Banjir Bandang Kota Batu, Mitologi Jawa, dan Penanda yang Kita Lupakan
Dalam perhitungan agraris masyarakat Jawa, disebut ada waktu terbaik menanam tanaman keras dan memanennya. Namun, pertanda ini diabaikan dan berakhir pada bencana banjir di Batu, Jumat lalu.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·5 menit baca
Setiap bencana selalu membawa pesan. Begitu pun banjir bandang di Kota Batu, Jawa Timur, secara simbolik bencana itu mencerminkan apa yang kamu tanam, itu yang akan kamu panen.
Banjir bandang di Kota Batu beberapa waktu lalu menyisakan duka dan trauma. Sejumlah orang meninggal, bangunan, lahan, dan banyak benda tersapu dengan ganas. Pernahkah terlintas di benak, bagaimana material sebesar itu bisa muncul? Padahal, sumber air di sana, Sumber Brantas, biasanya mengalir dengan normal.
Akademisi dan pihak berwenang memprediksi bahwa banjir bandang sebesar itu adalah karena terjadi bendung air alami, yang kemudian jebol dan terbawa hingga permukiman warga. Saking besarnya material banjir, peristiwa itu juga dirasakan ratusan warga Kabupaten dan Kota Malang.
Air bah dengan debit minimum seperempat juta meter kubik itu merangsek masuk ke jalur utama Sungai Brantas dan menggenangi rumah-rumah yang dilewati. Benda-benda berharga rusak, bahkan sirna terbawa banjir.
Sungai Brantas adalah sungai terpanjang di Jawa Timur dengan panjang mencapai 320 kilometer. Daerah aliran sungainya seluas sekitar 12.000 km persegi. Sungai Brantas bermata air di Desa Sumber Brantas (Kota Batu) sehingga Kota Batu disebut sebagai hulu Brantas.
Aliran sungai ini melintasi 15 wilayah, yaitu Kabupaten Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Kediri, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, serta wilayah kota, yaitu Kota Batu, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Warga menghuni kawasan di sekitar DAS Brantas pada survei tahun 2005 mencapai 48 persen penduduk Jawa Timur atau sebanyak 15,6 juta jiwa.
Sebagai sungai penting di Jawa Timur, keberadaan Sungai Brantas bisa dilihat dari rekam sejarah. Kisah Sungai Brantas setidaknya tercatat dalam tiga prasasti, yaitu Prasasti Kamalagyan atau Kelagen di Sidoarjo (tahun 1037 masehi), Prasasti Canggu (1358 masehi), dan Prasasti Jaring di Sutojayan Blitar (1181 masehi).
Pada prasasti Kamalagyan terlihat bahwa Raja Airlangga memerintahkan membuat bendungan setelah ”bangawan” di sana banjir besar. Bendungan di sana kemudian disebut dengan Waringin Sapta.
Bangawan ini, menurut sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, merujuk pada Sungai Brantas. ”Saat itu sekitar bendungan ditanami beringin berjumlah tujuh,” kata Dwi Cahyono.
Pada prasasti kedua, Prasasti Canggu atau Trowulan I dari masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Prasasti ini di antaranya berkisah tentang adanya ”panambangan” atau tempat penyeberangan sungai baik di Bangawan Solo, Brantas, maupun di anak-anak sungainya.
Berikutnya adalah Prasasti Jaring dari masa kerajaan Kadiri. Prasasti ini bercerita tentang bagaimana bangawan tersebut digambarkan sebagai sungai besar di mana dilayari kapal besar. Dalam prasasti itu disebutkan keberadaan pejabat militer kemaritiman, yaitu Senapati Sarwajala.
Lebih kekinian, menurut Dwi Cahyono, kisah banjir bandang Sungai Brantas tampak pada foto dokumentasi tahun 1930. Saat itu telihat orang-orang Belanda berusaha membersihkan dan mengatasi dampak banjir bandang Sungai Brantas di Kampung Ledok Brantas di Kota Malang. Dan tentu saja, Dwi Cahyono meyakini bahwa banjir bandang itu juga berasal dari Kota Batu.
”Dari prasasti dan kisah di atas terlihat bahwa Brantas termasuk sungai besar yang bisa dilayari oleh kapal besar dan bisa dilayari hingga Blitar. Sebagai kota besar, dampak yang ditimbulkannya juga besar. Makanya, butuh jiwa besar dan keberanian untuk bisa mencegah bencana besar kembali terjadi,” kata Dwi Cahyono.
Jika tidak mau berpikir besar untuk mengatasi hal ini, akan terus ada korban terkubur akibat bencana yang bermula di hulu Brantas tersebut. Contoh paling nyata adalah terpendamnya Desa Pendem (hingga disebut pendem) di Junrejo, Kota Batu.
”Candi Pendem yang dieskavasi beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa candi roboh diduga karena luapan banjir dari Sungai Brantas berulang-ulang. Penimbunan berulang ini tampak dari lapisan-lapisan tanah penimbun candi tersebut yang berlapis-lapis. Apa Kota Batu mau seperti itu?” kata Dwi Cahyono.
Tidak jauh berbeda, letusan gunung berapi dan banjir bandang diduga juga menghancurkan permukiman warga di Kerajaan Singosari. Hal itu tampak pada eskavasi situs Singosari di Desa Pagentan pada 2010, yang saat itu ditemukan permukiman elite era Singosari yang terkubur material. Diduga, saat itu permukiman terkubur letusan gunung atau banjir bandang.
Kerajaan-kerajaan besar di masa lalu saja tak bisa melawan kuasa alam. Apa yang menjadikan kita sekarang begitu yakin bisa mengabaikan kekuatannya?
Bencana kali harus mendorong Kota Batu untuk berubah. Semua pihak harus mengevaluasi diri dan bekerja sama agar potensi masalah yang ditemukan dalam hal ini bisa segera diatasi sehingga tak ada lagi warga yang mati sia-sia.
”Kota Batu perlu mendefinisikan karakter ekologisnya seperti apa sehingga segala kebijakannya akan berpijak pada karakter ekologis tersebut. Kalau saya menyebut, Kota Batu itu disabuki gunung dan dipagari oleh hutan. Jadi, semua kebijakan harus mengacu ke karakter itu. Harus evaluasi total,” kata Dwi Cahyono menambahkan.
Kebutuhan mendefinisikan karakter ekologis sebuah kota memang masuk akal. Apalagi, nama kotanya adalah Kota Batu, sudah sangat ekologis sekali.
Kalau saya menyebut, Kota Batu itu disabuki gunung dan dipagari oleh hutan. Jadi, semua kebijakan harus mengacu ke karakter itu.
Jangankan nama kotanya. Waktu terjadi banjir bandang pun sangat simbolik. Banjir bandang di Kota Batu, Jawa Timur, terjadi pada Kamis (4/11/2021). Jika menurut mitologi Jawa, banjir itu terjadi pada Kamis Wage hingga Jumat Kliwon. Setelah tengah hari, menurut pasaran Jawa, hari sudah berganti ke hari berikutnya, yaitu dari Kamis Wage menjadi Jumat Kliwon.
Dalam kepercayaan agraris masyarakat Jawa, hari bukanlah tanpa arti. Dalam mitologi pasaran Jawa, hari Kamis disebut respati. Itu adalah hari dengan sifat subur kayu. Artinya, pada hari itu sangat cocok untuk menanam jenis tanaman berkayu, seperti jati ataupun bambu.
Adapun pasaran Wage berarti baik untuk menanam. Jika digabung, Kamis Wage mengisyaratkan agar orang menanam tumbuhan berkayu.
Sementara hari Jumat disebut sukra, yaitu hari di mana diyakini memiliki sifat mudah subur untuk tanaman akar-akaran. Akhirnya, menurut kepercayaan agraris Jawa Timur, hari pasaran Kliwon sangat baik untuk memanen.
Maka, jika dibaca dalam mitologi Jawa, banjir bandang tersebut seolah membawa pesan: apa yang kamu tanam, itu yang akan kamu panen. Apakah kamu menanam kayu? Tidak. Bahkan hutan pun mulai gundul. Jadi, itulah yang kamu panen. Bencana.
Demikianlah, banjir bandang di Kota Batu adalah cara Sang Kuasa mengingatkan manusia. Kita akan menyikapinya seperti apa, akankah memperhatikan atau tetap menjadi bebal. Jika tetap tidak mau berubah, namanya lebih tepat disebut kepala batu.