Soeharso, Perintis Kesetaraan Penyandang Disabilitas dari Surakarta
Langkah seorang dokter yang peduli kepada para korban perang kemerdekaan membawa perubahan. Sejak itu, tak terhitung lagi berapa orang difabel yang dipulihkan dan merengkuh kemandirian menuju kualitas hidup yang baik.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
Jumhari (28), warga asal Kediri, Jawa Timur, duduk mantap di kursinya. Di hadapannya, sebuah kertas coklat muda berukuran besar. Tangan kirinya mengukur garis dengan meteran, tangan kanannya menggenggam pensil. Meski jari-jarinya tidak sempurna, ia mampu membuat garis dengan rapi.
”Ini belajar membuat pola celana kolor. Susah-susah gampang. Tetapi, saya yakin pasti bisa,” kata Jumhari di sela kegiatannya di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Fisik Prof Dr Soeharso, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (30/9/2021).
Soeharso juga mendirikan lembaga yang mengurus penanganan medis bagi para difabel, yakni Lembaga Orthopedi dan Protehese. Kini, lembaga itu menjadi RS Ortopedi Prof Dr R Soeharso Surakarta.
Dia adalah penyandang difabel fisik sejak lahir. Ada kelainan pada jari-jari tangannya sehingga tak bisa menggenggam sempurna. Kakinya juga lumpuh. Ia beraktivitas menggunakan kursi roda sehari-harinya.
Namun, keterbatasan itu bukan batu sandungan bagi Jumhari. Satu pekan terakhir, ia fokus belajar menjahit. Tak sungkan ia bertanya langsung kepada mentornya tentang kesulitan menggambar pola.
Informasi pelatihan keterampilan menjahit ia peroleh dari temannya sesama difabel. Kini, si teman alumnus pelatihan yang sama sudah membuat usaha konveksi sendiri. Keberhasilan itu menginspirasinya mengikuti pelatihan tersebut. Terlebih, pelatihan yang diberikan di lembaga itu terkenal mumpuni.
”Inginnya nanti bisa buka konfeksi juga di rumah. Saya juga pengin membuktikan meskipun ada keterbatasan, saya mampu mandiri,” kata Jumhari, yang sehari-harinya tukang servis dan berjualan ponsel secara daring.
Pelatihan menjahit hanya salah satu dari sejumlah keterampilan lain yang diajarkan di lembaga itu. Keterampilan-keterampilan lainnya meliputi fotografi, otomotif, komputer. Bahkan, apabila ada permintaan tenaga kerja, lembaga itu juga bakal ikut menyalurkan.
Koordinator Bidang Rehabilitasi Sosial dan Bimbingan Lanjut BBRSPDF Prof Dr Soeharso, Tutik Nurning, menyampaikan, sebelum pandemi Covid-19, banyak industri konfeksi meminta suplai tenaga kerja. Setelah disalurkan pun, para difabel binaan tak dilepaskan begitu saja. Pihaknya memantau apakah hak-hak mereka juga dipenuhi.
”Tetapi, selama pandemi Covid-19, kadang-kadang perusahaan meminta tenaga kerja hanya untuk memenuhi kuota saja. Maka, ini harus kami asesmen dulu,” kata Tutik.
BBRSPDF Prof Dr Soeharso resmi berdiri tahun 1951. Pendirinya R Soeharso, dokter ahli bedah asal Boyolali. Lembaga itu semula bernama Rehabilitasi Centrum. Keprihatinan Soeharso pada banyaknya korban perang yang jadi cacat dan depresi menggerakkan hatinya membentuk lembaga tersebut.
Soeharso merintis pusat rehabilitasi sosial bersama koleganya R Soeroso Rekso Pranoto, sejak 1946. Keduanya bereksperimen membuat kaki palsu bagi para korban cacat perang. Hingga kini, lembaga itu masih dikenal keandalannya sebagai pembuat protese.
Seiring waktu, periode 1946-1951, layanan rehabilitasi terus ditambah, mulai bimbingan psikologis, medis, hingga pelatihan keterampilan. Semua untuk difabel korban perang agar mereka kembali merengkuh harapan hidup tak patah arang dengan hambatan fisik.
”Beliau orang visioner. Sejak awal tidak hanya memikirkan soal rehabilitasi, tetapi bagaimana para binaan ini bisa berdaya setelah direhabilitasi,” ujar Tutik.
Rata-rata seorang difabel menjalani rehabilitasi di lembaga itu tiga bulan. Dalam kurun waktu itu, mereka dapat penanganan medis, bimbingan psikologis, dan pelatihan keterampilan.
Rujukan nasional
Seiring berdirinya pusat rehabilitasi, Soeharso juga mendirikan lembaga yang fokus mengurus penanganan medis bagi para difabel, yakni Lembaga Orthopedi dan Protehese. Kini, lembaga itu menjadi RS Ortopedi Prof Dr R Soeharso Surakarta. Puluhan tahun menangani persoalan ortopedi, saat ini rumah sakit itu menjadi rujukan nasional.
Menurut Direktur RS Orthopedi Prof Dr R Soeharso Surakarta, Pamudji Utomo, pengembangan layanan rumah sakit tak boleh jalan di tempat. Justru kondisi itu mendorong sumber daya dari rumah sakit itu agar tak berhenti berinovasi. Salah satunya melakukan berbagai penelitian tentang ortopedi.
”Dalam satu tahun, ada lebih dari 50 karya ilmiah teman-teman dari rumah sakit ini yang dipublikasikan dalam berbagai jurnal internasional. Artinya kami turut memberikan sumbangsih untuk perkembangan ilmu ortopedi, baik nasional maupun internasional,” katanya.
Lebih lanjut, kata Pamudji, ada 20-30 operasi per hari di rumah sakit itu. Operasinya cenderung kesulitan tinggi. Ini berkaitan status rumah sakit sebagai rujukan nasional. Jumlah dokter terus ditambah. Dari 13 orang menjadi 18-20 orang dalam 3-5 tahun mendatang.
Tak hanya soal tentara korban perang yang dipikirkan Soeharso waktu itu. Ia juga perhatian lebih pada anak-anak difabel. Sebab, waktu itu masih banyak penyakit polio pada anak-anak. Kepedulian Soeharso diwujudkan dengan didirikannya Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) pada 1953. Dua tahun setelah pusat rehabilitasi diresmikan.
Di yayasan itu, penyandang difabel memperoleh empat layanan, yakni pendidikan, medis, sosial, dan keterampilan. Pada unit pendidikan, saat ini jenjangnya dimulai dari TK hingga SMA.
Ketua Umum YPAC Surakarta Mardiyanto menjelaskan, lembaga itu punya misi menggali potensi anak-anak difabel. Hendaknya mereka dipandang sebagai realitas yang juga punya bakat dan masa depan. Pelatihan keterampilan yang diberikan semasa sekolah diharapkan membantu anak-anak itu lebih mandiri ke depannya.
”Mereka dibuat sehat badannya dengan penanganan medis. Punya pendidikan baik lewat sekolah. Tetapi, juga terampil dengan pelatihan-pelatihan keterampilan yang ada,” kata Mardiyanto.
Keterampilan yang diberikan, antara lain membatik, pembuatan suvenir, teknologi, dan musik. Total murid di sekolah itu, SD-SMA, saat ini 147 siswa.
Pihak yayasan juga menjalin kerja sama dengan instansi seperti Telkom dan NPC Indonesia. Dengan Telkom, ada pelatihan teknologi informasi. Dengan NPC Indonesia, kerja sama di bidang olahraga. Siswa dengan potensi atlet difabel dipantau bakatnya lewat kerja sama. Beberapa murid dari sekolah itu disebut sempat ditarik untuk berlomba mewakili NPC Indonesia.
Tak bisa dilupakan, berdirinya NPC Indonesia juga diinisiasi Soeharso pada 1962. Tidak mengherankan jika kedua lembaga mempunyai kedekatan. Bahkan, Ketua Umum NPC Senny Marbun juga alumnus dari YPAC Surakarta. Bakatnya sebagai atlet difabel cabang olahraga lempar cakram terpantau Pairan Manurung, salah seorang pendiri Yayasan Pembinaan Olahraga Cacat (YPOC), kini bernama NPC Indonesia.
Heri Priyatmoko, sejarawan asal Kota Surakarta, menyebut Soeharso sebagai pahlawan bagi difabel. Dedikasi dan perhatiannya tak perlu ditanyakan. Itu semua dapat dibuktikan dengan jelas.
Kesetiaan Soeharso mengabdi pada Difabel, jelas Heri, membuat sang dokter diganjar hadiah senilai 3.000 dolar dari Federasi Veteran Sedunia pada 1954. Soeharso juga diangkat sebagi penasihat bidang rehabilitasi cacat oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
”Soeharso tak mau komunitas ini disepelekan dan prestasinya kalah dengan yang sehat fisiknya. Mungkin jalan yang dipilih Soeharso tempo itu dinilai jalan yang aneh dan sulit menjanjikan pundi-pundi uang. Namun, baginya, kerja ini panggilan jiwa yang bermuara pada tumpukan pahala,” kata Heri.