Nyawa Melayang Meninggalkan Utang di Kampung Halaman
Mereka sebenarnya ingin tetap tinggal di Indonesia. Namun, impitan ekonomi memaksa para pekerja migran asal Lombok, NTB, berangkat secara ilegal, bertaruh nyawa demi upah Rp 5 juta per bulan.
Jika bisa memilih, Bangsal Udin Basar (43) sebenarnya tetap ingin tinggal di Lombok. Namun, impitan ekonomi membuatnya nekat merantau melalui jalur ilegal ke Malaysia. Malang tak dapat ditolak, ia meninggal dalam kecelakaan kapal yang membawa pekerja ilegal seperti dirinya di perairan Johor. Keluarganya menanggung utang modal perjalanan.
Murni (40) tak kuasa menahan tangis saat menerima kabar meninggalnya Bangsal, suaminya, Jumat (17/12/2021) sore. Begitu juga keluarga besarnya di Dusun Balen Along, Desa Kwo, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Baca juga: Korban Tewas Kecelakaan Perahu Pekerja Migran di Johor Terus Bertambah
Rumah reyot milik Bangsal yang hanya berdinding anyaman bambu, sore itu, penuh isak tangis pilu keluarganya. Lokasinya sekitar 9 kilometer dari Bandara Internasional Lombok.
Murni dan keluarga masih belum percaya Bangsal yang sempat menyapa lewat panggilan video, beberapa jam sebelum menyeberang ke Malaysia, kini pergi untuk selamanya. Sungguh tak disangka-sangka.
Di sini katanya pekerjaan sulit. Lalu dapat info pekerjaan dari teman-temannya di Malaysia. Setelah ditelepon-telepon, akhirnya ia inisiatif berangkat. (Roy Anggara)
Tulang punggung keluarga itu meninggal dalam kecelakan kapal pengangkut puluhan pekerja migran ilegal Indonesia di perairan Johor, Malaysia, Rabu (15/12/2021) dini hari. Kapal berangkat dari Dermaga Tanjung Uban, Batam.
Menurut Murni, ia tidak punya banyak kesempatan berbicara dengan suaminya itu terkait rencana ke Malaysia, termasuk sehari sebelum berangkat dari Lombok ke Batam, Rabu (8/12/2021). ”Ia sibuk mencari uang (untuk biaya berangkat). Baru Selasa tengah malam dapat. Setelah itu ia istirahat karena kecapekan dan kami tidak bicara apa-apa. Bahkan, saya tidak sempat menyiapkan bekal,” tuturnya.
Baca juga: Keluarga Korban Kecelakaan Kapal di Malaysia Ingin Berkomunikasi dengan Pekerja Migran
Satu-satunya yang sempat Bangsal sampaikan adalah banyaknya utang yang harus ia tanggung. ”Saya tanya, apakah ada banyak utang. Suami saya menjawab banyak, terutama utang-utang besar,” kata Murni sambil terisak.
Banyaknya utang itulah yang memaksa suaminya itu tetap berangkat. Pasangan itu memiliki tiga anak, yang sulung mondok di pesantren (madrasah tsanawiyah).
Setumpuk beban utang itu rasanya berat Bangsal lepas jika hanya dari hasil bekerja serabutan. Apalagi dengan pendapatan tidak menentu. Merantau ke Malaysia secara ilegal pun menjadi pilihan yang harus diambil.
Apalagi, menurut Roy Anggara (29), adik Bangsal, kakaknya diiming-imingi gaji Rp 5 juta-Rp 6 juta tiap bulan, termasuk pengembalian biaya perjalanan yang ia pinjam dari kerabat sebesar Rp 10 juta dengan bunga Rp 50.000 per bulan.
Baca juga: Petaka Iming-iming Gaji Tinggi dan Difasilitasi Bos di Malaysia
”Di sini katanya pekerjaan sulit. Lalu dapat info pekerjaan dari teman-temannya di Malaysia. Setelah ditelepon-telepon, akhirnya ia inisiatif berangkat,” kata Roy.
Impitan ekonomi
Bangsal tidak sendiri. Para pekerja migran asal Lombok yang berangkat secara ilegal ke Malaysia dan turut dalam kapal yang mengalami kecelakaan di perairan Johor, Malaysia, memiliki cerita yang hampir sama.
Seperti Bangsal, mereka juga berasal dari desa-desa yang menjadi kantong pekerja migran Indonesia di Lombok. Dua warga Desa Kawo lain yang berangkat bersama Bangsal ialah Muhammad Nasir (40) dan Joni Iskandar (26), yang juga terimpit masalah ekonomi. Keduanya selamat dari kecelakaan itu.
Lihat juga : Kapal Tenggelam di Malaysia Diduga Lewat Jalur Ilegal
Mery Lestari (21), istri Joni, mengatakan, setelah pulang dari Malaysia pada 2018, suaminya bekerja serabutan. ”Benar-benar tidak ada uang di sini, terutama buat makan. Jadi harus ke Malaysia,” kata Mery.
Joni pernah tiga kali berangkat ke Malaysia secara resmi. Kali ini, karena impitan ekonomi di desa, ditambah pandemi Covid-19, Joni tetap berangkat secara ilegal. Malaysia masih menutup pintu masuk bagi pekerja migran.
”Demi berangkat, suami saya harus meminjam uang ke keluarga. Baik untuk membeli tiket pesawat dari Lombok ke Batam maupun penyeberangan dari Batam ke Malaysia,” kata Mery.
Nasir, yang rumahnya berjarak beberapa kilometer dari rumah Bangsal, juga sudah beberapa kali ke Malaysia. ”Dia ingin kali ini yang terakhir ke Malaysia. Jika ada rezeki, dia ingin memplester rumah dan menggarap sawah,” kata Turhami (40), kakak Nasir.
Baca juga: Melindungi Pekerja Migran
Menurut Turhami, adiknya yang berangkat dibiayai bosnya di Malaysia, sebenarnya juga merasa berat hati berangkat lagi. Apalagi berpisah dengan istri dan anak-anaknya. ”Tetapi, keadaan ekonomi memaksanya tetap berangkat. Dia punya sawah, tapi itu tidak seberapa menghasilkan,” kata dia.
Pekerja migran Indonesia seperti Alwi (36) dan Murdi (36) asal Desa Wakan, Kecamatan Jerowaru, sebenarnya sudah diingatkan untuk tidak berangkat oleh keluarga. Namun, persoalan ekonomi hingga jeratan utang membuat mereka tidak bisa mencari pilihan lain. Alwi terkonfirmasi selamat, sedangkan Murdi masih hilang.
”Alwi memutuskan berangkat tidak kurang dari semalam. Begitu Jumat mendapat izin dari orangtua, besoknya sudah terbang ke Batam bersama Murdi,” kata Sayati (47), kakak kandung Alwi.
Seperti Bangsal, baik Alwi maupun Murdi juga terjerat utang. Aswadi, salah satu anggota keluarga Alwi dan Murdi, mengatakan, kedua pekerja migran itu sebenarnya punya sawah. Namun, mereka gadaikan setelah rugi dari menanam tembakau dan menyisakan utang.
Baca juga: Nestapa Keluarga Pekerja Migran Indonesia
Setelah itu, mereka bekerja serabutan, ikut jadi tukang hingga bekerja di sawah saat musim tanam. Demi bisa membayar utang, berangkat ke Malaysia untuk kesekian kali adalah pilihan terakhir.
Pada akhirnya, semua berangkat dari persoalan ekonomi yang kemudian menjadi lingkaran setan tak pernah putus. Padahal, seperti kata Sayati yang telah berkali-kali ke Malaysia sejak 1992, Indonesia punya potensi besar. ”Jika sekadar sawit, seharusnya bisa ke Sumatera atau Kalimantan sudah cukup. Tetapi, di Indonesia, sering kali penghargaan yang diterima tidak sesuai kerja keras kami,” tuturnya.
Menurut Sayati, seharusnya ada tanggung jawab negara untuk menyejahterakan warganya, termasuk di Provinsi NTB yang pada 17 Desember 2021 berulang tahun ke-63. Dengan begitu, mereka tidak perlu bersusah payah ke luar negeri, bahkan mengambil risiko lewat jalur ilegal.
Apalagi, beberapa tahun terakhir berbagai pembangunan, terutama di sektor pariwisata, begitu pesat di provinsi tersebut. Keberadaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika dan Sirkuit Mandalika Internasional menjanjikan lapangan pekerjaan.
Baca juga: Cukup, Stigmatisasi Pekerja Migran
Tanpa upaya serius membuka banyak lapangan pekerjaan, masyarakat akan tetap nekat menempuh jalan pintas penuh risiko demi bertahan hidup. Tidak menutup kemungkinan para pekerja migran Indonesia asal NTB yang menjadi korban bekerja secara ilegal akan terus bertambah.
Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UPT BP2MI) Mataram Abri Danar Prabawa, sepanjang 2020-2021, total ada 169 pekerja migran Indonesia asal NTB yang meninggal di luar negeri. Sebanyak 132 orang di antaranya adalah pekerja migran Indonesia nonprosedural.
Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi NTB bersama pemerintah kabupaten/kota dan pihak terkait, termasuk BP2MI, terus mendorong masyarakat menjadi pekerja migran Indonesia lewat jalur resmi atau prosedural.
Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalillah beberapa waktu lalu mengatakan, desa dan dusun harus dijadikan basis pembangunan ketenagakerjaan. Itu termasuk sebagai pusat informasi dan edukasi terkait dengan penempatan pekerja migran Indonesia di luar negeri secara prosedural. Dengan begitu, tidak ada lagi warga NTB yang terjebak pada janji manis para calo dan tindak pidana perjualan orang (TPPO).
Meski telah ada program zero nonprocedural pekerja migran Indonesia, hingga saat ini pekerja migran Indonesia tidak resmi masih menjadi salah satu masalah di NTB. Data UPT BP2MI Mataram, dari 24.758 pekerja migran Indonesia yang pulang sepanjang 2021, sebanyak 10.534 orang adalah pekerja migran Indonesia nonprosedural alias ilegal.