Alarm Peringatan dari Kasus Anak Balita Perokok di Gunungkidul
Berawal dari memungut puntung rokok di sekitar rumah, anak balita di Gunungkidul, DI Yogyakarta, terbiasa merokok. Ia diduga mencontoh lingkungan sekitar. Kasus ini jadi alarm peringatan bahaya merokok bagi bocah.
Berawal dari memungut puntung rokok di sekitar rumahnya, seorang anak balita di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi terbiasa merokok. Anak berusia tiga tahun itu juga kerap mengamuk saat tak diberi rokok. Kasus ini menjadi alarm peringatan bahaya rokok bagi anak-anak, sekaligus sinyal memperkuat upaya perlindungan anak dari paparan rokok.
Sebuah mobil berhenti di halaman Gedung Poliklinik Terpadu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wonosari, Gunungkidul, Rabu (23/3/2022) siang. Dari dalam mobil itu keluar sejumlah petugas Dinas Kesehatan Gunungkidul. Para petugas itu sedang mendampingi satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak berusia tiga tahun.
Sang anak yang berinisial DS itu tampak ceria dan aktif. Begitu turun dari mobil, dia berlari-lari dan berteriak-teriak seperti anak balita pada umumnya. Melihatnya sepintas, mungkin tak ada yang menyangka anak itu sedang mengalami masalah karena diduga kecanduan merokok. Masalah itu yang membuat DS dibawa ke RSUD Wonosari untuk menjalani pemeriksaan.
Begitu sampai, DS langsung dibawa masuk ke Gedung Poliklinik Terpadu RSUD Wonosari untuk diperiksa psikiater. Seusai pemeriksaan oleh psikiater, DS dibawa ke ruangan lain untuk menjalani pemeriksaan lain. Selama pemeriksaaan, ayah dan ibunda DS terus mendampingi anaknya. Keluarga itu baru meninggalkan RSUD Wonosari sekitar empat jam setelah tiba.
Baca juga: Konsumsi Rokok Tak Terdampak Pandemi
Saat ditemui wartawan di RSUD Wonosari pada Rabu siang, ayah dan ibunda DS enggan diwawancarai. Adapun saat diwawancarai sejumlah media sehari sebelumnya, ibunda DS, Lisda (35), mengatakan, anaknya itu mulai mengonsumsi rokok sejak tiga bulan lalu. Mulanya, DS memunguti puntung rokok di sekitar rumah, lalu mengisapnya.
Setelah itu, DS mulai meminta rokok utuh untuk diisap. Bahkan, setiap sang ayah pulang kerja, anak itu sering merengek meminta rokok. ”Sudah tiga bulan terakhir mengonsumsi rokok dan setiap bapaknya pulang kerja selalu merengek,” kata Lisda, dikutip dari Kompas.com, Selasa (22/3/2022).
Baca juga: Harga Terus Naik, Konsumsi Rokok Tetap Tinggi
Menurut Lisda, DS minimal mengisap satu batang rokok dalam sehari. Rokok yang disukainya adalah rokok filter. Anak itu biasanya meminta rokok menjelang waktu shalat Maghrib. Jika permintaan itu tak dikabulkan, Lisda menyebut, sang anak akan mengamuk. Perilaku inilah yang membuat DS diduga kecanduan merokok.
Sejumlah upaya pun dilakukan Lisda dan suaminya untuk menghentikan kebiasaan merokok sang anak, misalnya menyembunyikan korek api. Selain itu, sang ayah juga tak lagi merokok di rumah. Namun, upaya-upaya itu ternyata belum berhasil menghentikan kebiasaan DS merokok.
Setelah informasi mengenai DS tersebar, sejumlah instansi di Gunungkidul pun turun tangan untuk membantu. Selain Dinas Kesehatan Gunungkidul, instansi lain yang terlibat adalah Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Gunungkidul.
Kepala Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Gunungkidul Asti Wijayanti mengatakan, pihaknya telah mengirim tim untuk mendatangi rumah DS guna melakukan asesmen atau penilaian terhadap kondisi sang anak dan keluarga.
”Setelah mendapat laporan dari masyarakat kalau ada anak umur tiga tahun sudah kecanduan rokok, tim kami bersama-sama puskesmas setempat langsung mendatangi keluarga yang bersangkutan. Sudah kami lakukan asesmen terhadap si anak dan kedua orangtuanya,” ujar Asti.
Berdasarkan informasi yang diterima, DS mulai merokok setelah melihat kebiasaan dari orang-orang sekitarnya, termasuk sang ayah.
Mencontoh lingkungan
Asti mengatakan, berdasarkan informasi yang diterimanya, DS mulai merokok setelah melihat kebiasaan orang-orang sekitarnya, termasuk sang ayah. ”Anak itu sebetulnya awalnya hanya meniru bapaknya. Bapaknya, kan, perokok,” katanya.
Faktor lain yang berpengaruh adalah lokasi rumah DS yang berada di dekat pos ronda. Di pos ronda itu kerap berkumpul orang-orang yang merokok. Menurut Asti, anak tersebut sebetulnya hanya melihat contoh dari lingkungannya.
”Kebetulan rumahnya dekat pos ronda. Orang-orang di pos ronda, kan, kebanyakan merokok dan mereka membuang bekas rokok sembarangan di halaman yang menjadi satu dengan rumah anak tersebut,” ungkap Asti.
Baca juga: Perokok Anak Meningkat, Batasi Akses dan Paparan Iklan Rokok
Asti menambahkan, awalnya DS hanya memungut puntung rokok di sekitar rumahnya. Setelah itu, DS mencoba menyalakan puntung rokok yang dipungut. ”Ketika ketemu puntung rokok, dia ambil dan pengen menyalakan. Ketika dinyalakan, awalnya juga tidak dirokok, tapi hanya dibaui. Setelah itu, si anak kemudian meniru orang sekitarnya dengan mencoba mengisap rokok,” tuturnya.
Menurut Asti, orangtua DS kesulitan menangani saat sang anak meminta rokok. Sebab, ketika permintaan itu tak dipenuhi, DS akan mengamuk. ”Daripada mengamuk, orangtuanya akhirnya membelikan rokok. Ini terjadi berkali-kali,” paparnya.
Oleh karena itu, Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Gunungkidul akan menugaskan psikolog untuk mendampingi orangtua DS. Psikolog itu akan mengedukasi orangtua DS agar bisa melakukan penanganan saat sang anak meminta rokok. Dengan begitu, orangtua tak perlu memberikan rokok saat DS meminta.
Asti juga menyebut, biaya pemeriksaan kesehatan DS ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Oleh karena itu, orangtua DS tidak perlu mengeluarkan biaya untuk pemeriksaan anaknya. ”Sebelumnya, kan, orangtuanya khawatir karena merasa tidak punya biaya sehingga takut memeriksakan anaknya ke puskesmas,” ujarnya.
Sementara itu, psikiater RSUD Wonosari, Ida Rochmawati, mengatakan, dirinya telah memeriksa DS untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang membuat anak itu memiliki kebiasaan merokok. Pemeriksaan itu untuk mengidentifikasi apakah masalah tersebut berkaitan dengan faktor psikologi atau juga berkaitan dengan faktor fisik.
”Kami juga sudah melakukan wawancara kepada kedua orangtuanya untuk menanyakan kronologi sampai anak tersebut diduga kecanduan rokok,” ujar Ida.
Baca juga: Tembakau, Covid-19, dan Hak Anak untuk Sehat
Menurut Ida, tim RSUD Wonosari belum bisa menyimpulkan apakah DS sudah mengalami kecanduan merokok atau belum. ”Kami belum bisa mengatakan dia seorang pencandu kalau tidak memenuhi kriteria diagnosis kecanduan. Kecanduan itu, kan, ada definisinya sendiri,” tuturnya.
Ida menambahkan, untuk melakukan penanganan secara komprehensif, RSUD Wonosari membentuk tim yang terdiri dari dokter jiwa, dokter anak, psikolog, dan ahli gizi. Selain itu, DS juga menjalani pemeriksaan laboratorium dan rontgen. ”Memang kami ada dugaan ke arah diagnosis tertentu, tetapi diagnosis itu belum tegak dan kami belum bisa menyampaikan,” katanya.
Bukan pertama
Ketua Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, Yayi Suryo Prabandari mengatakan, perilaku anak biasanya memang meniru perilaku orang lain yang dilihatnya. Hal ini karena fungsi kognitif anak belum optimal sehingga dia meniru apa yang dilihat.
”Mungkin anak itu melihat orang lain merokok, kok, enak. Apalagi, usia dua sampai tiga tahun itu anak-anak masih mudah ingin tahu,” kata Yayi.
Yayi menilai, masalah yang dialami DS muncul karena dia melihat orang-orang di sekitarnya yang merokok. Dia juga menyebut, ada zat tertentu di dalam rokok yang bisa menyebabkan rasa nyaman pada orang yang mengisapnya. Namun, rokok juga menyebabkan adiksi atau kecanduan. ”Anak di bawah 15 tahun saja adiksinya cepat, apalagi ini di bawah 5 tahun,” tuturnya.
Oleh karena itu, kasus yang menimpa DS di Gunungkidul tersebut harus menjadi peringatan bagi semua pihak mengenai bahaya rokok bagi anak-anak. Apalagi, DS bukanlah anak balita pertama yang terbiasa merokok.
Baca juga: Kasus Balita Pecandu Rokok Jadi Peringatan
Pada 2018, misalnya, seorang anak usia 2,5 tahun di Sukabumi, Jawa Barat, kecanduan merokok. Saat itu, sang balita bisa menghabiskan dua bungkus rokok atau 40 batang rokok dalam sehari. Kasus anak balita kecanduan merokok juga pernah ditemukan di Palembang, Sumatera Selatan, pada 2012 dan Sukabumi tahun 2010 (Kompas.id, 21/8/2018).
Selain itu, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, jumlah anak umur 10-18 tahun yang merokok ternyata mengalami kenaikan. Pada 2013, prevalensi anak 10-18 tahun yang merokok 7,2 persen. Prevalensi itu meningkat menjadi 9,1 persen pada 2018 atau jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 yang sebesar 5,4 persen.
Yayi menyatakan, secara umum, upaya pengendalian rokok di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain. Salah satu contohnya, rokok masih mudah dibeli dan didapatkan oleh anak-anak usia 18 tahun ke bawah. Di minimarket, produk rokok juga kerap dipajang di tempat yang mudah dilihat anak-anak. Selain itu, banyak orang dewasa yang merokok di depan anak-anak. ”Di Indonesia, aksesnya mudah sekali untuk anak-anak bisa merokok,” ungkap Yayi.
Berkaca dari kasus DS, dan sejumlah bocah sebelumnya, sudah saatnya memperkuat perlindungan bagi anak-anak dari paparan rokok. Semua dimulai dari lingkungan terdekat. Harapannya, tak ada lagi anak-anak terbiasa merokok sejak belia, bahkan bocah.