Sengkarut Pekerja Migran Indonesia Bermula sejak Prapenempatan
Sengkarut masalah menjerat buruh migran Indonesia sejak dari fase prapenempatan. Banyak oknum yang mengaku dari penyalur tenaga kerja bergentayangan ke daerah-daerah miskin untuk mengelabui warga dengan janji manis.
JAKARTA, KOMPAS — Sengkarut masalah yang menjerat buruh migran Indonesia terjadi sejak fase prapenempatan. Banyak oknum bergentayangan ke daerah-daerah miskin untuk mengelabui warga dengan janji manis. Namun, banyak di antaranya tak sesuai yang dijanjikan.
Amin Shabana, peneliti Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jumat (5/3/2021) malam, menuturkan, dirinya pernah meneliti pekerja migran Indonesia (PMI) selama tiga tahun. Untuk yang di luar negeri, penelitian dilakukan di Malaysia dan Hong Kong. Sementara di dalam negeri, penelitian dilakukan di Pulau Sumbawa dan Lombok (Nusa Tenggara Barat) serta Cirebon (Jawa Barat).
Penelitian yang dilakukan menyangkut pola komunikasi daring (online) PMI yang bekerja di luar negeri dengan keluarganya terkait pengelolaan keuangan. Menurut Amin, dari tiga daerah sampel penelitian, Pulau Lombok paling banyak mengirimkan PMI ke Malaysia. Di sana banyak permasalahan terjadi pada saat prakeberangkatan. Ia menyebut ada banyak oknum yang bermain.
”Oknum-oknum ini pergi ke keluarga-keluarga calon PMI melakukan pendekatan kepada potensi PMI yang bisa diberangkatkan, diiming-imingi, sehingga oknum-oknum ini bisa memberangkatkan PMI dengan jalur tidak resmi,” ungkap Amin.
Baca juga : Peliputan Perdagangan Orang Harus Mengutamakan Korban
Permasalahan terbesar ada di prakeberangkatan. Untuk itu, pemerintah harus memiliki sistem lebih ketat dalam melakukan pengawasan, terutama kepada oknum-oknum yang mengatasnamakan perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI).
Pemerintah sebetulnya sudah memiliki sistem yang dinamakan sistem peringatan dini (early warning system), suatu aplikasi yang bisa mengumpulkan basis data semua PMI yang bekerja. Bukan hanya PMI di Malaysia, melainkan juga di negara-negara lain.
Pemerintah harus memiliki sistem lebih ketat dalam melakukan pengawasan, terutama kepada oknum-oknum yang mengatasnamakan perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI).
Di Malaysia sendiri, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia, berdasarkan wawancara yang dilakukan Amin, telah menyiapkan aplikasi untuk bisa melacak PMI di Malaysia. Dengan aplikasi tersebut, semua PMI yang bekerja secara legal bisa dilacak melalui aplikasi yang dilengkapi sistem keamanan itu. Ketika melakukan registrasi, PMI akan masuk ke aplikasi tersebut dengan barcode.
”Bahkan, tidak hanya PMI, tetapi juga majikannya. Di Malaysia, majikan harus memiliki gaji minimal 7.000 ringgit Malaysia per bulan untuk bisa mempekerjakan PMI. Kalau majikan tidak memiliki gaji sejumlah itu, tidak akan diizinkan,” ujarnya.
Sebetulnya sudah ada berbagai upaya untuk menekan risiko yang menimpa PMI. Namun, lanjut Amin, regulasi paling bermasalah berada pada saat prapenempatan PMI. Untuk itu, mesti ada pengawasan dan regulasi lebih ketat bagi calon PMI untuk bisa berangkat bekerja di luar negeri.
Temuan lain pada PMI di Malaysia, kebanyakan dari mereka bekerja dengan sistem kontrak. ”PMI pria dari Lombok cukup banyak bekerja di kilang. Kalau dari Cirebon, kebanyakan PMI perempuan dan bekerja di sektor rumah tangga. Kalau di kilang, sistem harian ada yang medapatkan gaji 80 ringgit Malaysia atau 50 ringgit Malaysia,” papar Amin.
Baca juga : Kementerian Ketenagakerjaan Bangun 45 Layanan Terpadu Satu Atap
Risiko kerja
Hasil penelitian lain, banyak pekerjaan berisiko yang dilakukan PMI. Kondisi ini terjadi karena PMI biasanya diminta melakukan banyak pekerjaan. Ini berbeda dengan pekerja migran Vietnam atau Filipina yang biasanya fokus pada satu jenis pekerjaan. ”Kalau (pekerja migran lain) misalnya mengurus bayi, ya, mengurus bayi saja. Kalau mengurus orang lansia, ya, mengurusi orang lansia saja,” kata Amin.
Namun, hal itu tak berlaku bagi PMI. Menurut dia, hal itu mungkin terjadi karena regulasi di Indonesia membuka celah tersebut. Amin juga mengaku mendapat informasi dari seorang PMI saat rekannya mengalami kecelakaan kerja, pihak majikan justru memberi dua pilihan. Jika misalnya ingin pulang ke Tanah Air, PMI akan diberikan uang 5.000 ringgit Malaysia, tetapi jika tidak mau pulang akan mendapatkan asuransi dan diobati majikannya sampai sembuh.
”Ada juga PMI yang diberi sejumlah besar uang, kemudian dipulangkan. Banyak sekali potensi risiko pada PMI ketika bekerja, khususnya di Malaysia,” katanya.
Masalah kemiskinan
Rosmidi, mantan PMI asal NTB, menuturkan, dirinya pernah 8,5 tahun bekerja dengan empat kali masuk-keluar di Negara Bagian Perak, Malaysia. Ia sekarang sudah kembali ke Mataram dan membuat usaha mandiri di kampungnya.
Dahulu, ia berminat bekerja ke Malaysia karena masalah ekonomi. Di Lombok, banyak penduduk menjadi PMI. Ia pergi ke Malaysia pertama kali pada 2005, kemudian pulang ke Lombok pada 2008.
Dua bulan setelah pulang ke Tanah Air, ia masuk lagi ke Malaysia. Di sana, ia bekerja di Pahang selama 1,5 tahun. Kemudian, ia pulang lagi ke Lombok. Setiba di Lombok, sekitar lima bulan kemudian, Rosmidi masuk lagi ke Malaysia timur sekitar 1,5 tahun, baru kemudian pulang lagi ke Indonesia.
Baca juga : Peliputan Perdagangan Orang Harus Mengutamakan Korban
Oleh karena di Lombok tidak ada pekerjaan, Rosmidi masuk lagi ke Perak. Di sana, ia bekerja sekitar dua tahun dan lima bulan. Saat itu, ia merasa betah bekerja di industri penetasan telur, khususnya di bagian perbaikan mesin.
Sayangnya, ia merasa majikannya sering berlaku tidak adil. Rosmidi sebetulnya tidak ingin menyambung kontrak, tetapi karena pandemi Covid-19, majikannya meminta ia untuk menyambung masa kerja dan dijanjikan kenaikan gaji. Akhirnya, Rosmidi memperpanjang masa kerjanya.
”Namun, ternyata tidak ada kenaikan gaji. Akhirnya, saya pulang ke Indonesia. Sekarang saya merintis usaha bengkel las,” kata Rosmidi.
Rosmidi mengaku, di Lombok banyak calo yang menjanjikan gaji tinggi, berkisar 2.000 ringgit Malaysia-3.000 ringgit Malaysia, kepada para calon PMI. Hal itu menggiurkan bagi warga setempat. Sayangnya, pada kenyataannya, tidak semua hal itu terwujud. Di sisi lain, pihak calo hanya menginginkan uang. Sebab, ketika PMI sudah ditempatkan, kenyataannya tidak sesuai dengan yang diceritakan.
”Saat terakhir ke Malaysia, saya harus bayar Rp 9 juta ketika akan berangkat dari Indonesia. Setelah di Malaysia, gajinya dipotong 1.800 ringgit Malaysia. Ke mana duitnya?” ujar Rosmidi.
Buruh migran adalah orang yang terabaikan negara. Mereka berjuang sendiri untuk memperbaiki kehidupannya. Mereka memilih seperti itu karena permasalahannya kompleks.
Figo Kurniawan dari Serikat Buruh Merdeka Indonesia (SBMI) menuturkan, buruh migran adalah orang yang terabaikan negara. Mereka berjuang sendiri untuk memperbaiki kehidupannya. Mereka memilih seperti itu karena permasalahannya kompleks.
Persoalan PMI di Malaysia merupakan persoalan klasik puluhan tahun. Berbagai upaya sudah dilakukan, baik oleh negara asal maupun tujuan. Namun, tetap saja ada persoalan. Tetap saja ada puluhan hingga ratusan nyawa hilang di Selat Malaka saat mereka hendak masuk ke wilayah Malaysia dengan jalur ilegal.
Baca juga : Nestapa Pahlawan Devisa Meretas Trauma
Figo berharap ada penelitian serius terkait masalah tersebut. Menurut dia, Malaysia adaah negara tujuan PMI terbesar dibandingkan negara tujuan lain. Padahal, gaji pokok di Malaysia hanya 1.100 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 3,5 juta.
”Dengan gaji seperti itu, mengapa Malaysia menjadi negara tujuan terbesar? Karena kultur dan bahasanya tidak jauh berbeda. Namun, apakah hanya dengan dasar itu pada akhirnya Malaysia menjadi tujuan PMI terbesar? Kalau hanya menyimpulkan seperti itu, begitu dangkalnya pemahaman kita,” ujarnya.
Selain itu, ia juga mencermati banyak calon PMI memilih jalur tikus atau tidak resmi untuk menuju Malaysia. Menurut dia, sebagian merupakan korban calo, tetapi sebagian lain paham jika masuk lewat jalur resmi tidak akan bisa karena sudah tidak diterima. ”Mereka pulang dan pergi lewat jalur tidak resmi karena pilihan yang disadari. Risikonya memang menantang maut di tengah lautan,” katanya.
Menurut Figo, akar masalah hal-hal tersebut adalah kemiskinan. Sepanjang akar masalah kemiskinan tidak ada solusi dan sepanjang peluang kerja di dalam negeri jauh dari harapan, migrasi antarnegara untuk mencari pekerjaan akan terus terjadi.