Komnas HAM Simpulkan Pelanggaran HAM, Bupati Langkat Nonaktif Harus Bertanggung Jawab
Komnas HAM memaparkan kesimpulan pelanggaran di panti rehabilitasi narkoba di rumah pribadi Bupati Langkat nonaktif. Penyiksaan dilakukan hingga tiga penghuni meninggal.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin-Angin disebut harus bertanggung jawab atas kasus penyiksaan berujung kematian di panti rehabilitasi narkoba ilegal di rumah pribadinya. Penyiksaan itu membuat tiga penghuni panti meninggal.
Penyiksaan dilakukan dengan mengurung penghuni di kerangkeng mirip penjara, mencabut kuku, dan memukul tulang kaki dengan martil. Selain itu, ada juga pemukulan tulang rusuk dan kepala, dipaksa memakan cabai dan menyemprotkan kepada penghuni lain, serta membuat gatal dengan ulat bulu dan daun jelatang. Ada anggota kepolisian dan TNI disebut terlibat dalam penyiksaan itu.
Hal itu menjadi benang merah dalam pemaparan kesimpulan penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia di panti itu yang digelar Komisi Nasional HAM, Rabu (3/2/2022). Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik secara daring mengatakan, hal ini adalah fenomena yang sangat menyedihkan. Semua terjadi dalam sistem demokrasi, tatanan hukum yang sudah dibenahi, dan penegakan norma-norma HAM.
”Yang lebih menyedihkan, ini berlangsung sangat lama dan dilakukan kekuatan oligarki lokal yang pernah menjadi Ketua DPRD dan Bupati Langkat,” kata Taufan.
Ke depan, Taufan menyebutkan, harus dipastikan tidak ada lagi penyiksaan dan kekerasan yang sangat merendahkan martabat manusia itu, baik di Sumut maupun di tempat lain. Ia menambahkan, harus dilakukan juga pemenuhan keadilan bagi korban.
Komisioner Penyelidikan Komnas HAM M Choirul Anam menambahkan, pihaknya menyimpulkan Terbit bertanggung jawab atas tindak kekerasan atau penyiksaan hingga meninggal di panti rehab. Panti itu didirikan Terbit sejak 2010. Setelah itu, ragam kekerasan dan penyiksaan terjadi hingga saat ini.
Sedikitnya 656 orang tercatat pernah menghuni panti rehab tersebut. Pelanggaran HAM yang dilakukan adalah hak hidup, mendapatkan kebebasan pribadi, berkomunikasi, tidak diperbudak, bebas dari kerja paksa, hak kesehatan, memperoleh keadilan, dan hak anak. Komisi menemukan dua anak SMA berumur 16 tahun dan 17 tahun pernah menghuni panti.
Penyelidikan dugaan pelanggaran HAM itu dilakukan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dua ruangan mirip penjara saat menggeledah rumah pribadi Terbit dalam operasi tangkap tangan kasus korupsi, Rabu (19/1/2022). Saat ditemukan, ruangan itu dihuni 57 orang.
Anam menyebut, ada sedikitnya 26 bentuk penyiksaan, seperti memukul rusuk dan kepala, mencabut kuku, dan merendam di kolam. Penyiksaan dilakukan dengan 18 alat, seperti martil, tang, pisau, cabai, kolam, dan kandang berisi anjing. Selain tiga orang yang sudah disimpulkan meninggal karena penyiksaan, masih ada tiga lainnya yang diduga kuat meninggal karena penyiksaan.
Sedikitnya ada 19 orang yang melakukan penyiksaan. Mereka adalah anggota keluarga Terbit, pengawas, anggota organisasi kepemudaan, polisi, dan TNI. Kekerasan intens dilakukan, terutama satu bulan pertama saat penghuni masuk panti rehab.
Di panti tersebut, tidak ada pengobatan medis untuk menyembuhkan penghuni dari kecanduan. Untuk melepas ketergantungan dari narkoba hanya dilakukan dengan mengurung di dalam kerangkeng dan penyiksaan.
Penghuni yang sudah dikurung beberapa bulan disuruh bekerja di pabrik kelapa sawit atau kebun sawit milik Terbit. Beberapa ada juga yang dipekerjakan di kebun orang lain. Namun, Anam menyebut para penghuni tidak diberikan upah yang layak, hanya diberi makanan tambahan.
”Karena itu, kami menyebut ini adalah perbudakan atau kerja paksa,” kata Anam.
Pembongkaran makam
Polda Sumut sebelumnya membongkar dua kuburan yang diduga korban penganiayaan di panti rehab, Sabtu (12/2/2022). Mereka adalah Sarianto Ginting (35) dan Abdul Sidik Isnur (39). Keterangan saksi menyebut, Sarianto meninggal tiga hari setelah masuk panti rehab, sementara Abdul meninggal setelah sepekan menghuni panti itu.
Kepala Bidang Humas Polda Sumut Komisaris Besar Hadi Wahyudi mengatakan, hasil pembongkaran kuburan dan otopsi menunjukkan ada tindak kekerasan sebelum meninggal. ”Kami belum bisa menyampaikan hasil secara rinci, tetapi bisa disimpulkan ada kesamaan antara keterangan saksi dan hasil otopsi,” katanya.
Hadi menjelaskan, siapa pun yang terlibat akan ditetapkan menjadi tersangka kasus penganiayaan hingga meninggal. Penyidik akan segera menaikkan status penanganan perkara dari penyelidikan ke penyidikan dan menetapkan tersangka dalam kasus itu. Gelar perkara, kata Hadi, juga sudah dilakukan.