Peternakan Skala Besar Ancam Kehidupan Masyarakat Aru
Pemkab Kepulauan Aru mengeluarkan izin lokasi seluas 61.567 hektar untuk usaha peternakan sapi. Masyarakat setempat merasa terancam kehidupannya. Mereka menolak rencana tersebut.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
KOMPAS/A PONCO ANGGORO
Potret kemiskinan di Desa Kobamar, Kecamatan Aru Utara, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, seperti difoto pada 2013.
AMBON, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, mengeluarkan izin lokasi seluas 61.567 hektar untuk usaha peternakan sapi yang akan dikerjakan oleh empat perusahaan. Masyarakat setempat merasa terancam kehidupannya dari sisi ekonomi, budaya, dan juga lingkungan. Mereka menolak kehadiran investasi di sana dan mendesak agar izin tersebut dicabut.
Koordinator Save Aru Mika Ganobal, lewat sambungan telepon, Minggu (5/7/2020), mengatakan, wacana investasi peternakan sapi itu disampaikan secara resmi oleh Andi Amran Sulaiman saat melakukan kunjungan kerja sebagai Menteri Pertanian ke Kepulauan Aru pada Oktober 2017. Sebelum Amran tiba, beredar kabar tentang rencana itu sehingga sejumlah pihak menggulirkan gerakan penolakan.
Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru, lanjut Mika, pada Juli 2019, menerbitkan izin lokasi untuk empat perusahaan dengan total 61.567 hektar. Lokasinya masuk dalam wilayah 12 desa yang tersebar di dua kecamatan di Pulau Terangan. Padahal, pulau dengan luas 2.300 kilometer persegi itu tidak penuh dataran. Banyak selat kecil dan sebagian besar rawa-rawa.
Menurut Mika, Pulau Terangan tidak cocok untuk areal investasi peternakan sapi. Masyarakat di sana masih hidup bergantung pada hasil alam. Jika lahan mereka dikonversi menjadi areal peternakan, mereka akan kehilangan sumber penghidupan. Iming-iming dari investor dan pemerintah bahwa kehadiran investasi akan menyerap tenaga kerja lokal rasanya sulit diterima dan tidak dipercayai oleh masyarakat.
Kompas/Ahmad Arif
Fransjat Ganobal (41) dari Desa Loran, Kecamatan Aru Tengah, Kabupaten Kepulauan Aru, berburu ke hutan dengan senjata busur dan panah, Senin (4/12/2017).
Kehadiran investasi di Pulau Terangan juga dapat mengancam ekosistem satwa endemik. Beberapa jenis cenderawasih dan kakatua hidup di sana. ”Kepulauan Aru merupakan bagian dari bentang ekologi Papua dengan kemiripan satwanya. Itu semua dijaga oleh masyarakat dan dijadikan destinasi wisata, seperti musim cenderawasih menari,” katanya.
Selain itu, wilayah daratan itu terbentuk dari batuan karst dengan solum (permukaan) tanah yang tipis. Jika dirusak, butuh waktu ribuan tahun untuk mengembalikan ekosistem hutan setempat. Sumur-sumur karst di daerah itu juga menopang ketersediaan air tawar. Wilayah Kepulauan Aru termasuk yang paling kesulitan mengakses air bersih. Mereka kebanyakan mengandalkan air payau yang digali di tengah laut pada saat air surut.
”Dengan pertimbangan semacam itu, kami menilai bahwa daratan Kepulauan Aru tidak cocok dijadikan sebagai areal investasi. Lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Oleh karena itu, kami menolak hadirnya peternakan sapi dan investasi lainnya yang merusak tatanan alam, ekonomi, sosial, dan budaya di Aru,” kata Mika, yang juga anak adat Kepulauan Aru itu.
Pada Jumat (3/7), sejumlah tokoh adat, tokoh perempuan, dan tokoh pemuda datang menemui pimpinan Komisi I DPRD Kabupaten Kepulauan Aru. Mereka menyampaikan tuntutan agar DPRD meminta pemerintah untuk membatalkan izin tersebut.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Masyarakat Desa Karangguli, Kecamatan Pulau-pulau Aru, Kabupaten Kepulauan Aru, menggunakan air payau untuk kebutuhan air bersih, seperti terlihat pada Selasa (7/10/2014).
Dolfintje Gaelagoy, tokoh perempuan Aru, mengatakan, penolakan sudah dilakukan sejak 2017. Bahkan, perempuan adat Aru pun telah menyurati Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan telah dilakukan investigasi oleh Komnas HAM Maluku pada April 2018.
Namun, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru tetap menggelar pertemuan pada Mei 2018 dengan para investor di Dobo, ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru. Kala itu, Dolfintje bersama sejumlah perempuan hadir dan memberikan surat penolakan. Pemerintah dianggap melanggar hak masyarakat adat. Dolfintje berjanji akan tetap melakukan penolakan.
Belum ada tindak lanjut dari wacana investasi peternakan sapi tersebut. Wacana itu terhenti menyusul muncul penolakan dari masyarakat.
Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Kepulauan Aru Samuel Irmupli berjanji akan menindaklanjuti apirasi tersebut. Penolakan tersebut akan dibawa ke rapat paripurna. Mereka akan memanggil pemerintah untuk meminta penjelasan.
Hingga Minggu malam, Kompas belum bisa terhubung dengan Bupati Kepulauan Aru Johan Gonga. Kepala Bagian Humas dan Protokoler Kabupaten Kepulauan Aru Erens Pieter Kalorbobir, lewat sambungan telepon, mengatakan, belum ada tindak lanjut dari wacana investasi peternakan sapi tersebut. Wacana itu terhenti menyusul munculnya penolakan dari masyarakat.
”Banyak masyarakat, terutama yang memiliki wilayah, melakukan penolakan. Penolakan dari masyarakat menjadi salah satu pertimbangan pemerintah daerah dalam mengambil keputusan ke depan,” kata Erens.
Sementara itu, pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon, Ruslan Tawari, berpendapat, wilayah Kepulauan Aru perlu ditata sebagai sentra pengelolaan perikanan nasional. Wilayah yang berada di Laut Arafura itu kaya akan hasil laut, seperti ikan, udang, kepiting, dan teripang. Sejak dulu, Aru juga dikenal sebagai penghasil mutiara.
Sayangnya, selama ini, perairan di sana menjadi surga bagi praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing). Bahkan, pada tahun 2015, terungkap kasus perbudakan nelayan asing di sana. Di sisi lain, banyak masyarakat Kepulauan Aru masih hidup di bawah garis kemiskinan.