Nelayan Kecil di Bitung Dilatih agar Bisa Penuhi Kebutuhan Industri
Para nelayan kecil di Bitung dilatih untuk lebih memperhatikan penanganan ikan pasca-penangkapan demi meningkatkan kualitas dan harga ikan. Kesejahteraan nelayan diharapkan meningkat seiring peningkatan harga ikan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
BITUNG, KOMPAS — Para nelayan kecil di Bitung, Sulawesi Utara, dilatih untuk lebih memperhatikan penanganan ikan pasca-penangkapan demi meningkatkan kualitas dan harga ikan. Hal ini diharapkan tidak hanya berpengaruh langsung bagi kesejahteraan petani, tetapi juga meningkatkan bahan baku bagi industri perikanan.
Upaya ini diwujudkan dalam pelatihan bagi 25 nelayan kecil dari dua kelompok yang sehari-hari menangkap ikan dengan kapal 5 gros ton (GT) atau kurang, Senin (13/12/2021), di Kantor Wali Kota Bitung. Pelatihan ini digelar PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) dalam skema tanggung jawab sosial korporat dengan mendatangkan beberapa pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University.
Para nelayan diberikan pengetahuan praktis berbasis sains mengenai penanganan ikan di atas kapal, sanitasi menurut analisis bahaya dan pengendalian titik kritis (HACCP), juga teknik penyimpanan dan pengemasan ikan segar serta produk olahan. Setelah pelatihan selama setengah hari, para nelayan juga diajak mempraktikkan materi.
Pengajar Departemen Sumber Daya Perikanan FPIK IPB University, Dahri Iskandar, mengatakan, dengan ketangkasan penanganan ikan, produk para nelayan diharapkan dapat diterima industri, layak ekspor, serta mendapat harga yang baik. ”Produk olahan yang baik bermula dari bahan baku yang baik juga, dengan kualitas dan mutu terjamin,” katanya.
Menurut tinjauan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung sebelum pelatihan, Dahri dan timnya menemui praktik penanganan yang tidak memperhatikan kebersihan, seperti membongkar hasil tangkapan di atas lantai dermaga. Ikan berisiko terkontaminasi bakteri salmonela yang dapat menyebabkan, antara lain, infeksi usus.
Di tingkat konsumen, timnya kerap mendapati keluhan bahwa ikan pelagis, seperti cakalang, tuna, dan tongkol, menimbulkan rasa gatal di mulut. Ikan juga kerap kali sudah lembek. Hal ini dapat diatasi dengan mempercepat kematian ikan segera setelah ditangkap.
Kepada para peserta, Didin Komarudin, dosen FPIK IPB University di departemen yang sama dengan Dahri, mengimbau agar ikan tidak dibiarkan menggelepar terlalu lama setelah diangkat ke dek kapal. Cara mematikannya adalah mula-mula memukul bagian kepala agar ikan pingsan, kemudian menusuk bagian otak.
”Setelah itu, darah harus dikeluarkan dengan memotong bagian bawah sirip dan pangkal ekor. Darah harus cepat dikeluarkan karena bisa menjadi sumber bakteri yang mempercepat pembusukan. Kemudian, isi perut dan insang harus dikeluarkan, baru diletakkan di dalam kotak es. Dengan teknik itu, ikan tidak akan cepat rusak,” kata Didin.
Di samping itu, para nelayan juga diimbau menggunakan 1 kilogram es curah untuk 1 kg ikan. Dengan begitu, seluruh permukaan tubuh ikan akan tertutup es sehingga lebih awet, setidaknya hingga pulang berlayar. ”Es bisa dicampur air laut agar tidak cepat mencair,” ujar Didin.
Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB University, Nugraha Edhi Suyatma, juga mengimbau para nelayan untuk memasarkan ikan segar dengan plastik berbahan HDPE (high-density polyethylene) atau LDPE (low-density polyethylene). ”Bahan-bahan ini cocok untuk produk beku karena masih elastis, bahkan ketika berada di suhu minus 50 derajat celsius,” ujarnya.
Karena kekurangan bahan baku, beberapa pabrik hanya bisa beroperasi tiga hari dalam seminggu.
Para nelayan dan pengusaha kecil dalam dua kelompok pun diberi kesempatan untuk membagikan pengalaman. Monalisa, salah satu pengusaha keripik, misalnya, sudah mengetahui jenis-jenis kemasan. Menurut dia, produk olahan yang kering akan tahan lebih lama, asalkan kemasannya kedap udara.
Melalui pelatihan serupa, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perikanan Bitung Frangky Runtukahu mengatakan, pelatihan ini sangat sesuai dengan kebutuhan nelayan di Bitung. Banyak produk ikan pelagis dari nelayan kecil yang tidak dapat diterima di pabrik-pabrik pengalengan ikan. Di pasar pun, harga ikan dengan kualitas yang kurang bagus cenderung rendah.
Pada saat yang sama, Bitung yang menjadi rumah bagi tujuh dari 14 pabrik pengalengan ikan di Indonesia kini sedang kekurangan bahan baku. ”Dalam sehari, satu UPI (unit pengolahan ikan) rata-rata butuh 15 ton ikan. Karena kekurangan bahan baku, beberapa pabrik hanya bisa beroperasi tiga hari dalam seminggu,” katanya.
Karena itu, Frangky berharap pelatihan serupa yang digelar pihak dari luar Pemkot Bitung, seperti PT PII, bisa dibuat berkelanjutan. Pihaknya pun akan mengalibrasikannya dengan program serupa yang diinisiasi pemkot agar memiliki dampak jangka panjang, yaitu peningkatan kesejahteraan nelayan dan peningkatan performa industri perikanan kota.
Sementara itu, Executive Vice President PT PII Yunan Novaris mengatakan, pelatihan itu digelar untuk meningkatkan kesejahteraan warga Bitung yang berada di sekitar Jalan Tol Manado-Bitung. PT PII menjadi penjamin proyek strategis nasional tersebut. Bersama 37 proyek infrastruktur lainnya, PT PII menjamin investasi bernilai Rp 342 triliun.
Yunan berharap kesejahteraan nelayan bisa meningkat berkat kompetensi penangkapan ikan yang baik dan kemampuan menjaga mutu. ”Dalam pelatihan ini, nelayan juga memperoleh sertifikat kompetensi resmi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Kami harap program ini bisa memberikan dampak jangka panjang dan berkesinambungan,” ujarnya.