JAKARTA, KOMPAS — Berulangnya kasus balita kecanduan rokok semestinya menjadi peringatan bagi pemerintah. Kasus ini terjadi karena negara dianggap belum optimal memberikan perlindungan kepada anak terkait bahaya rokok. Tuntutan pelarangan iklan rokok secara total dan penerapan kawasan bebas sesuai nawacita presiden terus disuarakan.
Baru-baru ini, seorang anak usia dua setengah tahun di Sukabumi, Jawa Barat dilaporkan mengalami kecanduan rokok berat. Kecanduan ini telah dialaminya selama satu setengah bulan terakhir. Dalam sehari, dia bisa menghabiskan dua bungkus rokok (40 batang). Kondisi ini dikhawatirkan akan mengganggu kesehatan dan tumbuh-kembang si anak.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengatakan, kasus di Sukabumi hanya satu dari banyak kasus yang tidak muncul ke permukaan. Kasus ini juga terus mengalami pengulangan. Kasus anak kecanduan rokok pernah terjadi di Palembang, Sumatera Selatan (2012) dan Sukabumi (2010).
Menurut Jasra, isu soal Indonesia darurat rokok terus dibahas dalam lima tahun terakhir. Namun, pemangku kebijakan dinilai masih kurang peduli dan menganggap kondisi saat ini masih wajar. Padahal banyak data yang menunjukkan bahaya rokok jangka pendek ataupun jangka panjang sangat luar biasa.
“Kata-kata sudah habis untuk menggambarkan situasi darurat yang dialami anak-anak kita. Sebagian besar stakeholder masih menganggap hal ini biasa saja. Jadi bentuk darurat seperti apa yang semestinya digambarkan agar negara bisa hadir di sini melindungi anak Indonesia?” kata Jasra dalam konferensi pers di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Senin (20/8/2018).
KPAI terus mendorong pemerintah untuk mengesahkan rancangan undang-undang tentang pelarangan total iklan rokok yang saat ini masih mangkrak. Iklan rokok disebut sebagai salah satu faktor pendorong anak muda untuk merokok.
“Iklan tersebut menyesatkan bahwa merokok itu macho dan membuat seseorang berprestasi. Iklan-iklan itu terus diproduksi dan menyasar kaum muda sebagai pasar potensial yang jumlah saat ini mencapai 87 juta jiwa,” ujarnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) terhadap pelajar usia 12-18 tahun di Kota Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Banten, dan Semarang pada 2017, sebanyak 18,56 persen merupakan perokok. Sebanyak 14 persen responden mengenal rokok dari iklan dan 68,91 persen mengaku terpengaruh mencoba rokok setelah melihat iklan.
Sebagian besar responden mulai merokok pada usia 14 sebanyak 22 persen dan 15 tahun sebanyak 20 persen. Ada pula responden yang mulai merokok pada usia 7-9 tahun dengan total 8 persen.
Mengancam masa depan
Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah Hafizh Syafa\'aturrahman mengaku khawatir dengan kasus di Sukabumi tersebut. Kecanduan di usia yang masih sangat muda berisiko terhadap masa depan si anak.
“Regulasi di Indonesia belum berpihak ke generasi muda. Kami mendorong pelarangan iklan rokok secara total dan penerapan kawasan tanpa rokok,” ujarnya.
Regulasi di Indonesia belum berpihak ke generasi muda. Kami mendorong pelarangan iklan rokok secara total dan penerapan kawasan tanpa rokok.
Dewan Penasehat Indonesia Institute for Social Development (IISD) Sudibyo Markus mendukung tututan tersebut. Pelaksanaan kedua kebijakan ini memang tidak menjamin persoalan rokok langsung selesai. “Namun, itu menjadi syarat utama untuk melindungi generasi muda dari ancaman bahaya rokok,” ujarnya.
Jasra menambahkan, pembatasan akses terhadap rokok dan edukasi kepada anak, orang tua, dan lingkungan perlu terus digalakkan. Saat ini, anak-anak masih mudah mendapatkan rokok karena dijual secara bebas dengan harga yang murah.
Kesadaran orang tua dan lingkungan terkait bahaya rokok, terutama bagi anak-anak, juga perlu ditingkatkan. Selain iklan, ketertarikan anak untuk merokok dipengaruhi pula oleh kebiasaan orang tua dan orang-orang di lingkungan yang merokok di sekitar anak-anak.
Rehabilitasi
Terkait kasus balita kecanduan rokok di Sukabumi, Jasra mengatakan, pihak KPAI telah berkoordinasi dengan Kementerian Sosial untuk melakukan pendampingan. Anak tersebut harus direhabilitasi dan diobati.
Jasra mengakui, butuh waktu panjang untuk merehabilitasi anak yang telah kecanduan. Pada kasus di Sumatera Selatan, butuh waktu enam hingga tujuh tahun untuk melepaskan sang anak dari kecanduan.
“Kita akan terus awasi sampai anak ini lepas dari zat adiktif tersebut dan dia bias tumbuh dan berkembang secara baik. Ini pembelajaran penting bagi kita, terutama orang tua dan pemerintah bahwa bahaya rokok tidak bisa dianggap sepele,” ujarnya. (YOLA SASTRA).