Teman Setia ”Wong Solo” Meniti Masa
Hik atau warung wedangan bertransformasi sesuai zaman. Dari pikulan keliling, gerobak, kini model bisnis ini diterapkan di restoran dan kafe. Nuansa bersahaja tetap jadi jualan utama.
Puluhan tahun, hik atau wedangan menemani peradaban warga di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Keberadaannya lentur mengikuti masa. Berawal dari penjaja pikul keliling, hik bertransformasi melalui gerobak kayu, hingga kini diadopsi dalam konsep restoran dan kafe.
Di bawah langit gelap, Senen (70) berjalan pelan dipandu bias lampu merkuri. Badan kurusnya sekuat tenaga memikul dua bakul berisi aneka nasi bungkus dan jajanan yang ditautkan ke sebilah kayu. Dua bakul itulah penghidupannya lebih dari setengah abad sebagai penjaja hik pikulan di emperan Terminal Tirtonadi, Surakarta, Jawa Tengah.
”Kira-kira 53 tahun lalu saya berjualan. Waktu itu, umur saya baru sekitar 17 tahun. Dagangannya juga sama. Nasi bungkus dan camilan-camilan ini,” kata Senen, Minggu (20/3/2022) malam, sambil melayani pelanggannya, para sopir, kenek, hingga penumpang yang menanti keberangkatan bus.
Warga ”Solo” dan sekitarnya menyebut Senen sebagai penjual hik. Namun, Senen tak tahu persis asal-usul istilah itu. Sejak awal diajak tetangganya merantau untuk berjualan, nama ”hik” sudah jadi sebutan untuk aktivitas berjualan yang ia lakoni.
Baca Juga Geliat Kota Surakarta:
Ada beberapa penjelasan yang berkembang. Sebagian menyebut hik sebagai akronim dari ”hidangan istimewa kampung”. Ada juga yang mengatakan, penyebutan hik awalnya berasal dari suara si penjaja saat berkeliling menawarkan dagangannya dari kampung ke kampung.
”Hiiik tuurrr... Kayak gitu cara menawarkannya. Dulu, awal-awal berjualan saya masih mengalami yang begitu (keliling). Kalau sekarang sudah manggrok (menetap di satu lokasi). Saya sendiri berjualan manggrok 10 tahun terakhir. Badan sudah enggak kuat. Lha, sekali keluar jualan paling tidak makanan-makanan yang saya bawa beratnya 50 kilogram,” tutur Senen, pria asal Sragen itu.
Konon, pikulan bakul yang dibawa Senen menjadi bentuk hik generasi kedua. Sebelumnya, para pedagang menggunakan pikulan tumbu, semacam bakul bambu besar berbentuk persegi dan bertutup. Selanjutnya, dimodifikasi menjadi pikulan bakul dengan bentuk yang dikenal hingga kini. Baru pada 1970-an, sebagian penjual hik mulai menggantinya dengan gerobak dorong. Sebab, muatannya bisa lebih banyak dan praktis dibawa berkeliling.
Baca juga: Soeharso, Perintis Kesetaraan Penyandang Disabilitas dari Surakarta
Sebagian menyebut hik sebagai akronim dari ”hidangan istimewa kampung ”. Ada juga yang mengatakan, penyebutan hik awalnya berasal dari suara si penjaja saat berkeliling menawarkan dagangannya dari kampung ke kampung.
Sang pionir
Suwarno, penggiat desa wisata di Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, membenarkan kisah-kisah yang diceritakan Senen soal era awal hik. Pasalnya, desa itu disebut sebagai daerah pencetus hik atau yang di wilayah DI Yogyakarta dikenal dengan nama angkringan. Buktinya berupa cerita sesepuh desa yang dikumpulkannya sejak 2018. Orang-orang yang ditanyai juga sudah berusia lebih dari 70 tahun dan pernah merantau sebagai penjual hik di Surakarta.
Sang pionir, lanjut Suwarno, mengerucut pada sosok Karso Jukut. Ia disebut orang pertama dari Desa Ngerangan yang merantau ke Surakarta sebagai penjaja hik pada 1930-an. Semula yang dijual hanya nasi terik dengan lauk tempe dan ikan. Dari situ, warga kala itu ada yang menyebut hik dengan nama ”terikan”. Lama-lama, Karso melengkapi dagangannya dengan jajanan lain, seperti ketela rebus, limpung, blanggreng, dan jadah.
”Pada 1940-an, Mbah Karso Jukut punya ide menambah jualan minuman. Itu juga dari permintaan pelanggan. Lalu, dua bakul yang dibawa itu tidak lagi hanya membawa makanan. Bakul depan membawa makanan, sedangkan bakul belakang membawa cerek untuk membuat minuman,” ungkap Suwarno.
Dengan dijualnya minuman atau wedang, lanjut Suwarno, hik selanjutnya dikenal juga sebagai wedangan. Keberadaan hik justru menggeser pedagang terikan yang sudah lebih dahulu eksis. Sebab, dengan adanya minuman hangat, jajanan yang dijual di hik lebih lengkap.
Pergeseran hik pikulan tumbu (wadah untuk makanan) menjadi pikulan bakul, kemudian gerobak, kata Suwarno, terjadi sekitar tahun 1970-an. Sosok pencetusnya, lagi-lagi disebut berasal dari Desa Ngerangan, yakni Medi Kidin. Saat itu, Medi terinspirasi penjual jagung rebus yang berjualan dengan gerobak dorong. Selain itu, para penjual hik merasa terlalu lelah berjualan dengan cara dipikul.
”Hik, wedangan, atau angkringan yang dijual pada gerobak dorong ini sekarang lebih dikenal masyarakat luas. Bukan lagi hik pikulan seperti era dulu,” ujar Karso.
Dari pikulan keliling, gerobak dorong, kini kemasan hik kian modern setelah diadopsi dalam bentuk restoran ataupun kafe. Konsep itu dinamai ”cafedhangan” atau gabungan dari kata kafe dan wedangan. Sisi kafe dihadirkan lewat kondisi bangunan yang lebih mirip kafe atau restoran. Namun, menu yang dihidangkan sebagian besar merupakan makanan ataupun wedang yang juga dijajakan pada hik.
Di Surakarta, kafe-kafe yang mengangkat konsep hik dan wedangan mulai muncul sejak 2010-an. Salah satu yang paling kondang yakni Cafe Tiga Tjeret di Jalan Ronggowarsito, Keprabon, yang didirikan pada 2012. Nama itu terinspirasi dari cerek yang biasanya ditemukan pada gerobak-gerobak angkringan. Sama seperti nama kafe itu, biasanya penjual hik mempunyai tiga cerek yang digunakan untuk membuat wedang hangat.
Naik kelas
”Di sini, wedangan sedikit kami naikkan kelasnya. Bangunannya dibuat bagus. Fasilitasnya dilengkapi Wi-Fi sampai live music. Kalau wedangan biasanya duduk di gelaran tikar, ini duduk di kursi-kursi, kurang lebih begitu,” ungkap pengelola Cafe Tiga Tjeret, Bambang Priyono.
Kesan artistik cukup kental di Cafe Tiga Tjeret. Misalnya, meja-meja untuk pelanggan merupakan hasil daur ulang mesin jahit. Terpajang pula papan-papan iklan lawas yang mempercantik tempat tersebut, sekaligus menambah kesan klasik. Tak jarang pengunjung berswafoto di sela-sela menyantap makanan dan minuman.
Bambang meyakini, keberadaan kafenya tidak mematikan warung-warung wedangan di pinggir jalan. Sebab, target pasar mereka berbeda. Wedangan berkonsep kafe cenderung menyasar pembeli kelas menengah ke atas. Untuk itu, menu-menu yang dijual harganya juga lebih mahal.
”Misi lainnya, biar anak-anak muda tidak malu buat jajan di wedangan. Kami mengenalkannya lewat yang bermodel kafe begini. Di sisi lain, wedangan bisa dikenal lebih luas lagi dengan target wisatawan luar kota,” kata Bambang.
Ungkapan Bambang dibuktikan oleh Wedangan Mbah Wiryo di Kelurahan Purwosari, Kecamatan Laweyan. Kendati kafe-kafe berkonsep hik atau wedangan menjamur, Wedangan Mbah Wiryo yang berdiri sejak 1958 itu tak terganggu omzetnya.
Bakdo Mulyono, generasi kedua penerus Wedangan Mbah Wiryo, yang juga berasal dari Klaten, menuturkan, seperti halnya wedangan-wedangan era awal, Mbah Wiryo berdagang dengan cara berkeliling sampai akhirnya menetap di salah satu sudut Jalan Perintis Kemerdekaan.
Yang paling banyak dicari dari Wedangan Mbah Wiryo adalah minuman jahenya. Rasa wedang tersebut manis dan wangi. Kesan pedas yang ditinggalkan tak membuat gatal tenggorokan. Sebaliknya, pedas rempah jahe itu justru menghangatkan tubuh dan melegakan.
”Wedang adalah hal utama dari wedangan. Untuk itu, kami berusaha menjaga konsistensi rasa. Itu yang membuat kami tidak ditinggalkan. Soalnya, masih ada saja pelanggan yang terus datang ke sini sejak zaman bapak (Mbah Wiryo) masih aktif. Jadi, kami yakin akan tetap eksis,” kata Bakdo.
Keberadaan kafe wedangan tidak mematikan warung-warung wedangan di pinggir jalan. Sebab, target pasar mereka berbeda. Wedangan berkonsep kafe cenderung menyasar pembeli kelas menengah ke atas.
Insiwi Febriary Setiasih, sejarawan dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, mengungkapkan, hik atau wedangan adalah bagian peradaban sejarah. Di ruang publik tersebut, kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang tengah terjadi di masyarakat bisa terpotret. Hik atau wedangan hadir sebagai ruang akar rumput untuk mencurahkan keresahan-keresahan terhadap pengalaman hidup.
Adapun sejawaran dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Heri Priyatmoko, berpendapat, fenomena kafe wedangan membuktikan, hik sebagai model wirausaha ”wong cilik” berhasil memikat pemodal untuk menjaring pelanggan menengah ke atas. Stereotip hik atau wedangan menjadi ranah kaum marjinal dengan uang pas-pasan sudah tidak berlaku.
Transformasi hik atau wedangan ke dalam konsep restoran atau kafe bukti bahwa konsep berjualan semacam ini lentur menyesuaikan kebutuhan zaman. Kebersahajaannya adalah komoditas jualan utama yang erat dengan kultur orang Indonesia, nongkrong dan ngobrol.