Komnas HAM: Perbudakan Juga Terjadi di Panti Rehab Bupati Langkat Nonaktif
Komnas HAM menyimpulkan praktik perbudakan terjadi di panti rehabilitasi narkoba ilegal di rumah Bupati Langkat nonaktif. Selain kasus penyiksaan yang menyebabkan tiga penghuni meninggal, perbudakan juga harus diproses.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyimpulkan bahwa praktik serupa perbudakan juga terjadi di panti rehabilitasi narkoba ilegal di rumah pribadi Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin-Angin. Selain kasus penyiksaan yang menyebabkan sedikitnya tiga penghuni meninggal, kasus perbudakan juga harus diproses.
”Penghuni panti rehab dipaksa bekerja di pabrik dan kebun kelapa sawit milik Terbit. Kalau mereka tidak mau bekerja, akan disiksa dan mendapat tindakan kejam. Penghuni dipekerjakan dengan tidak punya pilihan atas dirinya sendiri. Ini kami simpulkan sebagai praktik serupa perbudakan,” kata Komisioner Penyelidikan Komnas HAM M Choirul Anam, Sabtu (5/3/2022).
Anam mengatakan, ada dua unsur penting yang mereka temukan dalam praktik serupa perbudakan itu. Pertama, penghuni panti tidak memiliki kemerdekaan terhadap dirinya sendiri untuk bekerja atau tidak. Kedua, ada kontrol dari orang lain yang mengharuskan penghuni panti bekerja. Kalau tidak dilakukan sesuai perintah, akan dipukul dan disiksa.
Disebutkan, para penghuni panti tidak diberikan upah yang layak, hanya diberikan makanan tambahan. Mereka dipekerjakan dalam relasi perbudakan dengan nuansa kerja paksa. ”Ini masalah serius, apalagi menyangkut industri sawit yang merupakan bagian dari rantai pasok pasar dunia,” ujarnya.
Sebelumnya, Komnas HAM juga sudah menyimpulkan bahwa terjadi penyiksaan terhadap penghuni panti rehab. Komisi ini juga menemukan 26 bentuk penyiksaan, seperti mengurung penghuni di kereng mirip penjara, mencabut kuku, dan memukul tulang kaki dengan martil.
Kekerasan juga dilakukan dengan memukul tulang rusuk dan kepala, dipaksa memakan cabai dan menyemprotkan ke penghuni lain, hingga membuat gatal dengan ulat bulu dan daun jelatang.
Penyiksaan dilakukan dengan 18 alat, seperti martil, tang, pisau, cabai, kolam, dan kandang berisi anjing. Selain tiga orang yang sudah disimpulkan meninggal karena penyiksaan, masih ada tiga lainnya yang diduga kuat meninggal karena penyiksaan. Komisi menyebut, sedikitnya 19 orang bertanggung jawab atas penyiksaan itu, termasuk Terbit, oknum polisi, oknum TNI, dan anggota organisasi kepemudaan.
Ini masalah serius, apalagi menyangkut industri sawit yang merupakan bagian dari rantai pasok pasar dunia.
Penyelidikan dugaan pelanggaran HAM itu dilakukan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dua ruangan mirip penjara saat menggeledah rumah pribadi Terbit dalam operasi tangkap tangan kasus korupsi, Rabu (19/1/2022). Saat ditemukan, ruangan itu dihuni 57 orang. Sedikitnya 656 orang tercatat pernah menghuni kereng itu sejak 2010.
Naik ke penyidikan
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Sumut Komisaris Besar Hadi Wahyudi mengatakan, mereka sudah menaikkan kasus itu ke penyidikan. Namun, belum ada penetapan tersangka dalam kasus itu.
”Penyidik akan segera menetapkan tersangka terhadap siapa saja yang terlibat dan harus bertanggung jawab atas kasus penyiksaan yang menyebabkan meninggal itu,” kata Hadi.
Dikatakan, penyidik sudah mempunyai alat bukti yang cukup kuat terhadap kasus tersebut. Mereka sudah memeriksa sedikitnya 70 saksi. Polisi juga membongkar dua makam dan melakukan otopsi terhadap penghuni yang meninggal pada 2019 dan 2021. Kepolisian juga menyelidiki dugaan keterlibatan oknum anggota polisi dalam penyiksaan itu, sebagaimana disampaikan Komnas HAM.
Secara terpisah, dalam keterangan tertulisnya, Kepala Penerangan Pusat Polisi Militer TNI Angkatan Darat Letnan Kolonel (Cpm) Agus Subur Mudjiono mengatakan, pihaknya juga menyelidiki keterlibatan anggotanya sebagaimana rekomendasi Komnas HAM.
”Kami telah meminta keterangan dari para saksi, terutama orang yang pernah menghuni kereng di rumah Bupati Langkat nonaktif,” katanya.