Bitung Mencari Siasat Mengatasi Kekurangan Ikan
Bitung kekurangan hasil perikanan tangkap, terutama cakalang dan tuna. Akibatnya sangat terasa bagi industri pengolahan ikan. Dua dari tujuh pabrik pengalengan ikan kini berhenti operasi.
Kekesalan masih membekas di benak Hengky Honandar (57) sejak awal 2021. Pemilik PT Sari Malalugis, produsen ikan beku asal Bitung, Sulawesi Utara, itu sedang butuh uang. Tetapi, kapal perikanan 30 gros ton miliknya yang sedang melaut di perairan utara Maluku Utara malah ditangkap aparat.
Kata Hengky, saat itu para awak kapal sedang getol mengejar kawanan tuna yang berenang ke timur. Tanpa sadar mereka masuk ke perairan Papua Barat. Dua daerah perairan itu dipisahkan sebuah garis imajiner menjadi Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 716 dan WPP 717. Tak ayal, kapal milik Hengky digiring ke Pelabuhan Sorong.
”Dengan 100 ekor (tuna) lebih, kapal saya dibawa di Sorong. Saya protes ke Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut, bahkan ke kementerian. Setelah ribut, baru kapal saya dilepaskan,” kata Hengky, Senin (13/12/2021), dalam sebuah pertemuan di ruang kerjanya di Kantor Wali Kota Bitung, Sulawesi Utara.
Kala itu Hengky baru saja memenangi Pilkada 2020 sebagai wakil wali kota Bitung, tentu dengan biaya kampanye yang tidak sedikit. ”Saya senang dikasih kelonggaran, tetapi bagaimana dengan orang lain yang bukan wakil wali kota? Kita ini negara kesatuan, tetapi kapal masyarakat masuk malah bisa ditangkapi di dalam negeri sendiri,” keluhnya.
Sejak 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerbitkan peraturan yang membagi wilayah perairan Indonesia menjadi 11 WPP Negara Republik Indonesia (WPPNRI) atau fishing ground. Kapal 30 gros ton (GT) ke atas pun hanya diizinkan untuk menangkap ikan lebih dari 12 mil laut dari garis pantai di satu WPP.
Hengky menyadari, WPP diterapkan untuk mengatur berbagai kepentingan, seperti jenis alat tangkap yang digunakan, menambah pendapatan asli daerah dari pendaratan ikan, serta pencegahan konflik antarnelayan di laut. ”Itu sah-sah saja. Tetapi, menurut kami, ada baiknya area fishing ground itu dibuka, jangan kami ke sana terus ditangkap,” ujarnya.
Baca juga : Cegah Penangkapan, Sulut Kerja Sama Nelayan Andon dengan Lima Provinsi
Selama Januari-September 2021, Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut mencatat, enam kapal perikanan asal Sulut berukuran paling besar 30 GT ditangkap di Maluku Utara. Data itu belum mencakup kapal yang ditangkap di daerah-daerah lain. ”Ikan ini, kan, bergerak. Otomatis kami mengejar,” kata Hengky.
Masalahnya, sejak 2015 setelah sistem WPP diterapkan, Bitung yang menjadi rumah bagi tujuh dari 14 pabrik ikan kaleng di Indonesia sangat kekurangan bahan baku. Hengky bilang, kebijakan itu diturunkan bersamaan dengan moratorium penerbitan izin kapal serta pelarangan operasi kapal asing maupun eks asing.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perikanan Bitung Frangky Runtukahu mengatakan, dua dari tujuh pabrik pengalengan ikan sedang berhenti beroperasi. Pabrik yang masih bertahan pun hanya mampu beroperasi tiga hari dalam seminggu akibat kekurangan bahan baku.
Pada 2020, volume produksi ikan di Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Bitung mencapai 198.009 kilogram atau 198 ton setiap hari. Jumlah itu tak mencukupi untuk memasok 60 unit pengolahan ikan (UPI), termasuk ikan beku, ikan kayu, dan ikan segar, yang tersebar di Bitung saja.
Baca juga : Nelayan Kecil di Bitung Dilatih agar Bisa Penuhi Kebutuhan Industri
Frangky menyebutkan, dalam sehari, rata-rata pabrik pengalengan ikan butuh 15 ton cakalang dan tuna untuk beroperasi maksimal. Berarti, industri tersebut mampu menyerap 105 ton ikan dalam sehari. Namun, kurangnya bahan baku menyebabkan industri pengalengan ikan harus berebut ikan.
Untuk menyiasatinya, beberapa pabrik ia sebut berupaya mendatangkan pasokan bahan baku dari daerah lain, seperti Maluku atau bahkan Jakarta. Akibatnya, biaya produksi semakin besar, sementara risiko ikan rusak di perjalanan lebih tinggi.
”Ada juga upaya impor ikan karena perusahaan telanjur ada perjanjian dengan pelanggannya. Kalau masalah bahan baku ini dibiarkan, lama-lama akan berubah menjadi masalah pemasaran. Perusahaan perikanan di Bitung akan kehilangan kepercayaan dari importir,” ujar Frangky.
Untuk mencegah kematian industri pengolahan ikan di Bitung, pada September lalu di Jakarta, Gubernur Sulut Olly Dondokambey telah menandatangani perjanjian kerja sama andon dengan lima provinsi lain di timur Indonesia. Kelima provinsi itu adalah Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.
Baca juga : Menteri Kelautan dan Perikanan Janji Tambah Armada Kapal Pengawas
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut Tienneke Adam mengatakan, perjanjian andon dapat mencegah penangkapan nelayan Sulut di daerah lain. Namun, ada beberapa peraturan yang akan dirancang, seperti kuota kapal yang boleh menangkap di daerah lain serta pelabuhan pendaratan ikan yang ditetapkan untuk pemasukan daerah tujuan andon.
Kendati begitu, menurut Frangky, perjanjian ini belum terlaksana. Dari enam pemerintah provinsi, baru dua yang menandatanganinya, termasuk Sulut. Karena itu, ia mengatakan, Wali Kota Bitung Maurits Mantiri dan wakilnya, Hengky, kerap beraudiensi dengan pemerintah pusat untuk menopang industri perikanan Bitung dan membantu percepatan izin usaha perikanan maupun penangkapan.
Pada saat yang sama, Pemerintah Kota Bitung berupaya mendapatkan bantuan dari pihak-pihak yang bersedia. Pekan lalu, sebuah pelatihan digelar bagi nelayan kecil dengan ukuran kapal di bawah 5 GT. Pengajar dari Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan (FKIP) IPB University didatangkan untuk memberi pelatihan tentang penanganan ikan di atas kapal, penyimpanan, dan pengemasan.
Dahri Iskandar, salah satu dosen FKIP IPB University, mengatakan, pelatihan ini digelar untuk membantu nelayan kecil meningkatkan kualitas hasil tangkapan sehingga harga pemasarannya juga tinggi. Tidak tertutup pula kemungkinan produk-produk nelayan kecil bisa terserap oleh industri pengolahan.
”Kemampuan nelayan memang tidak diragukan lagi. Namun, asesmen kami di pelabuhan menunjukkan ada hal-hal yang bisa diperbaiki agar penanganan ikan bisa ditingkatkan. Kami ingin nelayan berdaya,” ujar Dahri mengenai pelatihan yang digelar dalam rangka penyaluran tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) itu.
Kalau itu tidak ditegakkan, yang menjadi korban adalah nelayan.
Dahri juga membuka peluang adanya kerja sama yang berkelanjutan dalam bentuk kajian perikanan berkelanjutan serta penelitian dampak regulasi yang ada, seperti WPP, terhadap hasil tangkapan perikanan di Bitung. Namun, Dahri juga merekomendasikan agar satuan Pengamanan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) di Bitung lebih aktif berpatroli.
Menurut dia, kekurangan bahan baku di Bitung dapat disebabkan oleh kurangnya penegakan hukum terhadap pengambilan ikan secara ilegal, tak terlapor, dan tak terikat aturan (IUUF). ”Kalau itu tidak ditegakkan, yang menjadi korban adalah nelayan,” ujar Dahri.
Selama 2021, PSDKP tercatat menangkap enam kapal Filipina dan tujuh kapal Indonesia pelaku IUUF di WPP 716 yang terletak di utara Pulau Sulawesi hingga zona ekonomi eksklusif yang berbatasan dengan Filipina. Adapun di WPP 717, hanya dua kapal yang ditangkap tanpa keterangan asing atau lokal.
Bagi Frangky, hal-hal seperti ini sesungguhnya bukanlah kewenangan Pemkot Bitung, melainkan pemprov dan pemerintah pusat. Dibutuhkan kerja sama untuk mengatasi problem perikanan tangkap dan pengolahannya. ”Sebab, industri ini punya efek pengganda untuk pekerja, UMKM, kuliner, sampai akomodasi,” ujarnya.
Akhir November lalu, KKP menyatakan akan menetapkan enam zona dalam upaya penangkapan ikan terukur, yaitu Natuna (Zona 1); Bitung-Biak (Zona 2); Laut Arafura, Banda, dan Aru (Zona 3); Samudra Hindia (Zona 4); Selat Malaka (Zona 5); serta Laut Jawa dan Kalimantan (Zona 6). Hal ini merupakan implementasi dari program Ekonomi Biru 2022.
Zona 2 yang diisi Bitung dan Biak Numfor ditetapkan sebagai zona industri karena sumber dayanya yang melimpah. Pemkot Bitung pun kini menanti realisasinya.