Kuliner dan bangunan kuno berbaur apik di Kota Surakarta. Begitu bersanding, keduanya saling melengkapi. Wisata kuliner tak sekadar tentang rasa lezat hidangan. Tetapi, juga soal menikmati keelokan warisan seja
Oleh
Nino Citra Anugrahanto
·5 menit baca
Kota Surakarta masyhur akan wisata kulinernya. Di sisi lain, kota tersebut juga kaya akan sejarah yang dibuktikan dengan warisan beragam bangunan kunonya. Ternyata, pengalaman berwisata kuliner di bangunan kuno yang kental nuansa masa lalu belakangan diburu banyak orang.
Di tengah siang bolong, Juzi Amma (28), warga asal Denpasar, melancong ke Pasar Gede Hardjonagoro, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Senin (28/12/2021). Gadis berambut lurus sepanjang bahu itu berjalan menyusuri lorong dari gedung bagian barat pasar tersebut. Matanya melirik ke kios-kios kuliner kekinian yang terdapat di sana sepanjang kakinya melangkah.
Setelah berkeliling lama, pilihan Juzi akhirnya tertuju pada kedai kopi bernama Meurdue di sisi utara bangunan tersebut. Es kopi susu dipesannya untuk menemaninya menghabiskan waktu siang itu sembari duduk manis di depan kedai tersebut.
”Jujur saja. Ini baru pertama kali saya datang ke sini. Seru banget. Asyik buat orang yang suka melamun seperti saya. He-he-he,” kata Juzi, setelah meneguk es kopinya di tengah siang terik.
Pasar Gede Hardjonagoro berdiri sejak tahun 1930. Bangunan tersebut dirancang seorang arsitek asal Belanda bernama Thomas Karsten. Gaya arsitekturnya merupakan perpaduan antara Jawa dan Belanda. Pasar tersebut sempat beberapa kali mengalami kerusakan. Penyebabnya, antara lain, serangan tentara Belanda pada 1947 dan kebakaran akibat amuk massa pada 2000.
Renovasinya pun selalu berupaya mempertahankan keaslian bangunan. Pasalnya, pasar tersebut telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Penetapannya tertuang dalam Keputusan Wali Kotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 646/116/I/1997.
”Tingginya nilai sejarah ini yang membuat ngopi di sini dengan di kafe-kafe lainnya berbeda. Yang lawas seperti ini suasananya asyik. Apalagi ini di pasar. Image pasar juga berubah setelah ada kuliner modern seperti ini,” kata Juzi, sembari memotret gelas kopinya dengan latar belakang pasar tua itu.
Wacana pemanfaatan pasar tersebut sebagai pusat kuliner mengemuka sejak tahun 2017. Saat itu, FX Hadi Rudyatmo, yang menjabat sebagai Wali Kota Surakarta, menginginkan agar pasar tersebut menjadi pasar kreatif. Salah satu upayanya dilakukan dengan mengajak para pelaku usaha kreatif di bidang kuliner meramaikan lantai dua gedung pasar sebelah barat.
Kini, terdapat lebih dari 10 macam kuliner kekinian yang dijajakan. Ada makanan ala barat seperti salad, spaghetti, sandwich, dan pancake. Makanan kekinian lainnya seperti dimsum hingga pho atau olahan mi bertabur irisan daging khas Vietnam juga bisa ditemukan.
Meski opsi makanan kekinian banyak, ada juga wisatawan yang sengaja datang memburu makanan tradisional. Khususnya, kuliner legendaris seperti ”Es Dawet Telasih Bu Dermi” yang sudah dijajakan sejak berdirinya pasar tersebut.
”Harus mampir ke sini (Dawet Telasih Bu Dermi) setiap liburan ke Surakarta. Tidak boleh tidak. Rasanya itu segar, tetapi ada gurihnya juga. Ini yang ngangenin,” kata Fransiska Citra (26), wisatawan asal Yogyakarta.
Kepala Dinas Perdagangan Kota Surakarta Heru Sunardi menyatakan, adanya pusat kuliner kekinian meningkatkan daya tarik wisata pada pasar tersebut. Sebab, wisatawan punya lebih banyak opsi. Pilihan kuliner tidak berkutat pada makanan-makanan tradisional saja.
”Pilihannya jadi banyak. Orang mau mengenang masa lalu, bisa ke gedung pasar sebelah timur. Kalau mau makanan-makanan modern, bisa ke gedung sebelah barat,” kata Heru.
Tempat bersejarah lain yang juga tak luput dari serbuan wisatawan ialah Laras Resto, di Roemahkoe Heritage Hotel. Lokasinya di kawasan Kampung Batik Laweyan. Semula, bangunan itu adalah rumah saudagar batik bernama Puspo Sumitro. Rumah itu didirikan pada 1938.
Pada 1998, atas ketertarikannya dengan sejarah dan arsitektur, Nina Akbar Tandjung membeli rumah tersebut. ”Waktu itu, rumah itu akan dibeli kolektor barang antik. Si kolektor mau membeli lalu mencopot-copot bagian rumah itu. Padahal, rumahnya masih bagus. Saya prihatin,” kenangnya.
Nina tak ingin keberadaan bangunan bersejarah terlupakan oleh masyarakat. Kemudian, muncul ide untuk memfungsikan bangunan tersebut menjadi hotel dan restoran. Meski diubah fungsinya, ia menyatakan tak mengubah bentuk dari bangunan tersebut.
Pernyataan Nina terbukti dari kentalnya nuansa klasik pada rumah tersebut. Temboknya dicat dengan warna putih kekuningan menyerupai gading. Ubin yang terpasang warnanya juga tampak kuno. Bangunan itu pun ditetapkan menjadi cagar budaya pada 2014.
Untuk itu, lanjut Nina, hidangan yang disajikan di restoran juga berkonsep sejarah. Dua menu andalannya adalah Londoh Pindang dan Nasi Jemblung. Konon, kedua santapan itu menjadi menu favorit Pakubuwono X, Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Periode 1839-1939.
”Sajiannya memang tempo dulu. Itu khas dari keluarga keraton. Katanya, pangeran-pangeran senangnya itu. Isinya lengkap. Jadinya istimewa,” tutur Nina.
Sekilas, Londoh Pindang mirip dengan rawon. Kuah sup itu warnanya gelap. Isian sup terdiri dari daging sapi, telur rebus, krecek, dan sayuran. Sup itu disajikan bersama nasi hangat lengkap dengan kerupuk rambak dan sambal.
Sementara itu, Nasi Jemblung sebenarnya merupakan modifikasi dari bistik sapi. Hanya saja, bistik ini disajikan bersama nasi. Namun, nasi dibentuk menyerupai kolam. Ada cekungan di tengahnya. Di cekungan itu, irisan daging beserta kuahnya dituangkan. Resep santapan itu diperoleh Nina dari neneknya.
Serupa yang dilakukan Batik Keris. Pengelola merevitalisasi bekas rumah tinggal leluhur pemilik bisnis itu, Sie Djian Ho. Rumah tinggal itu tenar disebut ”Omah Lowo”. Bangunannya didirikan sejak 1920. Namun, pada 1940, peperangan membuat pemilik meninggalkan rumah tersebut.
Kondisi rumah terbengkalai. Pada 2016, pewaris merestorasi rumah tersebut. Restorasi berlangsung selama empat tahun. Rumah tinggal itu diubah menjadi galeri bernama Heritage Batik Keris dan mulai menerima kunjungan umum pada 2020.
Wisata kuliner ditawarkan galeri tersebut dengan hadirnya Keris Cafe and Kitchen di tempat yang sama. Menu yang disajikan, antara lain, cabuk rambak, nasi liwet, bubur manado, dan ragam kopi Nusantara.
”Ini ide kami untuk ikut melestarikan makanan dan minuman dengan cita rasa khas Nusantara. Banyak wisatawan lokal dari luar kota dan dalam kota. Utamanya saat akhir pekan,” kata Komisaris PT Batik Keris, Lina Tjokrosaputro, lewat keterangan tertulisnya.
Kuliner dan bangunan kuno ternyata berbaur apik di Kota Surakarta. Begitu bersanding, keduanya saling melengkapi. Wisata kuliner tak sekadar tentang rasa lezat hidangan, tetapi juga soal menikmati keelokan warisan sejarah.