Warung hik khas Surakarta, Jawa Tengah, adalah ruang santap sekaligus interaksi antarwarga yang nirsekat. Kebersahajaan hik selalu dirindukan dengan menunya, nasi sambal, teh hangat, dan curhat.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
Saat tempat kuliner lain kian menjamur, hik atau wedangan barangkali menjadi ruang santap tak tergantikan bagi wong Solo. Kebersahajaan hik mencipta kohesi sosial nirsekat. Kisah sinetron hingga kesah pengangguran melengkapi hidangan nasi sambal dan secangkir teh nasgitel. Sedap....
Dua pengemudi ojek daring duduk berhadapan di kursi kayu sebuah gerobak wedangan di Jalan Slamet Riyadi, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (22/3/2022) malam. Wajah berpeluh mereka memantulkan pendar lampu bohlam yang dicantelkan di tengah gerobak. Sambil mengunyah kudapan, keluh kesah pekerjaan yang sedang sulit mencerocos dari mulut mereka seiring rintik gerimis.
”Sekarang cari uang Rp 100.000 sehari susahnya minta ampun. Itu pun harus kerja dari pagi sampai pagi lagi,” ucap Santoso (38), salah satu pengemudi ojek daring tersebut, setelah menyeruput secangkir teh nasgitel, akronim dari panas, legi (manis), kentel (kental) dalam bahasa Jawa.
Murdianto (34), pengojek daring lain yang duduk di hadapan Santoso, juga merasakan kesulitan serupa. Baru saja ia diberi nilai bintang empat oleh salah seorang pelanggan. Penilaian itu membuatnya cukup sulit mendapatkan pesanan berikitnya. Padahal, kian cepat pesanan didapat, makin cepat pula waktunya beristirahat.
Selepas keluh kesah tercurah, keduanya tampak sedikit lega. Wajah mereka tak lagi kusut. Kini, giliran gelak tawa pecah. Mereka ganti menertawakan kesialan-kesialan lucu yang terjadi saat bekerja. Mulai dari pembatalan pesanan hingga salah titik penjemputan pelanggan. Sambil guyonan, mereka kembali mengunyah gorengan atau sekadar menyeruput wedang.
”Itulah khas wedangan. Gerobak-gerobak ini jadi saksi kami berkeluh kesah, sambat, dan cerita apa saja. Dengan cerita-cerita begini, kesusahan itu tidak terlalu terasa. Rasanya kayak dipanggul bareng-bareng,” ujar Murdianto.
Wajar jika Murdianto sangat terbantu dengan kehadiran bakul-bakul wedangan, atau yang di Surakarta populer disebut ”hik”. Pertimbangan utamanya, harga jajanan yang murah. Cukup merogoh saku Rp 10.000 sekali makan, ia bisa menyantap nasi bandeng, gorengan, sate-satean, lengkap dengan minum.
Keramahan penjual makin membuat pelanggan betah. ”Mereka enggak marah-marah meski saya duduk lama dan hanya pesan segelas wedang seharga Rp 2.000-an. Malah mereka juga ikut ngobrol dan menambah asyik suasana saat menunggu pesanan penumpang,” ujar Murdianto sebelum melahap sate bekicot di genggamannya.
Adam (60), warga Kota Surakarta, punya pandangan serupa. Baginya, keramahan penjual menjadikan warung hik sebagai tempat jajan istimewa. Setidaknya itulah yang dirasakannya setelah menyambangi sejumlah hik di ”Kota Bengawan” sejak berusia 20 tahunan.
”Kalau penjualnya tidak ramah, mereka repot sekali dengan pembeli seperti saya. Kadang-kadang saya di hik cuma beli minum. Tidak selalu makan. Padahal, saya kalau minum begini bisa berjam-jam. Enggak cukup dua jam saja,” kata Adam disusul cekikik tawa.
Intensitas Adam mengunjungi hik meningkat setahun terakhir. Sebab, waktu longgarnya kian banyak setelah pensiun dari pekerjaannya sebagai guru olahraga di sebuah madrasah. Ketimbang berdiam di rumah, pria tinggi besar itu memilih menghabiskan waktunya di hik. Tentu saja tempat yang disasarnya tak jauh dari kediamannya di wilayah Kecamatan Laweyan.
Egaliter
Kegemaran nongkrong lama di hik diakui Adam tak terlepas dari hobinya mengobrol. Lebih-lebih dengan orang baru. Banyak informasi yang bisa didapatkannya lewat obrolan ngalor ngidul. Informasinya macam-macam, terentang dari persoalan remeh-temeh hingga serius, seperti ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Semua hal tercurahkan secara bebas. Setiap orang yang mengerumuni gerobak hik diperlakukan sama, entah itu datangnya pakai sepeda ontel, sepeda motor, atau mobil. ”Semua tak dibeda-bedakan. Semua benar-benar sama derajatnya di hik. Semuanya juga dihargai pendapatnya. Entah dia tukang becak, karyawan, mahasiswa,” kata Adam.
Suasana egaliter di hik atau wedangan menjadi salah satu kerinduan para perantau asal Surakarta.
Tak hanya warga yang masih menetap di Solo, suasana egaliter di hik atau wedangan juga menjadi salah satu kerinduan para perantau asal Surakarta. Salah satunya Andreas Restu (28) yang sudah enam tahun lamanya merantau di Ibu Kota. Setiap pulang kampung, ia selalu menyempatkan wedangan atau sekadar duduk melihat-lihat suasana kota di hik.
”Sebenarnya di Jakarta ada juga warung-warung angkringan atau hik. Tetapi, rasanya sangat berbeda. Itu yang membuat hik di Solo ngangenin. Suasananya guyub betul meski kadang kita sesama pembeli baru pertama bertemu,” ucap Restu.
Egalitarian ala hik diakui politisi PDI-P yang juga mantan Wali Kota Surakarta, FX Hadi Rudyatmo. Ia menyebut hik selalu membuat kangen singgah karena suasana hangat di dalamnya. Hik telah menjadi titik temu warga berbagai kalangan. Wajar jika obrolan yang muncul bermacam-macam, bisa rerasan soal istri orang, kondisi pemerintahan, hingga perekonomian.
”Wedangan sangat efektif untuk menangkap aspirasi, mencarikan solusi, dan memecahkan persoalan. Semua masalah bisa diselesaikan di sana. Seorang pemimpin harus bisa menangkap keresahan-keresahan masyarakat lewat jagongan-jagongan di wedangan itu,” tutur Rudyatmo.
Insiwi Febriary Setiasih, sejarawan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), menyampaikan, hik atau wedangan pertama kali diusung oleh seorang warga Klaten bernama Karso Jukut yang merantau ke Surakarta pada 1930-an. Sejak itu, hik berkembang menjadi ruang interaksi sosial yang jujur di tengah masyarakat. Masyarakat dari kelas sosial berbeda-beda bertemu dan meleburkan sekat kelasnya dalam satu ruang sama.
Insiwi berpendapat, boleh jadi peleburan kelas sosial terjadi akibat desain hik yang hanya menyajikan dipan bagi pengunjung. Dengan begitu, semua harus mau duduk bersama siapa saja yang sedang jajan di sana. Entah tukang bangunan, penganggur, tukang becak, politisi, atau pekerja kantoran. Di sisi lain, penjual hik mafhum mesti terus memberi harga murah dalam berbagai kondisi demi menarik pengunjungnya. Harga murah pula yang menjadi alasan para pelanggan setia dengan hik.
”Dengan demikian, hik menjadi tempat interaksi yang sangat menarik. Strata sosial yang masuk ke dalamnya tak terbatas. Otomatis, itu membentuk ruang diskusi tanpa sekat,” kata Insiwi.
Memang, yang dicari orang saat berkunjung ke hik adalah kehangatannya. Bukan saja hangat karena wedang teh atau jahenya, melainkan juga kehangatan obrolan-obrolan akrab perekat kohesi masyarakat.