Kades Kinipan Bantah Keterangan Saksi dengan Bukti Foto
Kasus dugaan korupsi jalan usaha tani di Desa Kinipan selama ini dinilai banyak pihak sebagai upaya menghentikan perjuangan hutan adat Kinipan. Banyak kejanggalan dalam persidangan yang satu per satu terjawab.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Kepala Desa Kinipan Willem Hengki yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi jalan desa di Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, membantah semua keterangan saksi dalam pengadilan yang digelar pada hari Kamis (31/3/2022). Bahkan, ia memperlihatkan beberapa foto yang menunjukkan hal berbeda dengan keterangan saksi dalam persidangan.
Hal itu ia ungkapkan pada Rabu (6/4/2020) saat dihubungi Kompas. Willem Hengki mengungkapkan, semua saksi yang dihadirkan oleh JPU terkesan membantah saksi sebelumnya yang menyatakan bahwa jalan itu fungsional dan masih dipakai hingga saat ini. Willem begitu yakin bahwa keterangan saksi yang dihadirkan JPU tersebut tidak benar.
”Saya yakin dan meyakini kalau keterangan mereka semuanya seperti dibuat-buat atau diseting, dari awal pun sudah diakui mereka kalau ini semua setingan,” kata Willem.
Setahun lalu, Willem Hengki ditangkap dan diadili karena diduga melakukan tindak pidana korupsi terhadap proyek pembangunan jalan usaha tani di Desa Kinipan. Ia dinilai merugikan negara sebesar Rp 261.356.798,57.
Pada sidang Kamis lalu, Hakim Ketua Erhammudin bersama dua anggotanya mendengarkan keterangan saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Okto Silaen, yakni staf Inspektorat Kabupaten Lamandau bernama Umar dan Kepala Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman PUPR Kabupaten Lamandau Rony Novian.
Dalam sidang, Umar yang ikut ke lapangan untuk memeriksa jalan tersebut mengatakan, Bupati Lamandau melalui surat meminta inspektorat untuk melakukan pemeriksaan khusus di Kinipan.
Umar pun bersaksi jika jalan itu tidak bisa dilalui dengan berjalan kaki karena dipenuhi rumput liar dan berbagai tanaman lainnya sehingga perlu dibersihkan. Jalan yang dimaksud Umar merupakan jalan masuk ke kantor Kecamatan Batang Kawa. Pemeriksaan itu dilakukan pada tahun 2020.
Keterangan serupa disampaikan Rony Novian. Rony mengungkapkan, saat pihaknya melakukan uji konstruksi jalan, jalan tersebut hanya bisa dilalui kendaraan roda dua dan merupakan jalan setapak.
Di luar sidang, saat Kompas menemui Rony, ia mengungkapkan, keterangan yang disampaikan merupakan keterangan tim setelah melakukan uji konstruksi jalan. Rony menilai jalan dengan kondisi seperti itu bisa dibuat dengan anggaran sebesar Rp 50 juta.
Dari pihak JPU yang diketuai Okto Silaen mengungkapkan, ada perbedaan waktu antara datangnya pemeriksaan inspektorat dan PUPR. Rentang waktu beberapa bulan menandakan perbedaan dari jalan yang tidak bisa dilewati dengan berjalan kaki, lalu bisa dilalui motor.
”Ini fakta baru yang menarik yang muncul di persidangan, ada rentang waktu dari datangnya inspektorat dan PUPR, saya tidak mau mengambil kesimpulan, silakan masyarakat menilai sendiri,” kata Okto saat ditemui seusai persidangan pada Kamis (31/2/2022).
Willem Hengki juga membantah keterangan semua saksi. Bahkan ia menunjukkan beberapa foto saat pemeriksaan yang dilakukan inspektorat dan pemeriksaan yang dilakukan PUPR. Semuanya menunjukkan kondisi jalan yang sama, bahkan bisa dilalui mobil ataupun kendaraan roda dua.
”Saya kecewa dengan keterangan saksi itu, tidak mungkin mereka tidak ingat keadaan jalan, padahal jalannya sama-sama saya. Mereka bilang kalau harus ditebas dulu. Malah menurut saya, saksi tidak tahu jalannya yang mana,” kata Willem.
Willem menjelaskan, setiap pemeriksaan yang dilakukan inspektorat, PUPR, dan kepolisian selalu ia temani. ”Saat pemeriksaan, kan, digiring sama mobil inspektorat yang pelat merah, lalu saat kepolisian datang juga pakai mobil masuk sampai dalam,” kata Willem.
Kuasa hukum terdakwa, Parlin Hutabarat, mengungkapkan, hal yang lucu dalam persidangan adalah keterangan Rony Novian dari PUPR yang menyatakan dengan kondisi jalan tersebut, anggaran yang diperlukan hanya Rp 50 juta-Rp 60 juta. Parlin menjelaskan, saat ia tanya alat apa saja yang digunakan untuk uji konstruksi, saksi hanya menjawab menggunakan meteran dan patok.
”Ini udah tidak logis dan lucu, katanya uji konstruksi jalan sehingga bisa mengeluarkan nilai anggaran, tapi alat yang digunakan hanya patok dan meteran,” kata Parlin.
Parlin menjelaskan, dalam pembuatan jalan itu, kontraktor perlu memotong bukit dan membersihkan jalan dengan menggunakan alat berat dan menyewa pekerja. Dengan begitu, menurut Parlin, anggaran yang diperlukan lebih dari Rp 50 juta.
”Willem Hengki yang pada tahun 2019 menjabat kepala desa kemudian ditagih oleh kontraktor karena proyek di kepala desa sebelumnya itu belum lunas dibayar. Willem tidak bayar salah, bayar utang malah jadi perkara begini,” kata Parlin.