Riwayat Hik, Jejak Perjuangan ”Wong Cilik” dari Pelosok Bayat
Hik meninggalkan jejak etos kerja dan kegigihan orang kampung yang merantau ke kota besar. Tak berlebihan menyebut hik juga sebagai sebuah jejak perjuangan ”wong cilik”.
Dari sebuah kampung pelosok di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, pedagang hik alias wedangan menggurita di jalanan Kota Surakarta. Bagi mereka, hik lebih dari sekadar tempat makan alternatif yang merakyat. Ini soal perjuangan anak desa mengubah nasib di kota besar.
Namanya Karso Jukut atau Karso Dikromo. Ia disebut-sebut sebagai sosok pencetus hik di ”Kota Bengawan”. Asal pemuda itu bukan dari Kota Surakarta. Ia lahir di Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Desa itu berada di sisi selatan Klaten dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lahirnya hik berawal dari keputusan Jukut muda merantau ke Surakarta pada 1930-an. Saat itu, usianya baru 14 tahun. Kondisi perekonomian keluarga yang serba sulit memaksanya keluar kampung halaman.
”Kebetulan, Mbah Jukut ini putra sulung dari empat bersaudara. Waktu itu, ayahnya meninggal dunia. Mau tak mau, ia harus jadi tulang punggung keluarga. Yang ada di pikirannya adalah merantau ke kota biar bisa dapat pekerjaan,” kata Suwarno, penggiat Desa Wisata Ngerangan, saat ditemui di desa tersebut, Senin (21/3/2022).
Perjalanan dari Desa Ngerangan ke Kota Surakarta sejauh 40 kilometer ditempuh Jukut muda dengan berjalan kaki. Sebenarnya, ia juga belum tahu akan bekerja apa sesampainya di kota nanti. Pakaian yang dibawa juga seadanya. Modalnya hanya tekad kuat mencari uang demi menyambung hidup ibu dan adik-adiknya di desa.
Baca juga Geliat Kota Surakarta:
Sesampainya di Surakarta, langkah Jukut muda terhenti di Kelurahan Kerten, Kecamatan Laweyan. Di sana, ia menyaksikan keributan hingga ketakutan. Ia pun berlari, lalu bersembunyi di sebuah pohon besar. Saking takutnya, ia meringkuk di bawah pohon itu.
Berjam-jam bersembunyi, ada seorang pria melintas di tempat Jukut bersembunyi. Pria tersebut bernama Mbah Wono. Ia keheranan dengan posisi Jukut yang meringkuk. Jukut segera diminta berdiri dan ditanya mengapa bisa ketakutan seperti itu. Mbah Wono pun menenangkan Jukut dan menawarinya pekerjaan.
Baca juga: Mereka yang Tak Rela Sejarah Surakarta Terlupa
Pekerjaan awal Jukut ialah membantu Mbah Wono menggarap sawah dan merawat kerbau miliknya. Mbah Wono menilai Jukut sebagai sosok pemuda yang rajin dan terampil. Selanjutnya, Jukut pun ditawari pekerjaan lain.
”Baru belakangan Jukut muda itu tahu, Mbah Wono juga juragan terikan atau penjual nasi terik. Di situ, keterampilan Jukut berjualan terasah. Ternyata, beliau ini kreatif. Dari semula terikan sekadar menjual nasi sayur, ia menambahinya dengan berjualan minuman atau wedang,” kata Suwarno.
Kala itu, Jukut berjualan dengan cara memikul dagangannya dengan dua bakul. Bakul depan tempat meletakkan makanan, sedangkan bakul belakang untuk membawa cerek guna membuat wedang atau minuman hangat. Adapun wedang yang dijual awalnya sebatas kopi, teh, dan jahe.
Angkring dan hik
Jukut tak menyediakan kursi untuk para pelanggannya. Untuk itu, para pelanggan tersebut menyantap hidangan yang disajikan Jukut dengan cara nangkring atau berjongkok. Istilah ”nangkring” selanjutnya lebih akrab didengar dengan nama ”angkringan” yang lazim didengar di Yogyakarta.
Soal ini, sejarawan Surakarta Heri Priyatmoko memaparkan, kata angkringan justru pertama kali muncul di Surakarta dan sudah ada sejak masa kolonial Belanda. Ia mengatakan, dalam artikel koran Djawi Hiswara edisi 28 Januari 1918 yang terbit di Solo, ada salah satu berita seorang maling di Kampung Kauman bersembunyi di angkring. Kata ”angkring” diberi penjelasan sebagai keranjang pikulan untuk mewadahi penganan dan air kopi.
Meski demikian, di Surakarta, konsep jualan semacam ini untuk selanjutnya lebih banyak dikenal sebagai hik. Menurut Suwarno, istilah hik muncul dari cara penjualnya menjajakan dagangan. ”Biasanya, mereka teriak hiiikk turrr. Seperti itu asal mulanya. Untuk akronim, ’hidangan istimewa kampung’, itu baru-baru saja munculnya,” jelasnya.
Ternyata, Jukut tak berhenti berinovasi dengan menyuguhkan wedang di samping makanan merakyat yang dijualnya. Variasi jajanan ditambah juga dengan beragam gorengan dan sate-satean. Inovasi itu membuat dagangannya makin laris manis.
”Cukup sukses berjualan, Mbah Jukut pulang kampung. Dia lalu mengajak sejumlah warga desa untuk merantau bersamanya. Awalnya, mereka ditawari bekerja menjadi anak buah beliau. Lama-lama, mereka bisa membuat wedangan sendiri-sendiri,” tutur Suwarno.
Baca juga: Roda-roda Seni di ”Kota Bengawan” Enggan Berhenti
Salah seorang anak buah Jukut ialah Wiryo Jeman. Ia juga disebut sebagai sosok yang tak kalah kreatif dari Jukut. Dari tangannya, lahir racikan-racikan wedang yang sekarang ada bermacam-macam, terentang dari teh hingga jahe. Ia meninggal tahun lalu.
”Akhirnya, orang-orang desa ini terinspirasi untuk merantau sebagai penjual angkringan ke kota-kota lain. Boleh dibilang, sebagian besar warga di sini hidupnya bersandar dari angkringan. Sampai-sampai ada anekdot, misalnya, sebuah keluarga melahirkan anak laki-laki, anak itu akan langsung dibikinkan gerobak. Ha-ha-ha,” tutur Suwarno yang juga sempat menjadi penjual angkringan di Magelang.
Sampai-sampai ada anekdot, misalnya, sebuah keluarga melahirkan anak laki-laki, anak itu akan langsung dibikinkan gerobak.
Hal tersebut tak dimungkiri Sri (46), warga Desa Ngerangan. Suaminya bekerja menjadi penjual hik di wilayah Surakarta. Pekerjaan tersebut sudah digeluti sang suami sejak masih muda. Dua pekan sekali suaminya pulang kampung dari pekerjaan utama yang menyokong kehidupan mereka.
Lewat gerobak angkringan, keluarga tersebut bisa menyekolahkan kedua putranya hingga mengenyam bangku kuliah. Seorang di antaranya telah menyandang gelar sarjana.
”Ini pencapaian bagi keluarga kami. Apalagi bapak ibunya bukan siapa-siapa. Memang, pencapaiannya bukan harta yang bergelimang. Bisa menyekolahkan sampai tinggi, itu sangat luar biasa buat kami,” tuturnya.
Insiwi Febriary Setiasih, sejarawan Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, mengungkapkan, apa yang dilakukan Jukut merupakan era awal urbanisasi. Ada harapan perbaikan kondisi ekonomi dari hal tersebut. Ini didasari posisi Surakarta yang kala itu menjadi magnet perekonomian bagi daerah-daerah di sekitarnya karena menjadi kota yang cukup modern pada awal abad ke-20.
Indikasi modernitas di kota tersebut, jelas Insiwi, salah satunya dapat dilihat dari keberadaan rel kereta api. Angkutan pribadi, seperti mobil, juga sudah beredar meski baru segelintir orang yang memiliki. Di samping itu, aktivitas perdagangan terjadi cukup intens di kota tersebut dengan hadirnya pasar-pasar besar hingga tempat hiburan seperti Taman Sriwedari.
Baca juga: Wayang Orang Sriwedari, Jejak Tersisa Warisan Kebon Raja
Desa wisata
Semula, cerita soal asal-usul hik hanya menjadi bahan pembicaraan warga di Desa Ngerangan. Banyak warga tahu bahwa pencetusnya adalah Karso Jukut, yang berasal dari desa tersebut. Namun, tak ada warga yang mau menelisik lebih jauh fakta sejarah tersebut.
Baru pada 2018, Suwarno dan Gunadi, warga lain, menelusuri jejak-jejak sejarah yang tersisa. Mereka mewawancarai sejumlah warga sepuh yang usianya lebih dari 80 tahun dan pernah menjadi penjualhik untuk mengungkap kebenaran asal-usul warung merakyat tersebut.
”Ada potensi wisata yang sebenarnya bisa digarap. Nah, aspek sejarah, kami rasa penting dikulik. Sebab, nyatanya, angkringan ini sudah ada di mana-mana. Ini bisa menjadi daya tarik wisata yang nantinya juga mengembangkan perekonomian desa,” kata Suwarno yang juga menjabat sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa Ngerangan.
Setelah mengumpulkan fakta-fakta sejarah, Suwarno pun membuat museum angkringan bersama warga desa lain secara swadaya. Museumnya sangat sederhana, memanfaatkan rumah warga yang tak terpakai. Di dalam museum dipaparkan infografis soal perjalanan angkringan atau hik dari waktu ke waktu. Ditampilkan pula angkringan pikul sebagai generasi awal hingga berganti menjadi gerobak dorong. Sejumlah perguruan tinggi ikut membantu warga pembuatan museum yang berdiri tahun 2020 itu.
Fakta sejarah sebagai desa cikal bakal hik dan angkringan dikuatkan dengan peresmian ”Monumen Angkringan” di Desa Negerangan, Februari 2020. Monumen itu berbentuk angkringan pikul. Peresmiannya dilakukan Bupati Klaten Sri Mulyani. Pemerintah desa juga mengusulkan Desa Ngerangan menjadi desa wisata. Ketetapan sebagai desa wisata diperoleh akhir 2020.
Pada 2021, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga menetapkan angkringan atau hik sebagai warisan budaya tak benda. Sebenarnya, penetapan tersebut bisa dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata tambahan. Lebih-lebih dalam deskripsinya disebutkan sosok Karso Jukut berasal dari Desa Ngerangan.
”Sayangnya, mulai Maret 2020 terjadi pandemi Covid-19. Pengembangan desa wisata terhambat,” kata Kepala Urusan Keuangan Desa Ngerangan Muchsin DN.
Baca juga: Keroncongan ”di Rumah Saja” ala Surakarta
Selama pandemi, hal-hal yang sudah disiapkan, antara lain, atraksi tambahan. Ada kampung dolanan, kampung seni budaya, hingga homestay yang memanfaatkan rumah-rumah warga untuk menampung wisatawan.
”Cita-cita besarnya, kami ingin punya sekolah angkringan. Ini sedang dimatangkan konsepnya. Jadi, nanti kalau ada orang yang mau belajar segala hal soal angkringan, ya, di desa ini, sebagai tempat lahirnya sang pionir angkringan,” kata Muchsin.
Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata Klaten Sri Nugroho mengapresiasi inisiatif warga menggali sejarah desanya sebagai cikal bakal lahirnya angkringan. Langkah tersebut diyakini semakin menggeliatkan pariwisata berbasis desa.
Mengenal perjuangan Karso Jukut dari Bayat, terlalu remeh jika mendudukkan hik atau angkringan dari unsur wedang atau nasi bungkusnya saja. Ada hal-hal soal etos kerja dan kegigihan yang dibawa bersama warisan sejarah berupa warung rakyat tersebut. Tak berlebihan menyebut hik juga sebagai sebuah jejak perjuangan ”wong cilik”.