Cegah Penangkapan, Sulut Kerja Sama Nelayan Andon dengan Lima Provinsi
Perwakilan nelayan di Sulawesi Utara meminta pemerintah provinsi segera memperjelas teknis kerja sama penangkapan ikan lintas wilayah provinsi atau andon. Dengan begitu, nelayan bisa mengurus izin.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Perwakilan nelayan di Sulawesi Utara meminta pemerintah provinsi segera memperjelas teknis kerja sama penangkapan ikan lintas provinsi atau andon. Dengan demikian, nelayan dapat segera mengurus izin untuk menangkap ikan di provinsi sekitar Sulut tanpa risiko ditangkap aparat keamanan.
Dihubungi dari Manado, Senin (20/9/2021), Wakil Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Sulut Ben Awoah mengatakan, kerja sama andon penangkapan ikan antara Sulut dan lima provinsi di timur Indonesia merupakan kebijakan yang baik. Kelima provinsi itu adalah Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.
Kerja sama ini ditandatangani Gubernur Sulut Olly Dondokambey dan lima gubernur lainnya, Selasa (14/9/2021), di Kantor Staf Presiden, Jakarta. Namun, setelah sepekan, Ben mengatakan belum ada kejelasan skema kerja sama tersebut. ”Sebaiknya ada kerja sama dengan aturan tertentu, masalahnya sampai sekarang masih belum jelas,” ujar Ben.
Salah satu hal yang harus segera diklarifikasi pemerintah di depan perwakilan nelayan adalah kewajiban pembiayaan. Biasanya, kapal perikanan harus mencatatkan tangkapan di pelabuhan setempat dan terdapat biaya yang harus dibayarkan, seperti jasa pas masuk. Hal ini berkaitan dengan pemasukan daerah.
Ben mencontohkan, jika kapal perikanan dari Sulut hendak menangkap ikan di Maluku, kapal tersebut tidak bisa langsung membawa pulang tangkapan, tetapi harus didaratkan di pelabuhan tertentu di wilayah tujuan andon. ”Ini menyangkut pendapatan asli daerah dan bisa jadi rebutan. Jadi harus ada aturan jelas,” ucapnya.
Selama 2021, Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut mencatat setidaknya enam kapal perikanan asal Sulut berukuran paling besar 30 gros ton (GT) ditangkap di Maluku Utara meski hanya mengantongi surat izin penangkapan ikan (SIPI) di wilayah Sulut. Kejadian serupa tercatat pada 2020.
Menurut Pasal 98 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 58 Tahun 2020 tentang Usaha Perikanan Tangkap, kapal berukuran maksimal 10 GT hanya boleh menangkap ikan di perairan daerah penerbit SIPI-nya hingga 12 mil laut. Adapun wilayah operasi kapal 10-30 GT dibatasi pada 4-12 mil laut.
Namun, andon penangkapan ikan juga dimungkinkan dengan Pemen KP Nomor 25 Tahun 2020. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut Tienneke Adam mengatakan, perjanjian andon ini dapat mencegah penangkapan nelayan Sulut di daerah lain.
Ada kuota kapal yang ditetapkan oleh pemprov daerah tujuan andon terhadap lima provinsi lainnya untuk mencegah penangkapan ikan secara berlebih. Namun, Tienneke tidak menyebut angka pasti kuota untuk setiap daerah. ”Misalnya, di Maluku kita dapat kuota 30 kapal, sedangkan di Papua Barat 50 kapal. Jadi, nelayan yang ingin bisa urus izin untuk ke sana,” lanjutnya.
Tienneke menyebutkan, nelayan bebas menjual tangkapannya di daerah asal ataupun di tujuan andon, tergantung dari pilihan mana yang menguntungkan. Ia menilai, nelayan Sulut lebih baik membawa pulang tangkapannya mengingat ada 70 unit pengolahan ikan di Bitung, Minahasa Selatan, Manado, dan Bolaang Mongondow.
Syaratnya, tangkapan harus dicatatkan dulu di pelabuhan yang ditunjuk sebagai check point. Menurut Tienneke, nelayan mungkin hanya perlu membayar biaya labuh tambat. ”Biaya kami tekan karena kerja sama ini murni untuk kesejahteraan nelayan. Apalagi, pasokan ikan sangat penting untuk kebutuhan lokal ataupun ekspor,” katanya.
Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut, hasil perikanan laut Sulut pada 2018 mencapai 368.710 ton, lalu turun menjadi 258.976 ton pada 2019. Sementara itu, ekspor hasil ikan dan udang Sulut pada 2019 sebesar 10.165,67 ton, lalu meningkat menjadi 10.806,56 ton pada 2020.
Sementara itu, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan mengatakan, kerja sama andon enam provinsi tersebut adalah suatu terobosan yang baik. Sebab, selama ini nelayan, kata Abdi, menjadi bulan-bulanan aparat yang mencari pungutan liar.
Menurut data yang dihimpun DFW, Sulut mendapatkan kuota 50 kapal di Maluku dan Maluku Utara, sedangkan Papua dan Papua Barat belum memberikan izin andon. Melihat perkembangan ini, Abdi meminta pemerintah betul-betul memikirkan keuntungan dan manfaat apa yang bisa saling diberikan kepada daerah masing-masing.
”Ini suatu langkah yang maju, tetapi pemerintah juga harus realistis. Perlu dipikirkan, apakah jatah 50 kapal itu sudah proporsional dengan kapal yang lalu lalang di wilayah penangkapan tersebut,” katanya.
Untuk mencegah penangkapan ikan secara berlebih, Kementerian Kelautan dan Perikanan akan segera menentukan batasan kapal yang boleh menangkap ikan di setiap wilayah pengelolaan perikanan WPP. ”Mestinya ada instrumen untuk menentukan kuota kapal yang juga disesuaikan dengan stok ikan,” kata Abdi.
Terkait kerja sama ini, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko berharap nelayan Indonesia bisa menjadi tuan di negeri sendiri. ”Diharapkan nelayan di kawasan timur bisa memberikan kontribusi strategis bagi produktivitas ikan nasional,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan memerlukan harmonisasi dan sinkronisasi kewenangan hingga pengawasan. Ia berharap, kerja sama ini akan meningkatkan produksi ikan dari wilayah timur.