Disorot, Tidak Ditahannya Terdakwa Kekerasan Seksual di Sekolah Selamat Pagi Kota Batu
Tidak ditahannya terdakwa pada kasus dugaan kekerasan seksual di Sekolah Selamat Pagi Indonesia terus disorot. Komnas Perlindungan Anak memohon Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung memberikan atensi dalam kasus tersebut.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·5 menit baca
MALANG, KOMPAS — Persidangan kasus dugaan kekerasan seksual di Sekolah Selamat Pagi Indonesia di Kota Batu, Jawa Timur, terus bergulir. Tidak ditahannya terdakwa dalam kasus tersebut terus disoroti oleh Komnas Perlindungan Anak. Komnas PA memohon Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung memberikan atensi dalam kasus tersebut.
Rabu (23/3/2022), sidang lanjutan kasus dugaan kekerasan seksual di Sekolah Selamat Pagi Indonesia di Kota Batu beragendakan pemeriksaan dua saksi. Kedua saksi adalah teman korban. Persidangan digelar di Pengadilan Negeri Malang.
”Hari ini agendanya memeriksa dua saksi yang merupakan teman korban. Sidang akan dilanjutkan minggu depan, masih dengan agenda pemanggilan saksi,” kata jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Kota Batu, Maharani, seusai sidang. Maharani enggan menjelaskan lebih jauh soal materi sidang karena sidang tersebut berlangsung tertutup. Sidang akan kembali dilanjutkan pekan depan.
Tidak ditahannya tersangka dalam kasus dugaan kekerasan seksual di Sekolah Selamat Pagi Indonesia di Kota Batu, Jawa Timur, terus disorot oleh Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA). Rabu (23/3/2022), sidang kasus ini kembali dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi. Sidang digelar tertutup. Tampak salah seorang saksi (kanan) seusai dimintai keterangan.
Persidangan pada hari itu sempat dihentikan sementara selama lebih kurang 15 menit saat Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait mempertanyakan secara langsung kepada majelis hakim kenapa terdakwa dalam kasus tersebut, yaitu JE, pendiri Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI), tidak juga ditahan.
”Saya menanyakan langsung ke hakim, kenapa JE tidak juga ditahan. Oleh hakim, pertanyaan itu dijawab bahwa penahanan merupakan kewenangan majelis hakim,” kata Arist. Menurut Arist, hal itu cukup aneh mengingat ancaman hukuman kepada terdakwa lebih dari 5 tahun.
Dalam kasus pelecehan seksual serupa dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun, misalnya kasus Herry Wirawan di Bandung, Jawa Barat, menurut Arist, pelaku langsung ditahan. ”Kenapa hingga saat ini terdakwa dalam kasus ini tidak juga ditahan. Ada apa?,” katanya.
Setelah mendapat jawaban langsung dari majelis hakim, Arist mengaku kurang puas dan akan tetap berusaha agar keadilan bagi korban, dengan menahan terdakwa, bisa terealisasi. ”Kami sudah mengirim surat ke Komisi Yudisial untuk memberikan atensi terhadap proses persidangan ini. Termasuk mempertanyakan kenapa terdakwa yang sudah dinyatakan melanggar dakwaan Pasal 81 dan 82 dari UU No 17 Tahun 2016 tidak ditahan. Kami tanya kepada KY,” kata Arist.
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Tidak ditahannya tersangka dalam kasus dugaan kekerasan seksual di Sekolah Selamat Pagi Indonesia di Kota Batu, Jawa Timur, terus disorot oleh Komnas PA. Rabu (23/3/2022), sidang kasus ini kembali dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi. Sidang digelar tertutup. Tampak terdakwa JE (kiri) berjalan menuju ruang sidang.
Selain menyurati KY, Arist juga bertanya kepada Mahkamah Agung (MA) terkait hal itu. ”Saya juga menulis surat ke MA, mempertanyakan yang sama, apakah mereka punya pandangan hukum yang sama, mulai dari MA, KY, sampai ke ketua pengadilan di Malang ini. Ini saya kira upaya hukum yang masih bisa kami lakukan. Agar sidang ini berjalan fair. Bagaimana akan fair kalau terdakwa seperti JE ini tidak ditahan. Ini bukan pendapat pribadi saya, tapi ini hukum acara kita,” katanya.
Juru bicara Pengadilan Negeri Malang untuk kasus tersebut, Mohammad Indarto, sebelumnya mengatakan bahwa persoalan penahanan tersangka merupakan kewenangan penuh majelis hakim.
Pada kasus ini, terdakwa JE didakwa dengan empat pasal alternatif, yaitu Pasal 81 Ayat (1) juncto Pasal 76d Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 17 Tahun 2016 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP, Pasal 81 Ayat (2) UU Perlindungan Anak juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP, Pasal 82 Ayat (1) juncto Pasal 76e UU Perlindungan Anak juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP, dan Pasal 294 Ayat (2) ke-2 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Ancaman hukumannya berkisar 3-15 tahun penjara. JE didakwa melakukan kekerasan seksual kepada anak didiknya yang berinisial SDS.
Selain itu, Komnas PA juga menyoroti upaya kuasa hukum terdakwa yang dinilai lebih menyudutkan sosok/personal korban ketimbang kasusnya. Ia berharap persidangan kasus akan lebih fokus pada materi dugaan pelecehan seksualnya.
”Korban dikonstruksi sebagai perempuan nakal, jahat, dan pengkhianat. Itu diarahkan ke sana, mulai proses praperadilan, termasuk ke saksi ahli. Sampai hari ini. Tidak mengarah pada substansi kejahatan seksualnya, tetapi dianggap saksi pelapor adalah perempuan nakal, jahat, dan pengkhianat. Itu dikonstruksi. Sekarang ini mau dikonstruksi lagi, siapa dalang laporan ini. Jangan begitu. Belalah klien sesuai kondisinya, jangan merendahkan martabat manusia,” kata Arist.
Upaya menyudutkan korban tersebut, menurut dia, tampak dari pertanyaan-pertanyaan di persidangan (saat Arist hadir dalam sidang). Arist menyebutkan, pertanyaan yang disampaikan oleh kuasa hukum JE cenderung lebih memojokkan personal korban, yang dinilai tidak ada hubungannya dengan kasus.
Adapun kuasa hukum terdakwa, Jeffrey Simatupang dan Filipus Sitepu, mengatakan bahwa hingga pemeriksaan beberapa saksi, pihaknya tetap tidak menemukan fakta terkait tuduhan yang ditujukan kepada kliennya. ”Sampai hari ini tidak ada satu pun fakta yang mengarah bahwa klien kami bersalah. Bahwa keterangan saksi tidak bersesuaian. Untuk hari ini, keterangan antara saksi satu dan saksi lainnya tidak berkesesuaian. Misalnya, saksi satu bicara ada di sana, tapi saksi lain mengatakan tidak,” kata Jeffrey.
Filipus menambahkan, ia juga mempertanyakan kepada korban kenapa keterangannya berbeda dengan para saksi. ”Kepada korban kami juga ingin mempertanyakan. Kok, bisa korban menerangkan yang tidak berkesesuaian dengan keterangan saksi lain?” katanya.
Tidak ditahannya tersangka dalam kasus dugaan kekerasan seksual di Sekolah Selamat Pagi Indonesia di Kota Batu, Jawa Timur, terus disorot oleh Komnas PA. Rabu (23/3/2022), sidang kasus ini kembali dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi. Sidang digelar tertutup.
Ia juga menolak mengomentari tuduhan Komnas PA terkait upaya kuasa hukum menyudutkan korban. ”Coba ditanyakan ke Komnas PA, pertanyaan mana yang menyudutkan. Saya tidak tahu pertanyaan itu karena ini sidang tertutup. Kami menghormati persidangan,” kata Filipus.
Kasus ini bermula saat JE, pendiri Sekolah Selamat Pagi Indonesia, Kota Batu, dilaporkan telah melecehkan belasan siswi di sana. Laporan ke Kepolisian Daerah Jawa Timur terkait kasus itu terjadi pada Mei 2021. Saat itu, belasan orang tersebut didampingi Komnas PA melaporkan JE sebagai pelaku kekerasan seksual. Namun, pada surat dakwaan akhirnya disebut hanya ada seorang korban, yaitu SDS. Sementara pelapor lain menjadi saksi.
Selama ini, Sekolah Selamat Pagi Indonesia dikenal sebagai sekolah gratis untuk anak-anak kurang mampu dan anak yatim yang berasal dari berbagai pelosok Tanah Air. Sekolah berkonsep alam tersebut sebelumnya diapresiasi karena mengedepankan keberagaman.