Petaka Iming-iming Gaji Tinggi dan Difasilitasi Bos di Malaysia
Tekanan ekonomi memicu warga asal Lombok tetap berangkat secara ilegal ke Malaysia. Apalagi dengan adanya iming-iming gaji tinggi hingga difasilitasi keberangkatannya oleh bos mereka di Malaysia.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
PRAYA, KOMPAS – Warga Lombok yang berangkat secara ilegal dan menjadi korban dalam tenggelamnya kapal di perairan Johor, Malaysia, selain berangkat karena keinginan sendiri, diduga juga karena iming-iming pekerjaan bergaji tinggi. Keluarga mereka menyebut korban difasilitasi bos mereka di Malaysia.
Sepanjang Jumat (17/12/2021), Kompas bertemu keluarga warga Lombok yang berangkat secara ilegal sebagai pekerja migran Indonesia di Malaysia. Mereka berangkat pada Selasa (14/12/2021) dari Tanjung Uban, Pulau Bintan, Kepulauan Riau, dan mengalami kecelakaan pada Rabu (15/12/2021) dini hari.
Dari penuturan keluarga, WNI tersebut telah berada di Batam seminggu sebelum menyeberang. Bangsal Udin Basar, korban meninggal asal Dusun Balen Along, Desa Kawo, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, misalnya, telah berada di Batam sejak Rabu (8/12/2021).
Roy Anggara (29), adik Bangsal menuturkan, kakaknya tergerak berangkat setelah mendapat informasi dari rekannya di Malaysia jika sedang dibutuhkan banyak tenaga kerja. Padahal, Bangsal mengetahui jika saat ini Malaysia belum menerima pekerja migran asal Indonesia.
“Di tengah persoalan ekonomi keluarga, ia berangkat. Apalagi diiming-imingi gaji antara Rp 5-6 juta per bulan,” kata Roy.
Tidak hanya itu, menurut Roy, kakaknya juga dijanjikan uang pengganti biaya perjalanan. Bangsal sendiri menghabiskan sekitar Rp 10 juta yang merupakan pinjaman kerabatnya. “Selain itu, oleh tekong (calo), kakak saya dijanjikan akan menggunakan kapal yang bagus. Bukan pompong. Lalu begitu sampai juga akan dijemput di sana,” kata Roy.
Sementara rombongan Alwi dan Murdi asal Dusun Mampe, Desa Wakan, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, telah berada di Batam sejak Sabtu (11/12/2021). Alwi sudah terkonfirmasi selamat, sedangkan Murdi belum ditemukan. “Mereka berangkat Sabtu pagi dengan biaya sendiri,” kata Sayati (47) kakak kandung Alwi.
Menurut Sayati, Alwi menghabiskan Rp 1,3 juta untuk tiket dari Lombok ke Batam. Lalu, untuk penyeberangan yang diserahkan ke tekong di Batam, sekitar Rp 4,5 juta. “Begitu sampai (Malaysia), mereka sudah ada yang tunggu. Bisa langsung bekerja,” kata Sayati yang juga berkali-kali ke Malaysia sejak 1992.
Tidak hanya biaya sendiri, ada juga yang dibiayai bos mereka sebelumnya di Malaysia. Muhammad Nasir yang juga berangkat Rabu minggu lalu ke Batam dan terkonfirmasi selamat salah satunya. Menurut Martini (36), istri Nasir, suaminya dikirimi uang sekitar Rp 7,5 juta untuk membiayai perjalanan ke Malaysia.
Hingga Jumat sore, menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB I Gde Putu Aryadi, ada dua orang korban meninggal dalam insiden kapal di Johor teridentifikasi warga Lombok.
Dua orang tersebut yakni Bangsal asal Desa Kawo dan Syech Mulasela dari Kampung Bineka, Desa Kopang Rembiga, Lombok Tengah. Pihak keluarga telah mengetahui hal itu dan berharap jenazah kedua PMI tersebut bisa dipulangkan.
Pengawasan ketat
Meski telah ada program zero nonprosedural PMI, tetapi hingga saat ini PMI tidak resmi masih menjadi salah satu masalah di NTB. Data Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Mataram, dari 24.758 orang PMI yang pulang sepanjang 2021, sebanyak 10.534 orang adalah PMI nonprosedural alias ilegal.
Dalam pelaksanaan program zero nonprosedural PMI, Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalillah beberapa waktu lalu mengatakan, desa dan dusun harus dijadikan basis pembangunan ketenagakerjaan. Itu termasuk sebagai pusat informasi dan edukasi terkait penempatan PMI di luar negeri secara prosedural. Dengan begitu, tidak ada lagi warga NTB yang terjebak pada janji manis para calo dan tindak pidana perjualan orang (TPPO).
Sebagai daerah dengan PMI nonprosedural yang cukup tinggi, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Lombok Timur Supardi mengatakan telah berupaya melakukan pencegahan.
Menurut Supardi, selain terkait belum dibukanya Malaysia, mereka juga intens mensosialisasikan bahaya jalur PMI non prosedural, antara lain seperti kehilangan jaminan ketenagakerjaan hingga kesehatan.
Meski telah menyatakan berbagai upaya dilakukan, dengan masih banyaknya kasus PMI nonprosedural, upaya yang diklaim dilakukan Pemerintah Provinsi NTB itu belumlah maksimal.
“Melihat masih banyaknya PMI nonprosedural, saya melihat program itu belum maksimal,” kata Muhrim Rajasa, Wakil Ketua DPD Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Lombok Timur.
Muhrim yang juga keluarga Alwi dan Murdi mengatakan, penangangan PMI non prosedural harus dilakukan pada semua level. Mulai dari desa hingga pemerintah pusat, termasuk pengawasan ketat kementerian terkait misalnya Kementerian Ketenagakerjaan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Menurut Muhrim, Kementerian Tenaga Kerja harus pro aktif memastikan jajarannya hingga level terendah bekerja untuk membuat masyarakat benar-benar paham tentang risiko atau konsekuensi menjadi PMI nonprosedural.
Sementara, Kementerian Kelautan dan Perikanan harus meningkatkan pengawasan di jalur-jalur tikus yang menjadi titik keberangkatan PMI non prosedural ke Malaysia. Melihat kejadian yang terus berulang, Muhrim menilai pengawasan masih lemah.