Kades Kinipan Didakwa Tanpa Ayat, Peradilan Bisa Sesat
Perkara Kepala Desa Kinipan Willem Hengki yang diduga melakukan korupsi dinilai cacat hukum karena persoalan dakwaan. Ia didakwa dengan pasal korupsi tanpa ayat.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Kepala Desa Kinipan Willem Hengki didakwa pasal korupsi tanpa ayat. Hal itu dinilai cacat hukum oleh tim hukum Willem Hengki sehingga perlu putusan sela dari hakim untuk menjawab eksepsi tim hukum.
Parlin B Hutabarat, salah satu kuasa hukum Willem Hengki yang tergabung dalam Koalisi Keadilan untuk Kinipan, Selasa (8/2/2022), mengungkapkan, dalam dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) pekan lalu, Willem Hengki didakwa menggunakan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tanpa ayat. Hal itu dinilai merupakan tindakan tidak cermat jaksa dalam mendakwa.
Dalam dakwaan primer atau pokok jaksa menggunakan Pasal 2 tanpa ayat dan dalam dakwaan subsider jaksa menggunakan Pasal 3 dalam Undang-Undang tersebut. Parlin menjelaskan, dalam Pasal 2 terdapat dua ayat dengan makna dan ancaman yang berbeda, Ayat 1 pelaku diancam seumur hidup, sedangkan ayat kedua ancaman maksimal hukuman mati.
”Kalaupun menggunakan kedua ayat itu, tidak bisa digunakan dalam kasus Kades Kinipan, kalau ini dilanjutkan bisa menjadi cacat hukum karena hakim mengambil keputusan berdasarkan dakwaan jaksa,” kata Parlin.
Parlin menjelaskan, jika eksepsi ditolak dan persidangan dilanjutkan menggunakan dakwaan tanpa ayat, proses peradilan itu bisa dinilai sebagai peradilan sesat atau cacat hukum. Cacat hukum karena tidak ada kepastian hukum yang digunakan hakim dalam mengambil keputusan. ”Ini bisa berujung pada laporan ke Komisi Yudisial atau instansi terkait lainnya,” ujar Parlin.
Selain persoalan pasal tanpa ayat, lanjut Parlin, Kepala Desa Kinipan Willem Hengki selama ini dituduh melaksanakan proyek fiktif yang anggarannya keluar pada 2019 tetapi tetap dituliskan pembangunan proyek jalan usaha tani tahun 2017 dalam surat dakwaan. Artinya dalam dakwaan jaksa mengakui adanya proyek dan bukan fiktif. Hal tersebut dinilai bertolak belakang.
”Jaksa punya dua pilihan jika eksepsi diterima, yakni melakukan banding atau membuat dakwaan baru,” kata Parlin.
Sebelumnya, Willem Hengki ditangkap dan diadili karena diduga melakukan tindak pidana korupsi terhadap proyek pembangunan jalan usaha tani di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Ia dinilai memperkaya orang lain, dirinya sendiri, atau kelompok karena membayar utang proyek jalan tersebut.
Meski jalan tersebut dibangun pada 2017 saat Willem Hengki belum menjabat sebagai kepala desa, tetapi Willem tetap dinilai bersalah oleh kepolisian yang menyidik kasus tersebut pertama kali juga pihak kejaksaan. Dari pembayaran utang proyek itu, Willem Hengki sebagai Kepala Desa Kinipan tidak mengelola keuangan secara transparan, akuntabel, partisipatif, tertib, dan disiplin anggaran di mana terdakwa dengan sengaja menganggarkan pekerjaan yang sudah dilaksanakan di tahun 2017, dan membayarnya tanpa disertai dokumen pendukung.
Dalam dakwaan tersebut yang dibacakan JPU pada sidang pertama, tanpa adanya dokumen itu Willem Hengki diduga memperkaya kontraktor yang mengerjakan proyek tersebut dengan merugikan negara sebesar Rp 261.356.798,57. Direktur CV. Bukit Pendulangan Dedi Gusmanto, yang disebut dalam dakwaan sebagai kontraktor, masih berstatus sebagai saksi.
Di tengah persidangan yang digelar secara daring Senin (7/2) kemarin, Willem Hengki menyampaikan tanggapan atas dakwaan bahwa dirinya tidak memiliki niat untuk memperkaya orang lain ataupun dirinya sendiri. Utang proyek yang ia bayarkan merupakan perintah Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) Kinipan tahun 2019 atas dasar kesepakatan bersama. Bahkan, segala dokumen hasil musrenbangdes itu juga sudah diperiksa inspektorat hingga bisa dicairkan.
”Saya mohon kepada tim hukum saya, kalau memang saya salah jangan dibela. Tapi saya tetap didampingi oleh mereka yang saya tidak bisa membayar sepeser pun uang untuk mereka,” kata Willem dalam persidangan, Senin lalu.
JPU dari Kejaksaan Negeri Lamandau Okto Silaen mengungkapkan, pihaknya akan menanggapi eksepsi dari tim hukum terdakwa secara tertulis dan akan dibacakan pada persidangan berikutnya. Pihaknya masih harus mempelajari eksepsi dari tim hukum terdakwa.
”Kami hanya bisa menanggapi eksepsi tersebut nanti saat persidangan,” ujar Okto.
Okto menyampaikan, sampai saat ini pihaknya dengan tegas berpendapat bahwa kasus tersebut murni perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa selaku aparatur desa. Saat ditanya soal kemungkinan adanya tersangka lain, menurut Okto, sampai saat ini kasus tersebut masih dikembangkan lagi oleh penyidik kepolisian dari Polres Lamandau untuk melihat segala kemungkinan.
”Perkara ini tidak ada hubungannya dengan masalah lingkungan hidup sehingga tidak benar kalau ini merupakan bentuk kriminalisasi,” ungkap Okto.