Aksi untuk membebaskan Kepala Desa Kinipan terus berlanjut di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Mereka menilai upaya pengadilan tersebut merupakan bentuk pelemahan perjuangan Kinipan mempertahankan wilayah adatnya.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Sidang kedua kasus dugaan korupsi Kepala Desa Kinipan Willem Hengki diwarnai aksi demonstrasi dari gerakan solidaritas untuk Kinipan. Jaksa Penuntut Umum menilai kasus tersebut murni kasus korupsi dan tidak berhubungan dengan kerusakan lingkungan apalagi kriminalisasi.
Pada sidang kedua dengan agenda pembacaan eksepsi oleh Tim Hukum Kepala Desa Kinipan Willem Hengki, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Aksi untuk Kinipan menggelar aksi di depan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Palangkaraya, Senin (7/2/2022).
Mereka menuntut Willem Hengki dibebaskan karena dinilai tidak bersalah. Wanda Franata, Koordinator Lapangan dari Gerakan Solidaritas Aksi untuk Kinipan, mengungkapkan, Wilem Hengki merupakan pejuang lingkungan yang seharusnya dilindungi. Kasus yang menimpa dirinya merupakan bentuk kriminalisasi atas upaya memperjuangkan hutan adat dan pengakuan masyarakat hukum adat di Desa Kinipan yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
”Ini bukan kasus pertama yang melibatkan hukum dalam perjuangan hutan adat dan komunitas adat di Kinipan. Kami akan terus mengawal kasus ini hingga Willem Hengki dibebaskan,” kata Wanda.
Willem Hengki ditangkap dan diadili karena diduga melakukan tindak pidana korupsi terhadap proyek pembangunan jalan usaha tani di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Ia dinilai memperkaya orang lain, dirinya sendiri, atau kelompok karena membayar utang proyek jalan tersebut.
Ini bukan kasus pertama yang melibatkan hukum dalam perjuangan hutan adat dan komunitas adat di Kinipan.
Meski jalan tersebut dibangun pada 2017 saat Willem Hengki belum menjabat sebagai kepala desa, tetapi Willem tetap dinilai bersalah oleh kepolisian yang menyidik kasus tersebut pertama kali juga pihak kejaksaan. Dari pembayaran utang proyek itu, Wilem Hengki sebagai Kepala Desa Kinipan tidak mengelola keuangan secara transparan, akuntabel, partisipatif, tertib, dan disiplin anggaran di mana terdakwa dengan sengaja menganggarkan pekerjaan yang sudah dilaksanakan pada 2017, dan membayarnya tanpa disertai dokumen pendukung.
Dalam dakwaan tersebut yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) pada sidang pertama, tanpa adanya dokumen itu Wilem Hengki diduga memperkaya kontraktor yang mengerjakan proyek tersebut dengan merugikan negara sebesar Rp 261.356.798,57. Direktur CV Bukit Pendulangan Dedi Gusmanto, yang disebut dalam dakwaan sebagai kontraktor, masih berstatus sebagai saksi.
Di tengah persidangan yang digelar secara daring, Willem Hengki menyampaikan tanggapan atas dakwaan bahwa dirinya tidak memiliki niat untuk memperkaya orang lain maupun dirinya sendiri. Utang proyek yang ia bayarkan merupakan perintah Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) Kinipan tahun 2019 atas dasar kesepakatan bersama. Bahkan, segala dokumen hasil musrenbangdes itu juga sudah diperiksa inspektorat hingga bisa dicairkan.
“Saya mohon kepada tim hukum saya, kalau memang saya salah jangan dibela. Tapi saya tetap didampingi oleh mereka yang saya tidak bisa membayar sepeser pun uang untuk mereka,” kata Willem dalam persidangan, Senin siang.
Pada sidang kedua, salah satu kuasa hukum, Parlin B Hutabarat, menjelaskan, pihaknya mengajukan eksepsi karena menilai dakwaan dari JPU tidak cermat dan tidak jelas. Parlin menjelaskan, dalam surat dakwaan resmi yang dibacakan JPU terdakwa didakwa menggunakan pasal 2 tanpa ayat, sedangkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat begitu banyak ayat dengan ancaman penjara yang berbeda.
”Dalam dakwaannya, JPU juga tidak mencantumkan secara jelas bahwa proyek tahun 2017 (jalan usaha tani) itu sudah terbayarkan atau belum, jadi atas dasar-dasar itu kami ajukan eksepsi karena surat dakwaan itu harus batal demi hukum,” ungkap Parlin.
Persidangan kedua tak berlangsung lama, kurang dari satu jam sidang yang dipimpin oleh Erhammudin sebagai ketua hakim itu dilanjutkan minggu depan dengan agenda tanggapan eksepsi dari JPU.
Seusai persidangan daring itu, JPU dari Kejaksaan Negeri Lamandau Okto Silaen mengungkapkan, pihaknya belum bisa menanggapi langsung eksepsi dari tim hukum terdakwa, namun JPU tetap memperjuangkan dan mempertahankan dakwaan yang sudah mereka bacakan.
”Kami masih pelajari eksepsi dari kuasa hukum, tanggapannya akan kami buat tertulis juga dan dibacakan di persidangan berikutnya,” ungkap Okto.
Okto menyampaikan, sampai saat ini pihaknya dengan tegas berpendapat bahwa kasus tersebut murni perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa selaku aparatur desa. Saat ditanya soal kemungkinan adanya tersangka lain, menurut Okto, sampai saat ini kasus tersebut masih dikembangkan lagi oleh penyidik kepolisian dari Polres Lamandau untuk melihat segala kemungkinan.
”Perkara ini tidak ada hubungannya dengan masalah lingkungan hidup sehingga tidak benar kalau ini merupakan bentuk kriminalisasi,” ungkap Okto.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata yang tergabung dalam Koalisi Keadilan untuk Kinipan mengungkapkan, pihaknya yakin kasus Willem Hengki merupakan bagian dari upaya pelemahan gerakan masyarakat adat Kinipan dalam mempertahankan wilayah adatnya.
Upaya pelemahan itu, lanjut Bayu, terlihat dari upaya aparat penegak hukum yang terkesan memaksakan Willem Hengki menjadi tersangka hingga terdakwa. Kasus serupa juga terjadi di Desa Penyang, Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kepala Desa juga Sekretaris Desa di Desa Birumaju, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalteng.
”Mencari-cari kesalahan atau masalah yang menyeret tokoh adat maupun tokoh desa yang menjadi aktor gerakan perlawanan suatu komunitas agar konflik sebenarnya teralihkan sudah terlalu sering terjadi di Kalteng,” kata Bayu.