuliner Ikan
Tidak ”Getun” di Bu Atun
Penikmat kuliner malam di Surabaya, Jawa Timur, bisa jadi menyebut Nasi Cumi Pasar Atom Ibu Atun sebagai juaranya. Disebut berdiri sejak zaman Hindia Belanda, warung ini buka 24 jam dan tetap dipadati pengunjung. Saat Ramadhan, sajiannya menjadi pilihan untuk menu sahur warga.
Awalnya, Nasi Cumi Pasar Atom Ibu Atun dijual di warung tenda di tepi Jalan Waspada. Seiring waktu berjalan, kuliner ini kian dikenal dan digemari lewat promosi dari mulut ke mulut.
Jika menggemari racikan sederhana, pesanlah menu biasa, yakni seporsi nasi hangat, cumi hitam, sedikit taburan serundeng, peyek udang, dan sambal terasi. Memang sederhana, tetapi rasa kombinasi ibarat pelangi dan abadi menempel pada rongga mulut.
Ketika turun ke lambung, masakan yang gurih, agak pedas, dan beraroma rempah itu bakal sulit ditolak. Perut biasanya dipaksa minta tambah seporsi sederhana senilai Rp 28.000. Atau, bisa juga memesan menu campur yang dibanderol seharga Rp 35.000. Untuk nasi cumi campur ada tambahan empal daging sapi, tahu, dan telur rebus bumbu pedas. Ada juga menu komplet seharga Rp 42.000. Selain nasi cumi campur, ditambah jeroan sapi atau paru, babat, dan usus bumbu gurih serta agak pedas.
Jika belum cukup, coba pesan nasi cumi rawon. Rasa rawon yang dikenal sebagai ”sup arekan” yang mendunia itu bercampur dengan tumisan cumi hitam. Rasa kombinasi yang cenderung gurih pedas akan semakin kuat dan bisa dijamin membuat penikmatnya merem melek sedap mantap.
Saat pandemi Covid-19, Nasi Cumi Pasar Atom Ibu Atun justru mengembangkan sayapnya. Warung tenda kini tiada lagi, tetapi berganti dengan kedai di dalam rumah toko bertingkat di sebelahnya. Puluhan tahun, keluarga Ibu Atun menabung untuk kemudian menempati kedai yang terasa lebih modern dan resik, alias bukan warung tenda lagi.
Di dinding restoran yang cerah itu tertempel foto-foto para pejabat dan pesohor yang pernah mampir dan mengakui kelezatan nasi cumi di sisi utara Pasar Atom itu. Kualitas dan konsistensi rasa atau nyaris tidak berubah menjadi pencapaian yang patut diapresiasi para pencinta kuliner. Mari datang, dijamin tidak getun di warung Nasi Cumi Pasar Atom Ibu Atun.
Baca juga : Seporsi Dua Kuliner Legenda Surabaya