Tes Acak di Sekolah, 19 Siswa dan 1 Guru di Sleman Positif Covid-19
Sebanyak 19 siswa SMA/SMK dan satu guru di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dinyatakan positif Covid-19. Mereka terkonfirmasi positif setelah dilakukan tes acak di sejumlah sekolah.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Sebanyak 19 siswa SMA/SMK dan satu guru di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dinyatakan positif Covid-19 setelah dilakukan tes acak di sejumlah sekolah. Kasus ini menambah daftar panjang siswa dan guru di DIY yang tertular Covid-19 setelah digelarnya pembelajaran tatap muka secara terbatas beberapa bulan lalu.
Kepala Balai Pendidikan Menengah Kabupaten Sleman Priyo Santoso mengatakan, 19 siswa dan satu guru itu dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan tes reaksi berantai polimerase (PCR) pada Rabu (24/11/2021). Tes PCR itu dilakukan secara acak di sejumlah sekolah untuk mendeteksi apakah ada penularan Covid-19 di sekolah atau tidak.
”Untuk tes acak yang dilaksanakan tanggal 24 November kemarin, hasilnya sudah keluar. Dari pihak sekolah menyampaikan hasilnya ke kami,” ujar Priyo saat dihubungi, Jumat (26/11/2021).
Priyo memaparkan, mereka yang dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan tes acak itu berasal dari empat sekolah berbeda. Dari 19 siswa yang terkonfirmasi positif Covid-19, 13 orang berasal dari SMK Negeri 1 Tempel. Satu guru yang dinyatakan positif Covid-19 dalam tes acak itu juga berasal dari SMKN 1 Tempel.
Sementara itu, di tiga sekolah lain, yakni SMAN 1 Cangkringan, SMAN 1 Seyegan, dan SMAN 1 Pakem, masing-masing terdapat dua siswa yang dinyatakan positif Covid-19. Mereka yang terkonfirmasi positif Covid-19 telah menjalani isolasi dan tergolong sebagai orang tanpa gejala (OTG). Pembelajaran tatap muka di empat sekolah itu juga dihentikan sementara untuk mencegah penularan meluas.
Mereka yang terkonfirmasi positif Covid-19 itu telah menjalani isolasi dan tergolong sebagai orang tanpa gejala (OTG).
Menurut Priyo, tes acak itu akan dilakukan di 30 persen dari total jumlah sekolah di setiap kecamatan di Sleman. Di setiap sekolah yang terpilih, 10 persen dari total siswa diminta mengikuti tes acak. Sementara itu, jumlah guru yang diminta mengikuti tes acak 10 orang per sekolah.
”Misalnya di satu kecamatan ada sembilan sekolah, kami ambil sampel untuk tes acak di tiga sekolah. Kalau di salah satu sekolah ada 500 siswa, kami ambil 10 persennya untuk dites. Kalau untuk guru, diambil 10 orang per sekolah,” ujarnya.
Priyo menambahkan, apabila ada siswa atau guru yang dinyatakan positif Covid-19 dari hasil tes acak, petugas akan melakukan tracing atau penelusuran kontak erat. Mereka yang termasuk sebagai kontak erat akan diminta menjalani tes untuk memastikan apakah mereka tertular Covid-19 atau tidak.
Oleh karena itu, setelah adanya 19 siswa dan satu guru yang dinyatakan positif Covid-19, petugas melakukan penelusuran kontak erat di sejumlah sekolah. Priyo menyebut, pada Jumat ini, petugas melakukan tes untuk orang-orang yang termasuk sebagai kontak erat. ”Misalnya di SMAN 1 Cangkringan ada dua siswa yang positif dari dua kelas, teman-teman sekelasnya dites hari ini,” katanya.
Priyo juga mengatakan, total terdapat 43 SMA/SMK di Sleman yang menjadi sasaran tes PCR acak. Dari 43 sekolah itu, 6 SMA/SMK telah dilakukan tes acak pada 24 November. Sementara itu, sekolah lain akan dilakukan tes pada hari-hari berikutnya.
Evaluasi
Selama dua bulan terakhir, kasus Covid-19 di sekolah berkali-kali muncul di DIY. Penularan Covid-19 di kalangan siswa dan sekolah itu terjadi setelah dimulainya pembelajaran tatap muka secara terbatas di DIY.
Sekretaris Daerah DIY Kadarmanta Baskara Aji menyatakan, Pemerintah Daerah DIY akan melakukan evaluasi terhadap pembelajaran tatap muka yang telah dilaksanakan. Evaluasi itu penting untuk mengetahui apa penyebab penularan Covid-19 di sejumlah sekolah.
Kadarmanta menyebut, berdasarkan hasil evaluasi itu, bukan tidak mungkin pembelajaran tatap muka di DIY akan dihentikan secara keseluruhan jika kegiatan tersebut dinilai sebagai penyebab munculnya kasus Covid-19 di sekolah.
”Harus dilakukan evaluasi, penyebabnya apa. Apakah ada kesalahan prosedur di sekolah-sekolah atau karena lengah. Kalau semua prosedur sudah kita lakukan, tetapi masih ada penambahan (kasus Covid-19), ya, sangat mungkin nanti kita akan off (hentikan pembelajaran tatap muka) lagi,” ujar Kadarmanta.
Kadarmanta menambahkan, pelaksanaan protokol kesehatan di sekolah sebenarnya relatif mudah diawasi karena para siswa bisa dipantau oleh guru. Namun, setelah pulang dari sekolah, aktivitas siswa menjadi lebih sulit terawasi. Apalagi, jika sepulang sekolah siswa tidak langsung pulang ke rumah.
”Setelah dari sekolah, siswa-siswa itu ke mana? Ini perlu ditanyakan ke orangtua, anak-anak itu rata-rata sampai rumah jam berapa? Kalau selisihnya lama dari jam pulang sekolah, mereka main dulu. Jadi, sangat mungkin mereka tertular saat main itu,” tutur Kadarmanta.
Untuk mengatasi masalah itu, Kadarmanta mengatakan, dibutuhkan peran dari orangtua untuk mengawasi aktivitas anak mereka. Hal ini karena tidak mungkin pihak sekolah melakukan pengawasan setelah siswa pulang sekolah. ”Ini menjadi pekerjaan rumah orangtua untuk memastikan anaknya pulang tepat waktu,” ujarnya.