Kemenkumham Investigasi Dugaan Penyiksaan di Lapas Narkotika Yogyakarta
Kanwil Kemenkumham DIY melakukan investigasi terkait dugaan penyiksaan di Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta. Jika dugaan penyiksaan itu benar-benar terjadi, petugas yang bertanggung jawab bakal diberi sanksi.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Daerah Istimewa Yogyakarta melakukan investigasi terkait dugaan penyiksaan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Yogyakarta. Jika dugaan penyiksaan benar-benar terjadi, Kanwil Kemenkumham DIY siap menjatuhkan sanksi kepada para petugas yang bertanggung jawab.
”Kami tetap akan terbuka, melakukan investigasi, dan akan cek. Kalau benar, kami akan sampaikan yang sebenarnya,” tegas Kepala Kanwil Kemenkumham DIY Budi Argap Situngkir, saat mengunjungi Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta, di Kabupaten Sleman, DIY, Selasa (2/11/2021).
Seperti diberitakan, sejumlah mantan warga binaan Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta mengaku mengalami penyiksaan oleh petugas saat menjalani hukuman di lapas tersebut. Pengakuan itu mereka sampaikan saat mengadu ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Senin (1/11/2021).
Seorang mantan warga binaan menyebut, salah satu bentuk penyiksaan yang dialaminya adalah dipukuli dengan kayu, kabel, serta potongan selang yang di dalamnya diberi cor-coran semen. Selain itu, ada warga binaan yang disebut mendapat perlakuan tak manusiawi, misalnya dipaksa memakan muntahannya sendiri dan melakukan masturbasi dengan sambal.
Budi memaparkan, selama ini, Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta dikenal sebagai lapas dengan pengelolaan yang baik. Dia mencontohkan, di lapas yang berlokasi di Kecamatan Pakem, Sleman, itu, tidak ada colokan listrik di dalam sel. Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta juga disebut menerapkan larangan penggunaan telepon seluler dan uang secara ketat.
”Lapas narkotik ini adalah lapas yang menurut saya terkeren. Program pembinaan di sini jalan dengan baik. Di sini tidak ada satu pun colokan di dalam kamar, di sini tidak boleh mempergunakan uang, di sini tidak ada pemakaian handphone. Jadi, memang kalau buat narapidana yang nakal, gerah di sini dan mereka akan melakukan perlawanan,” ungkap Budi.
Meski begitu, Budi menyatakan, Kanwil Kemenkumham DIY siap melakukan investigasi terkait pengakuan sejumlah mantan warga binaan yang menyebut ada penyiksaan di Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta. ”Kalau memang ada perlakuan-perlakuan tidak benar, kami janji akan tindak dengan tegas. Tidak ada toleransi,” katanya.
Bahkan, Budi menyebut, apabila penyiksaan tersebut benar-benar terbukti, Kanwil Kemenkumham DIY bakal mencopot Kepala Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta dan Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) di lapas tersebut. ”Kalau benar ada dipukul pakai selang, kami akan copot KPLP dan Kalapasnya,” ujarnya.
Hasil investigasi awal
Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham DIY Gusti Ayu Putu Suwardani mengatakan, investigasi terkait dugaan penyiksaan itu sudah dimulai sejak Senin kemarin. Dia menyebut, investigasi dilakukan dua tim berbeda, yakni tim dari Kanwil Kemenkumham DIY dan tim dari Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta.
Kalau benar ada dipukul pakai selang, kami akan copot KPLP dan Kalapasnya. (Budi Argap Situngkir)
Gusti mengatakan, dalam investigasi awal itu, tim Kanwil Kemenkumham DIY telah meminta keterangan kepada sejumlah warga binaan dan petugas Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta. Berdasarkan investigasi awal itu, dia menuturkan, tim tidak menemukan adanya penyiksaan di lapas tersebut. ”Sementara yang kami dapatkan, tidak menunjukkan ke arah itu (penyiksaan),” ujarnya.
Meski begitu, Gusti menyatakan, tim Kanwil Kemenkumham DIY akan meneruskan investigasi terkait dugaan tersebut. ”Kami akan tetap menindaklanjuti aduan tentang adanya tindak kekerasan di Lapas Narkotika Yogyakarta. Kami sudah sedikit mendapatkan informasi, tetapi sampai saat ini belum ditemukan kebenaran dari aduan tersebut. Namun, kami tidak akan berhenti di sini,” ungkapnya.
Sebelumnya, salah seorang mantan warga binaan Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta, Vincentius Titih Gita Arupadhatu (35), mengaku mengalami penyiksaan saat menjalani hukuman di lapas itu. Vincentius menyebut, salah satu bentuk penyiksaan yang dialaminya adalah dipukuli dengan sejumlah alat, misalnya potongan selang yang di dalamnya diberi cor-coran semen.
”Rata-rata penyiksaan itu pakai alat, misalnya potongan selang yang dalamnya dikasih cor-coran semen sehingga keras. Itu dipukulkan ke seluruh badan. Jadi, seluruh badan kami itu jadi biru karena dipukuli. Ada yang mukul pakai kabel dan kayu juga,” tutur Vincentius.
Selain pemukulan, lanjut Vincentius, sejumlah warga binaan juga mengalami perlakuan tak manusiawi. Dia memaparkan, ada salah seorang warga binaan yang dihukum dengan koprol atau berguling-guling. Saat melakukan koprol, warga binaan tersebut muntah-muntah. Setelah muntah, dia dipaksa petugas untuk mengambil dan memakan kembali muntahan tersebut hingga habis.
”Ada teman warga binaan yang disuruh guling-guling, lalu dia pusing dan muntah-muntah. Muntahan itu disuruh ngambil lagi, setelah itu dia disuruh makan dan jilatin sampai habis. Saya saksi kejadian itu,” kata Vincentius.
Selain itu, kata Vincentius, ada warga binaan lain yang dipaksa melakukan masturbasi dengan timun dan sambal. Setelah itu, warga binaan tersebut dipaksa memakan timun yang digunakan untuk masturbasi. ”Ini, kan, sudah benar-benar keterlaluan banget. Kami udah dianggap kayak bukan manusia lagi,” ungkapnya.
Mantan warga binaan lain, Yunan Effendi (34), juga mengaku mengalami penyiksaan saat menjalani hukuman di Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta. Yunan mengaku kerap dipukuli dengan potongan selang dan disuruh untuk guling-guling.
Selain itu, Yunan juga sempat ditempatkan di dalam sel penjara yang sangat sempit dengan jumlah penghuni melebihi kapasitas. ”Saya pernah ditaruh di sel kapasitas maksimal lima orang tapi diisi 17 orang,” tuturnya.
Akibat penyiksaan dan perlakuan tak manusiawi itu, Yunan mengaku mengalami sakit di bagian kaki sehingga dia sempat tidak bisa berjalan kaki. ”Saya sempat enggak bisa jalan dua bulan. Sampai sekarang, saya belum bisa lari. Mungkin karena terlalu lama di dalam sel yang sempit, jadi ruang geraknya kecil karena sel diisi penuh,” ungkapnya.
Aktivis hukum yang mendampingi beberapa mantan Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta, Anggara Adiyaksa, mengatakan, sedikitnya ada 35 mantan warga binaan lapas tersebut yang mengaku menjadi korban penyiksaan. Anggara berharap, dengan dilaporkannya kasus ini ke ORI DIY, praktik penyiksaan di Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta bisa dihentikan.
”Harapan yang paling penting, hentikan penyiksaan itu. Warga binaan itu kan manusia, jadi mereka masih bisa dibina baik-baik. Enggak perlu pakai penyiksaan seperti itu,” ungkap Anggara.