Penanganan Kejahatan Jalanan di DIY Butuh Upaya Komprehensif
Penanganan kejahatan jalanan atau kadang disebut ”klitih” di Daerah Istimewa Yogyakarta membutuhkan upaya komprehensif. Selain penegakan hukum oleh kepolisian, dibutuhkan peran dari pemerintah daerah dan masyarakat.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Penanganan kejahatan jalanan atau kadang disebut klitih di Daerah Istimewa Yogyakarta membutuhkan upaya komprehensif. Selain penegakan hukum oleh kepolisian, dibutuhkan peran dari pemerintah daerah dan masyarakat untuk mencegah berulangnya kejahatan jalanan. Di sisi lain, perdebatan soal istilah klitih yang terjadi beberapa hari belakangan dinilai tidak substansial.
Kepala Divisi Humas Jogja Police Watch Baharuddin Kamba mengatakan, untuk mencegah berulangnya kejahatan jalanan di DIY, kepolisian harus melakukan razia dan patroli secara rutin. Dengan adanya razia dan patroli rutin, polisi bisa mendeteksi secara dini orang-orang yang akan melakukan kejahatan jalanan.
”Razia dan patroli ini harus dilakukan secara rutin, jangan musiman. Jangan sampai setelah ada klitih baru polisi bertindak melakukan razia dan patroli,” ujar Baharuddin saat dihubungi, Kamis (7/4/2022), di Yogyakarta.
Sebelumnya diberitakan, kasus kejahatan jalanan di DIY kembali menjadi sorotan setelah terjadinya penganiayaan yang menewaskan seorang pelajar di Jalan Gedongkuning, Kota Yogyakarta, Minggu (3/4/2022) dini hari. Dalam kejadian itu, korban mengalami luka di bagian kepala karena diserang dengan senjata yang diduga berupa gir sepeda motor. Sebelum terjadinya penganiayaan itu, sempat terjadi kejar-kejaran antara kelompok korban dan kelompok pelaku dengan sepeda motor.
Baharuddin memaparkan, selain patroli dan razia rutin oleh polisi, diperlukan penambahan lampu jalan dan kamera pemantau (CCTV) di jalan untuk mencegah berulangnya kejahatan jalanan di DIY. Penambahan fasilitas tersebut tentu membutuhkan peran pemerintah daerah, baik di level provinsi maupun kabupaten/kota.
Razia dan patroli ini harus dilakukan secara rutin, jangan musiman.
Baharuddin menambahkan, orangtua juga memiliki peran penting dalam mengawasi anak-anaknya yang berusia remaja agar tidak keluar rumah pada larut malam atau dini hari. Hal ini karena sebagian besar pelaku kejahatan jalanan merupakan remaja, sementara waktu terjadinya kejahatan jalanan biasanya pada tengah malam atau dini hari.
Selain upaya pencegahan, Baharuddin menyatakan, penegakan hukum yang tegas terhadap para pelaku kejahatan jalanan juga harus dilakukan oleh kepolisian. Penegakan hukum yang tegas itu penting untuk memberi efek jera terhadap orang-orang yang terlibat dalam kejahatan jalanan sehingga mereka tidak mengulangi perbuatannya.
Istilah ”klitih”
Di sisi lain, Baharuddin menilai, perdebatan soal istilah klitih yang terjadi beberapa waktu belakangan merupakan hal yang tidak substansial. Perdebatan itu muncul karena sejumlah pihak berpendapat bahwa istilah klitih tidak tepat untuk menyebut kejahatan jalanan.
Namun, Baharuddin menyebut, masyarakat sah-sah saja menggunakan istilah klitih karena istilah itu dinilai lebih familiar di DIY. ”Ketika ada peristiwa kejahatan jalanan, masyarakat Yogyakarta memang lebih familiar menyebutnya dengan istilah klitih,” katanya.
Baharuddin juga menambahkan, daripada berdebat soal istilah klitih, semua pihak seharusnya lebih fokus pada pencegahan dan penanganan kejahatan jalanan. ”Yang lebih penting itu bagaimana penanganan, pencegahan, dan segera menangkap pelaku kejahatan jalanan,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi meminta istilah klitih tidak lagi digunakan untuk menyebut kejahatan jalanan. ”Definisi klitih yang sebenarnya itu kan jalan-jalan sore, mencari angin, ngobrol-ngobrol. Itu budaya yang baik,” ujarnya.
Istilah klitih itu juga dibahas dalam pertemuan perwakilan Pemda DIY dan Polda DIY pada Selasa (5/4/2022) lalu. Berdasarkan rilis dari Humas Pemda DIY, pertemuan itu antara lain menyepakati bahwa segala bentuk penyerangan yang terjadi di jalanan tak lagi disebut dengan istilah klitih, tetapi disebut kejahatan jalanan.
Berdasarkan catatan Kompas, istilah klitih kemungkinan berasal dari penggalan kata klithah-klithih dalam bahasa Jawa. Menurut Kamus Bahasa Jawa karangan SA Mangunsuwito, klithah-klithih artinya ”berjalan bolak-balik agak kebingungan” (Kompas, 18 Desember 2016).
Secara sederhana, klitih dulu dimaknai sebagai keluyuran yang tak menentu atau tak jelas arah. Namun, selama beberapa tahun terakhir, istilah klitih kerap dipakai masyarakat DIY untuk menyebut fenomena kekerasan atau kejahatan jalanan.
Penangkapan
Selama beberapa hari terakhir, terjadi beberapa peristiwa yang berkait dengan kejahatan jalanan di DIY. Kasus terbaru adalah penangkapan empat remaja di Simpang Empat Ketandan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, DIY, karena diduga hendak berkelahi atau tawuran dengan kelompok lain.
Kepala Kepolisian Sektor Banguntapan, Komisaris Zaenal Supriyatna, mengatakan, empat remaja itu ditangkap pada Kamis (7/4/2022) pukul 02.00. Dia menyebut, dalam penangkapan empat orang remaja itu, polisi menemukan gir sepeda motor yang diikat dengan tali sabuk serta tongkat pemukul.
Berdasarkan hasil penyelidikan polisi, Zaenal menuturkan, empat remaja itu awalnya hendak tawur dengan kelompok lain di Jalan Wonosari Kilometer 6, Bantul. Namun, setelah sampai di lokasi, mereka tidak bertemu dengan kelompok lawan. Oleh karena itu, sejumlah remaja tersebut kemudian berputar-putar di sejumlah wilayah.
Namun, para remaja itu kemudian dibuntuti oleh anggota kepolisian bersama warga yang tergabung dalam Kelompok Sadar Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Pokdarkamtibmas). Para remaja itu kemudian ditangkap karena tingkah laku mereka mencurigakan.
Zaenal menyebut, dari empat orang remaja itu, ada dua orang yang akan diproses secara hukum karena membawa gir dan tongkat pemukul, sementara dua orang remaja lainnya masih menjadi saksi. Dua orang yang akan diproses secara hukum itu adalah LS (18) dan BSA (17).
Keduanya dijerat dengan Pasal 2 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 yang mengatur tentang tindakan membawa senjata tajam dan senjata pemukul. ”Ancaman hukuman untuk kedua pelaku adalah 10 tahun,” ujar Zaenal.