Mitigasi Perlu Dijalankan untuk Cegah Bencana Terulang
Pemerintah seharusnya sudah mengetahui bahwa Batu sebagai kawasan hulu Daerah Aliran Sungai Brantas menyimpan potensi terdampak bencana.
Oleh
AMBROSIUS HARTO, DAHLIA IRAWATI, SIWI YUNITA
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Mitigasi bencana oleh pentahelix atau lima pihak, yakni pemerintah, industri, pendidikan, komunitas masyarakat, dan kesehatan, amat ideal untuk diterapkan dalam penanganan dan pencegahan bencana di Batu, Jawa Timur. Tetapi, bencana yang terjadi di Batu lalu memperlihatkan bahwa kerja sama dalam mitigasi bencana belum terwujud.
Amien Widodo, peneliti senior Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Senin (8/11/2021), mengatakan, banjir bandang dan tanah longsor sebenarnya bukan bencana baru bagi Batu. ”Tetapi, apakah selama ini pernah didengungkan soal mitigasi bencana?” kata Amien.
Bagi kalangan warga Jatim, Batu lebih dikenal sebagai tujuan wisata favorit karena menyandang julukan kota wisata, kota bulan madu, bahkan Swiss Indonesia. Pembangunan di Batu akhirnya lebih bersandar pada pendekatan ekonomi dan pariwisata.
Mungkin, kata Amin, ada kegiatan-kegiatan ekonomi, pariwisata, atau budidaya yang mengakomodasi prinsip mitigasi bencana atau setidaknya pelestarian lingkungan (alam) yang bersandar pada ekologi, tetapi tidak muncul ke permukaan publik.
”Kalau mengakomodasi kepentingan pelestarian alam, mengapa pembangunan obyek wisata dan pembukaan kawasan hutan tetap masif di Batu dan tidak dicegah?” kata Amien.
Pemerintah, tambahnya, seharusnya sudah mengetahui bahwa Batu sebagai kawasan hulu Daerah Aliran Sungai Brantas menyimpan potensi terdampak bencana. Catatan tidak terlalu jauh, yakni 3 Februari 2004, ketika banjir bandang menghantam Desa Sumberbrantas termasuk mengganggu eksistensi Arboretum Sumberbrantas, mata air Sungai Brantas.
Mantan Kepala Desa Bulukerto Eko Hadi Irawan Sugianto mengatakan, dua bulan awal bertugas sebagai kepala desa pada November-Desember 2010 terjadi semacam banjir bandang di Bulukerto. ”Waktu itu tidak sampai merusak, apalagi mengakibatkan kematian warga seperti yang lalu,” ujar Eko, yang menjabat Kepala Desa Bulukerto 2010-2016.
BNPB telah mengidentifikasi banjir bandang yang membawa material tanah, pasir, lumpur, batu, dan pohon berasal dari perbukitan di lereng barat daya-selatan Gunung Arjuno. Kawasan yang teridentifikasi disebut Pusung Lading, yang terletak di utara wanawisata Gunung Pucung yang secara administratif masuk wilayah Desa Bulukerto. Kawasan itu dikelola Perum Perhutani.
Menurut BNPB, banjir bandang terkait jebolnya bendung alam dipicu turunnya hujan berintensitas tinggi atau amat deras. Bendung alam adalah tumpukan material longsor yang tertahan atau tidak meluncur ke hilir. Bertahun-tahun bendung alam menunggu ”pelicin”, yakni gempuran air dari hulu karena hujan deras.
Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI) Cabang Jawa Timur meyakini, tegakan yang kurang salah satunya disebabkan dampak dari kebakaran hutan. Hutan di kawasan Arjuno terbakar berulang-ulang pada tahun 2019. Didik Suprayono, pengurus MKTI Jatim, mengatakan, kebakaran hutan berarti menghilangkan atau mengurangi tutupan lahan.
Wali Kota Batu Dewanti Rumpoko mengatakan, antisipasi bencana sebenarnya sudah dilakukan, antara lain, pembersihkan gorong-gorong di kawasan rawan banjir dan penanaman pohon di wilayah hulu serta pemukiman lewat program satu nama satu pohon. Namun, bencana banjir yang terjadi pada pekan lalu di luar perkiraan.
Kini Pemkot Batu menggandeng instansi lain, seperti TNI/Polri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, masyarakat, akademisi, bahkan sektor swasta untuk memperbaiki hulu dan melakukan penataan kota.
Dalam jangka pendek, dibantu oleh BNPB, TNI/Polri, dan lainnya, pemkot akan mengadakan susur sungai. Susur sungai dilakukan untuk menemukan lagi bendung alami yang mungkin masih ada. Pembersihan bendung alami ini penting karena musim hujan berlangsung hingga Januari-Februari.
Dalam Jangka panjang, Pemkot Batu dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan hidup akan menggiatkan penanaman pohon terutama di hulu dan di kawasan daerah aliran sungai. Seperti diketahui, lahan pertanian sayur mendominasi kawasan tengah perbukitan di Batu dan menyebabkan banjir lumpur.
”Agar bisa diterima warga, tentunya kami akan memanfaatkan tanaman keras yang memiliki nilai ekonomis bagi warga, di antaranya buah-buahan. Tanaman kopi, misalnya, menjadi alternatif baik,” kata Dewanti.
Pemkot juga akan melihat kembali izin berbagai bangunan-bangunan yang berdiri di kawasan hulu, perbukitan, hingga daerah aliran sungai. Saat ini, pihaknya masih melakukan pemetaan wilayah.