Sengketa Lahan dengan TNI AL, Masyarakat Adat Duduki Perkantoran di Kepulauan Aru
Masyarakat adat menduduki sejumlah kantor pemerintah di Kepulauan Aru, Maluku. Aksi itu sebagai lanjutan dari konflik lahan antara mereka dan pihak TNI Angkatan Laut.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KOKO KILI KILI UNTUK KOMPAS
Kericuhan terjadi di kantor Pengadilan Negeri Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, Rabu (17/11/2021). Aksi itu terjadi sebagai imbas atas konflik lahan antara masyarakat adat dan TNI Angkatan Laut.
DOBO, KOMPAS — Ratusan masyarakat adat dari Pulau Terangan, Kepulauan Aru, Maluku, masih menduduki berbagai lokasi strategis di Dobo, ibu kota kabupaten itu. Massa menyegel kantor pemerintahan sebagai reaksi atas putusan pengadilan setempat yang menolak gugatan mereka terkait konflik lahan dengan TNI Angkatan Laut.
Menurut informasi yang dihimpun Kompas, hingga Kamis (18/11/2021), sudah dua hari massa menduduki kantor Bupati Kepulauan Aru, DPRD Kepulauan Aru, dan Pengadilan Negeri Dobo. Mereka memasang janur kelapa di depan kantor itu sebagai simbol bahwa kantor itu disegel. Pemasangan janur itu dilakukan dalam ritual adat yang disebut sasi.
Pada hari pertama Rabu kemarin, massa sempat menyegel Bandar Udara Rar Gwamar serta Pelabuhan Laut Yos Soedarso. Atas pertimbangan kelancaran transportasi, pagi tadi, segel di dua lokasi itu dilepas oleh perwakilan massa. Dilepasnya segel itu setelah pihak kepolisian setempat melakukan negosiasi dengan massa.
Penyegelan dilakukan sesaat setelah Pengadilan Negeri Dobo memutuskan menolak gugatan warga atas kepemilikan lahan adat di Desa Marafenfen, Pulau Terangan, oleh TNI Angkatan Laut. Di lokasi seluas 689 hektar itu kini berdiri bandar udara milik TNI AL. Bandara dibangun tahun 1992.
KOKO KILI KILI UNTUK KOMPAS
Warga mamasang segel secara adat yang disebut sasi di Pelabuhan Yos Soedarso Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, Rabu (17/11/2021).
”Dulu lahan ini diambil secara paksa dari masyarakat adat saat rezim Orde Baru. Siapa berani dengan rezim itu? Kini masyarakat mau ambil kembali tanah mereka melalui langkah hukum, tetapi mentok di tangan hakim,” kata Robert Tildjuir, salah satu peserta aksi, lewat sambungan telepon.
Menurut dia, upaya pengambilan kembali lahan adat itu mulai digelorakan sejak Orde Baru tumbang. Masyarakat mendatangi kantor bupati hingga beraudiensi dengan anggota DPRD setempat. Langkah terakhir yang diambil adalah menggugat kepemilikan itu lewat jalur pengadilan.
Robert, yang juga bertindak sebagai penggerak massa, belum memastikan kapan massa akan mencabut segel dan pergi dari kantor pemerintahan itu. Sementara, secara hukum, pihaknya akan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Ambon.
Komandan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut IX Ambon Brigadir Jenderal (Mar) Said Latuconsina, yang dihubungi secara terpisah, menyatakan, pihaknya menghormati proses hukum yang kini berjalan. ”Karena masalah ini sudah masuk ke ranah hukum, maka kita menghargai proses hukum yang sedang berjalan,” katanya.
KOKO KILI KILI UNTUK KOMPAS
Segel secara adat yang disebut sasi terpasang di gerbang Bandara Rar Gwamar, Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, Rabu (17/11/2021).
Ditutupnya kantor pemerintah itu menyebabkan pelayanan publik terganggu. Sejumlah masyarakat di Kota Dobo berharap massa menempuh mekanisme penyampaian pendapatan yang sudah diatur negara. ”Beruntung bandara sudah dibuka. Kalau tidak, berapa banyak orang yang urusannya tertunda,” ujar Jerson Ghite, warga Dobo.
Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat mengatakan, kericuhan yang terjadi di Dobo berhasil diredam aparat keamanan. Kericuhan itu menimbulkan kerusakan bangunan di kantor Pengadilan Negeri Dobo. Kondisi saat ini sudah aman.
Perwira yang pernah menjabat Kepala Polres Aru itu pun mengimbau massa agar tidak bertindak anarkistis. Hal tersebut akan merugikan diri sendiri dan masyarakat Aru pada umumnya. ”Mari kita jaga keamanan dan ketertiban bersama. Semua orang punya hak berpendapat, tetapi tetap ada rambu-rambunya,” ujar Roem.