Perokok Anak Meningkat, Batasi Akses dan Paparan Iklan Rokok
Biaya kesehatan untuk penanganan penyakit akibat merokok mencapai sekitar Rp 17 triliun per tahun. Karena itu, pengendalian produk tembakau, terutama pada anak, harus diperkuat.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah perokok anak di Indonesia meningkat dan berusia semakin muda. Karena itu, akses membeli dan paparan iklan rokok harus dibatasi. Harga rokok yang masih tergolong murah juga menjadi tantangan pengendalian tembakau di Tanah Air.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun mencapai 9,1 persen. Jumlah itu meningkat dibandingkan 2013 dengan 7,2 persen.
”Indonesia berkomitmen mengurangi prevalensinya menjadi 8,7 persen pada 2024,” ujarnya dalam webinar Indonesia Tobacco Control Strategic Roundtable di Jakarta, Rabu (2/3/2022).
Budi menuturkan, upaya pengendalian tembakau yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Pihaknya mendukung kenaikan tarif cukai rokok, penyederhanaan struktur cukai hasil rokok, pembesaran peringatan bergambar di kemasan rokok, serta pelarangan iklan dan promosi industri rokok.
Menurut Budi, pemanfaatan dana bagi hasil cukai hasil tembakau dan pajak rokok sebaiknya disalurkan ke daerah untuk membantu pembangunan kesehatan masyarakat. Pihaknya mendorong pemerintah daerah menyediakan layanan berhenti merokok dan memperbanyak kawasan tanpa rokok di tempat umum.
”Menjadi tugas bersama menciptakan budaya hidup sehat tanpa rokok. Hal itu menjadi komitmen dalam pengendalian konsumsi tembakau. Mari akhiri epidemi rokok untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan mewujudkan generasi sehat Indonesia,” katanya.
Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Pungkas Bahjuri Ali menambahkan, sejauh ini akses anak mendapatkan rokok sangat mudah. Harga rokok pun relatif terjangkau dan dapat dibeli eceran.
”Anak-anak juga terpapar iklan rokok sehingga menjadi satu dorongan untuk merokok. Mereka bisa membeli di pedagang kaki lima atau kios,” ujarnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, harga rokok di Indonesia masih tergolong murah dan jauh dari rata-rata dunia. Rata-rata harga rokok dunia mencapai 4 dollar AS (Rp 55.000) per bungkus, sedangkan di Indonesia rata-rata masih 2,1 dollar AS (Rp 29.000). Harga rokok di Indonesia bahkan sepuluh kali lebih murah dibandingkan Australia yang mencapai 21 dollar AS (Rp 298.000) atau termahal di dunia (Kompas, 30/12/2021).
Pungkas menyebutkan, proporsi usia pertama kali merokok pada penduduk berumur 10 tahun ke atas juga semakin muda. Pada 2013, perokok yang memulai merokok di usia 10-14 tahun sebesar 17,3 persen dan usia 15-19 tahun 56 persen.
Namun, pada 2018, proporsinya menjadi 23,1 persen pada usia 10-14 tahun dan 52,1 persen usia 15-19 tahun. ”Hal ini menjadi salah satu dasar mengapa dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024) ditargetkan menurunkan prevalensi perokok anak. Sebab, kalau (perokok) anak sudah tinggi, perilakunya akan terus terbawa sampai dewasa,” katanya.
Iklan rokok yang semakin kreatif dan mudah ditemukan juga menjadi salah satu pemicu tingginya perokok anak. Hal ini menjadi tanggung jawab lintas sektor untuk menghindarkan anak dari paparan iklan itu.
Koordinator Hukum dan Kerja Sama Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Josua Sitompul, mengatakan, perkembangan teknologi membuat iklan rokok semakin kreatif, implisit, dan aksesibel. Promosi rokok juga kerap melibatkan figur publik seperti aktor, aktris, serta pemengaruh atau influencer.
”Berbagai target dari iklan rokok tidak hanya pria, tetapi juga perempuan, anak, dan paruh baya. Dari waktu ke waktu sudah ada upaya melarang, baik secara nasional maupun global. Iklan rokok ini seperti rumput, semakin dibabat semakin merambat,” jelasnya.
Ketua Umum Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia (Adinkes) Mohamad Subuh mengatakan, peningkatan jumlah perokok akan berdampak terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam setahun, dibutuhkan biaya kesehatan sekitar Rp 17 triliun per tahun untuk menangani penyakit akibat merokok, seperti jantung, kanker paru, dan hipertensi.
”Ini menjadi pelajaran untuk dapat mengendalikan rokok dengan baik. Kampanye pengendalian tembakau harus digalakkan dan menjadi prioritas di semua daerah,” ujarnya.