Banjir bandang di Kota Batu tidak semata karena hujan berintensitas tinggi. Tragedi itu juga merupakan dampak buruk berkurangnya resapan di kawasan hulu Sungai Brantas dan pengokupasian daerah di sepanjang aliran sungai.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·5 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Bencana banjir bandang di Kota Batu yang menelan enam korban jiwa dan menyebabkan tiga warga lainnya hilang tidak semata karena hujan deras yang mengguyur hampir dua jam. Tragedi itu juga merupakan dampak buruk dari berkurangnya resapan di kawasan hulu Sungai Brantas dan pengokupasian daerah di sepanjang aliran sungai.
Pendapat itu disampaikan peneliti bencana dari Pusat Penelitian Mitigasi, Kebencanaan, dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Amin Widodo, Sabtu (6/11/2021). Bencana banjir bandang harus dijadikan peringatan bagi seluruh pemangku kepentingan agar menata ulang kawasan resapan air dari hulu hingga hilir.
Menurut Amin, perubahan kawasan di Kota Batu terus terjadi sehingga menyebabkan berkurangnya area resapan, termasuk ruang terbuka hijau. ”Puncak gunung digunduli, sementara lembah sungainya dibuat rumah dan dijadikan pembuangan sampah,” ujarnya.
Dia mengatakan, telah banyak penelitian yang menyebutkan bahwa hutan di kawasan tangkapan air atau kawasan resapan mempunyai fungsi yang sangat baik untuk menahan banjir. Selain itu, hutan mampu menyerap air hujan ke dalam tanah hingga lebih dari 80 persen.
Hal ini menunjukkan hutan di pegunungan bisa membantu mendistribusikan air hujan semusim dalam jangka setahun. Air tersebut akan dikeluarkan secara proporsional lewat mata air-mata air di sekeliling pegunungan untuk menyuplai dan menambah debit sungai di bawahnya.
Amin mengatakan, kondisi kawasan resapan di Kota Batu saat ini sangat beragam. Ada yang masih asli, ada yang sudah bercampur dengan permukiman penduduk desa dan beralih fungsi menjadi kawasan terbangun. Oleh karena itu, diperlukan tindakan tegas untuk mengembalikan kawasan resapan dan mengaturnya pembagiannya secara rigid.
Seperti diberitakan sebelumnya, hujan yang mengguyur dengan intensitas tinggi pada Kamis (4/11/2021) menyebabkan banjir bandang menerjang sebagian wilayah Kota Batu. Ada enam kawasan yang terdampak bencana, yakni Desa Sidomulyo, Bulukerto, Sumberbrantas, Bumiaji, Tulungrejo, dan Punten.
Sekurangnya 89 keluarga terdampak. Sebanyak 35 rumah rusak dan 33 rumah terendam lumpur. Selain itu, tujuh mobil dan 73 motor hanyut. Banjir bandang juga menerjang 107 ekor hewan ternak dan merusak 10 kandang ternak milik warga.
Amin Widodo mengatakan, pemerintah provinsi maupun kabupaten dan kota sebagai regulator harus segera menetapkan kawasan resapan mutlak, kawasan resapan terbatas, dan kawasan resapan terbatas ketat. Kawasan resapan mutlak merupakan kawasan yang hanya berfungsi sebagai resapan air dan tidak bisa dipergunakan untuk aktivitas lainnya, contohnya hutan alam.
Untuk menghadirkan kembali hutan alam, kawasan pegunungan yang rusak berat dan gundul harus direkayasa vegetasi dan direboisasi dengan pengawasan ketat. Rekayasa vegetasi yang dimaksud adalah menanam stek atau batang pohon yang bisa hidup dengan cara 2/3 masuk ke tanah dan 1/3 batang lainnya di atas permukaan.
”Harapannya, di sepanjang batang yang masuk ke dalam tanah itu, akan segera muncul dan tumbuh akar yang berfungsi sebagai pengikat tanah. Kehadiran akar memperbesar daya ikat tanah sehingga tidak mudah longsor dan tererosi oleh air hujan,” kata Amin.
Sementara, kawasan resapan terbatas merupakan kawasan yang bercampur dengan aktivitas penduduk desa. Agar penduduk tidak mengubah atau merusak hutan di kawasan resapan, bisa dibangun kekerabatan dengan seluruh pemangku kepentingan wilayah daerah aliran sungai (DAS) sebagai saudara ekologis.
Mereka harus diajari hidup berdampingan di kawasan hutan tanpa merusak, misalnya, dengan mengembangkan agroindustri, seperti beternak lebah, pertanian rotan, anggrek, dan buah-buahan. Selain itu, membuat industri pengolahan madu dan pengolahan hasil hutan lainnya. Harapannya, masyarakat di sekitar kawasan hutan turut menjaga kelestarian lingkungan.
Amin menambahkan, adapun yang dimaksud dengan kawasan resapan terbatas ketat ialah yang bercampur dengan kawasan terbangun, seperti daerah destinasi wisata, perhotelan, dan area permukiman modern. Kawasan seperti ini direkomendasikan menghentikan pengembangan baru.
Adapun bagi permukiman yang sudah dihuni, diharuskan membuat sumur resapan buatan serta mengomunalkan limbah rumah tangga dengan pengolahan terpadu sehingga air yang keluar menjadi lebih bersih. Konsep seperti itu sudah dilakukan di Singapura.
Tentunya tidak ingin ini terjadi di Sungai Brantas karena akan menjadi bencana yang lebih besar lagi.
Amin meyakini, pengembalian kawasan resapan dan pengaturannya secara rigid disertai pengawasan yang ketat akan mengembalikan keseimbangan alam. Hal itu juga berdampak positif terhadap pengurangan risiko bencana banjir, banjir bandang, dan longsor serta mencegah terulangnya kejadian serupa di kemudian hari.
Manfaat tambahannya, mengembalikan habitat hidup bagi flora dan fauna yang selama beberapa tahun ini bermigrasi mencari habitat baru di permukiman penduduk. Lebih jauh lagi akan mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) sehingga ikut berkontribusi menekan dampak perubahan iklim.
Senada dengan Amin, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Brantas Muhammad Rizal berharap ada upaya perbaikan di daerah resapan air. Hal itu karena saat ini sudah banyak daerah resapan yang terbuka sehingga tanah mudah erosi dan membawa material itu saat banjir.
”Tentunya tidak ingin ini terjadi di Sungai Brantas karena akan menjadi bencana yang lebih besar lagi,” ujar Rizal. Pernyataan itu disampaikan saat mendampingi Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Jumat (5/11/2021).
Sementara itu, Khofifah telah memberikan sejumlah instruksi untuk penanganan banjir bandang di Kota Batu. Salah satunya, memprioritaskan keselamatan korban melalui upaya pencarian dan penyelamatan serta menjamin ketersediaan kebutuhan pokok seperti konsumsi.
Selain itu, menormalisasi berbagai fasilitas umum yang rusak akibat banjir bandang serta merekonstruksi dan merehabilitasi sungai dan daerah alirannya yang rusak agar berfungsi kembali. Hal itu karena potensi hujan masih tinggi mengingat saat ini musim hujan yang akan diperparah dengan terjadinya cuaca ekstrem dan La Nina.