Lahan Perusahaan yang Dicabut Izinnya Ditunggu Masyarakat
Masyarakat terdampak perizinan konsesi di Kalteng menyambut baik kebijakan pencabutan izin bermasalah yang dilakukan pemerintah. Mereka berharap tanah leluhur mereka yang dirampas perusahaan bisa kembali.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Masyarakat di lahan berkonflik punya harapan besar atas dicabutnya ribuan perizinan bermasalah oleh pemerintah. Mereka ingin segera menggarap kembali tanah-tanah yang dirampas perusahaan.
Hal itu salah satunya disampaikan Titik Gideo, warga Desa Ramang, Kecamatan Banama Tingang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Enam tahun lebih berkonflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit membuatnya putus asa. Namun, setelah mendengar perusahaan yang merampas tanah leluhurnya itu masuk dalam pencabutan izin di wilayah kehutanan di Kalteng membuat harapannya melambung kembali.
”Saya sangat senang mendengar kabar itu. Semua masyarakat di sini sudah mendengarnya. Kami harap bisa segera dikembalikan ke masyarakat,” ungkap Titik di Palangkaraya, Senin, (10/1/2022).
Sebelumnya, pemerintah mencabut 2.078 izin pertambangan, 192 izin kehutanan, dan 137 izin perkebunan. Pencabutan dilakukan karena izin-izin yang telah diterbitkan tidak dijalankan, tidak produktif, dialihkan kepada pihak lain, serta tidak sesuai dengan peruntukan dan peraturan. Pengumuman tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo pada Kamis (6/1/2022) di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat (Kompas, 7 Januari 2022).
Titik bersama lebih dari 250 keluarga di Desa Ramang, Kecamatan Banama Tingang, Kabupaten Pulang Pisau, selama ini sudah melakukan beragam cara untuk merebut kembali lebih kurang 2.000 hektar lahan yang digarap PT Agrindo Green Lestari (AGL). Mereka sudah melaporkan kasus itu ke polisi bahkan melakukan demonstrasi tetapi tidak membuahkan hasil. Upaya itu dilakukan sejak 2015.
”Kami sudah demo ke sana kemari, sudah lapor, tapi memang kalau (melawan) perusahaan ini tidak bisa menang, makanya kami senang sekali mendengar kabar ini,” ungkap Titik.
Titik mengungkapkan, setelah pencabutan izin itu, pemerintah perlu berkoordinasi dengan masyarakat di sekitar wilayah perusahaan agar pengembalian lahan bisa berjalan tanpa konflik baru. Menurutnya, lahan yang berkonflik dengan izin perusahaan yang sudah dicabut tak hanya dikembalikan ke masyarakat tetapi perlu direhabilitasi.
Lahan seluas lebih kurang 2.000 hektar itu sebelum beralih fungsi menjadi perkebunan sawit merupakan hutan. Bahkan, masyarakat menggunakannya sebagai tempat ritual adat.
”Hutan itu dulu banyak sekali pohon langka dan jadi habitat satwa liar dilindungi, tetapi sekarang sudah hilang. Perusahaan perlu bertanggung jawab memperbaiki kawasan yang sudah rusak karena alih fungsi itu,” kata Titik.
Menanggapi hal tersebut, Wiananson dari Humas PT AGL menjelaskan bahwa pihaknya sudah menjalankan kegiatan sesuai undang-undang yang berlaku. Pihaknya saat ini masih fokus pada upaya ganti rugi lahan dan tanaman. Ia tidak ingin berkomentar banyak terkait pencabutan izin karena belum mengetahui kepastian dari kebijakan pemerintah pusat tersebut.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kalteng Dwi Darmawan mengungkapkan, pihaknya dalam waktu dekat akan menyurati Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk mengetahui kepastian dari surat keputusan pencabutan tersebut. Pasalnya, lampiran dari SK yang beredar di media belum bisa dibuktikan kebenarannya.
Lampiran tersebut memuat sejumlah nama perusahaan yang sebagian besar merupakan anggota Gapki Kalteng. Menurut Dwi, setiap anggota Gapki sudah memenuhi persyaratan, seperti sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) bahkan ekonomi hijau. Ia khawatir dengan adanya pencabutan itu justru memunculkan kegaduhan ekonomi dan konflik baru.
”Bahwa ada pencabutan itu benar, tetapi lampiran nama-nama perusahaan yang dicabut itu secara resmi belum ada di kami atau di perusahaan. Itu yang kami cari tahu dulu sebelum tindakan lain,” kata Dwi.
Menurut Dwi, pencabutan izin akan menimbulkan konflik baru di lahan karena masyarakat atau kelompok tertentu akan berupaya untuk menduduki lahan secara sepihak karena merasa tidak ada izin perkebunan di lokasi tersebut.
”Menurut pakar hukum, pencabutan itu tidak serta-merta menganggu HGU (hak guna usaha), jadi hak guna usahanya tetap ada,” kata Dwi.
Konflik agraria
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Dimas Novian Hartono menjelaskan, pencabutan izin dan evaluasi perizinan yang dilakukan pemerintah merupakan momentum untuk menyelesaikan konflik agraria yang masih tinggi di Indonesia, khususnya di Kalteng.
Walhi mencatat, di Kalteng saat ini masih terdapat 344 kasus konflik agraria di lahan konsesi yang belum selesai dengan total luas lahan berkonflik 151.524 hektar. Sekitar 80 persen dari total konflik itu berasal dari wilayah konsesi perkebunan.
Sekitar 80 persen dari total konflik itu berasal dari wilayah konsesi perkebunan.
”Pengakuan dan hak yang hilang ini harus dikembalikan ke masyarakat, jaminan atas hak pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar menjadi langkah utama yang bisa dilakukan pemerintah daerah dan pusat,” kata Dimas.
Dimas menambahkan, dengan banyaknya pencabutan izin itu, perbaikan atas kerusakan ekosistem yang terjadi selama izin dikelola perusahaan juga harus dilakukan. Artinya, setelah izin dicabut, kerusakan ekosistem karena adanya investasi itu akan menjadi beban pemerintah sehingga tanggung jawab itu harus diambil pihak korporasi.
”Kewajiban pemegang izin di antaranya menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air sesuai ketentuan undang-undang,” kata Dimas.
Kebijakan pemerintah untuk mengevaluasi dan mencabut beragam izin itu juga jadi momen untuk perbaikan tata kelola lahan. Pihaknya yakin, pemerintah daerah kerap mendapatkan pelaporan konflik agraria, pencemaran lingkungan, hingga pengrusakan ekosistem dari masyarakat. Pelaporan ini seharusnya ditindak, bukan sekadar menjadi catatan belaka.
”Pelaporan ini ditindaklanjuti oleh daerah sebagai bentuk perbaikan tata kelola perizinan,” kata Dimas.