Hingga 2025, Lapas Tetap ”Overcrowding”, Perlu Suntikan Dana Rp 38,2 Triliun untuk Tambah Kapasitas
Pemerintah perlu menggencarkan penambahan kapasitas lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan yang ada di Indonesia. Meski ada pengurangan napi dan tahanan, lima tahun mendatang, penambahan kapasitas tetap diperlukan.
Oleh
Susana Rita
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu menggencarkan penambahan kapasitas lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan yang ada di Indonesia. Sebab, overcrowding atau tingkat hunian yang melebihi kapasitas penjara tetap akan terjadi lima tahun ke depan meskipun semua pengguna narkoba dan narapidana dengan hukuman di bawah 5 tahun telah dikeluarkan dari LP dan rutan.
Center for Detention Studies (CDS) memperkirakan ada overcrowing 82 persen tahun 2025. Angka tersebut diperoleh dari analisis terhadap jumlah tahanan dan narapidana masuk dan keluar dari tahun 2016 hingga 2020. Dari hasil analisis tersebut, CDS membuat prediksi jumlah pengghun LP dan rutan untuk lima tahun ke depan.
”Sesuai dengan prediksi kita, kalau misalnya pengguna narkoba tidak masuk (ke LP/rutan) dan dikeluarkan hingga habis misalnya, lalu pidana di bawah 5 tahun, seperti maling ayam, maling kambing, judi, kasus-kasus pencurian ringan, kasus pencemaran nama baik, sudah dikeluarkan sampai habis, yang tersisa adalah narapidana dengan hukuman 5 tahun ke atas. Sampai tahun 2025, LP/rutan tetap (overcrowding) 82 persen,” ujar Direktur Eksekutif CDS Gatot Goei, Rabu (15/9/2021), sembari menegaskan bahwa penambahan kapasitas LP dan rutan wajib dilakukan.
Berdasarkan data Ditjenpas, kapasitas LP dan rutan di seluruh Indonesia hanya 135.561 orang. Adapun jumlah warga binaan per Agustus 2021 mencapai 266.514 orang. Sebanyak 51 persen di antaranya adalah napi kasus narkoba.
Sesuai dengan prediksi kita, kalau misalnya pengguna narkoba tidak masuk (ke LP/rutan) dan dikeluarkan hingga habis misalnya, lalu pidana di bawah 5 tahun seperti maling ayam, maling kambing, judi, kasus-kasus pencurian ringan, kasus pencemaran nama baik, sudah dikeluarkan sampai habis, yang tersisa adalah narapidana dengan hukuman 5 tahun ke atas. Sampai tahun 2025, LP/rutan tetap (overcrowding) 82 persen.
Peneliti CDS, Dewi Indriana, menambahkan, pihaknya mencermati jumlah narapidana dan tahanan yang masuk dan keluar sejak 2016 hingga 2020. Ada beberapa kebijakan yang diinventaris, ditemukan ada tiga kebijakan yang mengintervensi arus masuk dan arus keluar narapidana/tahanan di LP dan rutan, yaitu kebijakan terkait pengguna narkoba, kebijakan terkait dengan narapidana dengan masa hukuman yang pendek (di bawah 5 tahun), dan kebijakan asimilasi.
”Kita lakukan uji korelasi untuk lima tahun yang sudah berjalan dan uji prediksi. Dua kebijakan di arus masuk (pengguna narkoba dan hukuman pendek) berkorelasi positif dan kuat terhadap kenaikan overcrowding. Sebaliknya, ketika kebijakan asimilasi dan integrasi naik, overcrowding turun,”ujarnya.
Pihaknya kemudian mencoba mengintervensi arus masuk dan arus keluar, misalnya dengan mengurangi angka di tiga kebijakan tersebut. Hasilnya, meskipun pengguna narkoba dan napi dengan hukuman di bawah 5 tahun distop (tidak masuk LP/rutan), overcrowding tetap terjadi hingga 82 persen. Namun, apabila intervensi tidak dilakukan (pengguna narkoba dan napi hukuman pendek tetap masuk ke penjara), overcrowding bisa mencapai 130 persen.
Tak cukup Menkumham
Dalam hitungan CDS, menurut Gatot, diperlukan anggaran sekitar Rp 38,2 triliun untuk dapat menambah 172.000 kapasitas LP dan rutan di Indonesia.
Berdasarkan informasi yang ada saat ini, pemerintah telah menganggarkan Rp 1 triliun tiap tahun untuk menambah kapasitas LP dan rutan. Untuk satu pelaksana teknis (UPT) atau satu LP/rutan dengan kapasitas hunian 1000 orang, dibutuhkan anggaran Rp 200 miliar. Artinya, dana Rp 1 triliun per tahun dapat dipergunakan untuk menambah kapasitas LP dan rutan hingga 5.000 orang.
”Overcrowding kita hampir 100 persen, yakni hampir 120 ribuan. Dana itu tidak cukup. Hitungan kasar kita, kita perlu Rp 38,2 triliun untuk menambah kapasitas hingga 172.000 orang,” ucapnya. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar dilakukan perencanaan pembangunan LP dan rutan baru per lima tahunan.
Overcrowding kita hampir 100 persen, yakni hampir 120 ribuan. Dana itu tidak cukup. Hitungan kasar kita, kita perlu Rp 38,2 triliun untuk menambah kapasitas hingga 172.000 orang.
Sementara itu, guru besar hukum tata negara yang pernah menjabat Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana mengungkapkan, persoalan reformasi lembaga pemasyarakatan sebaiknya menjadi presidential issue atau menjadi atensi lembaga kepresidenan langsung. Refomasi LP dapat dipimpin langsung oleh Presiden atau Wakil Presdien, tak cukup ditangani oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).
”Karena, faktanya masalah ini perlu ditangani lintas kemenkoan. Misalnya, soal kecukupan anggaran lebih banyak ada di Kemenkeu, yang berada di lingkungan Menko Perekonomian,”ujar Denny.
Ia mengusulkan solusi jangka pendek dan panjang untuk mengatasi problem overcrowding di LP. Untuk penanganan jangka pendek, Menkumham perlu mengeluarkan demi hukum napi yang dasar penahanannya sudah tidak ada lagi. Misalnya, karena tidak ada petikan putusan pengadilan. Presiden pun perlu memberikan grasi dan amnesti massal untuk napi pengguna narkoba melalui proses seleksi yang ketat dan bebas dari praktik koruptif. Ini dilakukan setelah mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung (untuk grasi) dan DPR (untuk amnesti).
”Presiden memberikan abolisi massal terhadap terdakwa pengguna narkoba, tentu juga dengan proses seleksi yang ketat, bebas dari praktik koruptif. Pemberian abolisi tersebut dengan memperhatikan pertimbangan DPR,” ujarnya.
Untuk solusi jangka panjang, Denny mengusulkan adanya perbaikan politik hukum pemidanaan dengan menjadikan pemenjaraan sebagai langkah paling akhir atau ultimum remedium. Hal ini termasuk tidak memenjarakan pengguna narkoba karena semestinya mereka disehatkan di panti rehabilitasi. Selain itu, pendekatan restorative justice dalam pemidanaan, baik pada level peraturan perundangan maupun penegakan hukum di lapangan, perlu dilakukan.
Selain itu, diversifikasi sanksi pidana (tak hanya pemenjaraan, tetapi juga pidana alternatif) perlu diberlakukan. Pidana alternatif, seperti hukuman kerja sosial, sudah ada di dalam rancangan KUHP. Pemberian kemudahan hak-hak narapidana dan early release bagi yang memenuhi syarat, utamaya ibu hamil, ibu menyusui, manula, sakit parah permanen, dan anak-anak, perlu diberikan.